Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penguasaan Sapardi terhadap karya sastra dunia dalam bahasa Inggris berikut konteks masyarakat dan budaya Eropa tidak terbantahkan.
Sapardi harus membaca Injil untuk memahami idiom dan acuan dalam drama-puisi karya T.S. Eliot, Murder in the Cathedral.
Sapardi tak pernah berhenti belajar dan mengikuti perkembangan pengetahuan.
"Puisi bukanlah pelepasan emosi secara liar, tetapi merupakan upaya untuk melepaskan diri dari emosi; puisi bukan pengungkapan jati diri, tetapi pelarian dari jati diri. Namun, hanya mereka yang memahami apa makna emosi dan jati diri mampu membebaskan diri dari keduanya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAPARDI Djoko Damono menerjemahkan dan mengutip tulisan penyair Inggris, T.S. Eliot, tersebut dalam sebuah esai tentang konsep intertekstualitas. Terjemahan itu, buat saya, menggambarkan sosok Sapardi. Ada beberapa hal yang menghubungkan Sapardi dan Eliot, dua penyair berbeda zaman itu. Ketika menyelesaikan kuliah di Jurusan Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada pada 1964, Sapardi menulis tentang drama berbentuk puisi karya Eliot, Murder in the Cathedral (1935). Karya yang terkait dengan konteks Inggris abad ke-12 itu bukan bacaan mudah. Sapardi pernah bercerita bagaimana ia harus membaca Injil dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru untuk memahami idiom dan acuan dalam drama-puisi tentang pembunuhan Kardinal Thomas Becket di Gereja Canterbury. Karya itu diterjemahkannya dan diterbitkan lima dekade kemudian, setelah ia pensiun sebagai guru besar Universitas Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penguasaan Sapardi terhadap karya sastra dunia dalam bahasa Inggris berikut konteks masyarakat dan budaya Eropa tidak terbantahkan. Selain mengalihbahasakan karya T.S. Eliot, Sapardi pernah menerjemahkan trilogi drama Eugene O’Neill; drama Henrik Ibsen; novel Ernest Hemingway, The Old Man and the Sea, menjadi Lelaki Tua dan Laut; serta novel Henry James, Daisy Miller, menjadi Daisy Manis. Kedua novel terakhir menjadi bahan kuliah pokok tokoh prosa Inggris yang diajarkan Sapardi saat mengawali kariernya sebagai dosen di Universitas Indonesia pada 1974—yang pertama di Program Studi Inggris, kemudian Program Studi Indonesia. Saya beruntung menjadi mahasiswanya di kelas tersebut dan di kuliah-kuliah lintas program studi yang diampunya, yaitu penulisan kreatif dan sastra bandingan.
Sapardi Djoko Damono (kiri) dan Ags. Arya Dipayana dalam acara "Apresiasi Seni" di FSUI, Rawamangun, Jakarta, pada 1986. Koleksi Ibnu Wahyudi
Seperti T.S. Eliot, penyair sekaligus penulis esai serta kritikus berlatar akademis yang berpengaruh, Sapardi adalah sastrawan yang merangkap ilmuwan. Ia menulis puisi sejak berusia 18 tahun dan bekerja di bidang akademis sebagai dosen. Karier mengajarnya terekam di berbagai kampus, dari Institut Keguruan Ilmu Pendidikan Malang cabang Madiun (1964-1968), Universitas Diponegoro (1969-1973), Universitas Indonesia (1974-2005), hingga setelah pensiun sebagai guru besar ia menjadi pengajar tetap di Institut Kesenian Jakarta sampai wafatnya. Pada 1970-1971, Sapardi pernah ditugasi oleh Profesor Harsya Bachtiar untuk mengikuti program nongelar di University of Hawaii, Amerika Serikat. Bersama satu tim dosen dari berbagai perguruan tinggi, ia menyiapkan mata kuliah umum ilmu sosial dasar.
Dalam kariernya sebagai dosen, Sapardi menggabungkan kepekaannya untuk menangkap ungkapan sastrawi dengan wawasan dan pemahamannya tentang sastra dunia, intelektualitas, dan kehausannya akan ilmu pengetahuan. Ia tak pernah berhenti membaca, belajar, dan terus mengikuti perkembangan pengetahuan, bahkan dari mahasiswanya.
Dibesarkan dalam tradisi kritik sastra baru, Sapardi mengikuti perkembangan ilmu humaniora sampai teori pascastruktural serta studi budaya. Ia memperkenalkan kajian sastra bandingan, sosiologi sastra, lantas mempopulerkan kajian alih wahana (yang lebih dikenal di luar negeri sebagai kajian adaptasi atau intermedialitas). Kuliah ini disukai para mahasiswa, khususnya generasi muda yang mendapat kesempatan membahas pengalihan dari satu media ke media lain, seperti dari puisi ke musik atau dari novel ke film dan komik.
Energi dan kreativitasnya tak pernah surut. Di balik tubuh Sapardi yang tampak kurus dan ringkih itu tersembunyi energi dan pusaran gagasan. Kita baru menyadarinya manakala membaca kalimat-kalimat yang mengalir dan komunikatif dalam deretan buku ilmu sastra dan kajian sastranya. Selain menulis puisi dan bereksperimen dalam berbagai genre—cerita pendek mini, novel—karya ilmiahnya mengalir dari satu buku ke buku lain. Setiap kali berpapasan dengan koleganya di lorong kampus, bagai tukang sulap, Sapardi selalu sigap mengeluarkan satu buku terbaru dari sakunya dan memberikannya sebagai hadiah. Padahal dunia Sapardi tidak terbatas pada mengajar dan menulis. Sejak berkecimpung di dunia akademis, ia sempat menduduki berbagai jabatan struktural, dari Pembantu Dekan Bidang II dan I (1979-1982, 1989-1992) sampai Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (1995-1999). Sapardi adalah pendiri asosiasi profesi sarjana sastra, Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia, pada 1988 dan pernah menjadi ketuanya selama tiga periode. Ia juga menjadi editor di jurnal sastra internasional, seperti Tenggara dan Indonesia Circle.
Di dalam negeri, Sapardi pernah menjadi bagian dari majalah sastra dan budaya terpenting pada zamannya, antara lain Basis, Horison, dan Kalam, serta ikut mendirikan Yayasan Lontar. Ia adalah motor penelitian sejarah sastra di Badan Bahasa serta aktif sebagai juri dan pemberi rekomendasi bagi sastrawan muda. Sebagai dekan, Sapardi mendorong perubahan nama Fakultas Sastra Universitas Indonesia menjadi Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Visinya yang out of the box sering kali melampaui kemampuan institusi untuk berubah. Dalam mimpinya, sebuah fakultas dapat menerima mahasiswa tanpa harus lebih dulu memilih "jurusan" atau "program studi", serta dapat mengambil dan meramu mata kuliah mana saja untuk membangun pengetahuan. Gagasannya melampaui konsep kampus merdeka yang ramai dibicarakan saat ini.
Begawan ilmu sastra yang akrab dengan mahasiswa dan kolega muda itu tentu sangat berbeda dengan T.S. Eliot, yang sosoknya terkesan angker. Di masa ketika mahasiswa belum berkomunikasi melalui WhatsApp dengan dosennya, tak jarang mahasiswa yang sedang galau, untuk urusan bimbingan atau sekadar iseng, sendiri atau berkelompok, tiba-tiba muncul di rumah Sapardi di Rawamangun, Jakarta, atau di Depok, Jawa Barat, setelah Sapardi dan keluarga pindah ke sana. Sesibuk apa pun, Sapardi tidak pernah menolak mahasiswa, yang kalau sudah “ngobrol” dengan Sapardi merasa betah dan tak ingin pulang.
Sapardi Djoko Damono (tengah) dalam sebuah pertemuan dengan Rektor Universitas Indonesia pada 1994. Koleksi Humas FIB UI
Menurut Sunu Wasono, dosen FIB UI yang juga mantan mahasiswa dan asisten Sapardi di mata kuliah sosiologi sastra, Sapardi bak “magnet” yang menarik mahasiswa dengan kesederhanaan dan keterbukaannya. Sikapnya yang egalitarian membuat siapa saja merasa dekat dengannya. Sunu bercerita, seorang mahasiswa tak sungkan menitipkan kucing kesayangannya ke rumah Sapardi sambil berpamitan melanjutkan kuliah ke luar negeri. Ketika menjadi wakil dekan, tak jarang Sapardi meminjamkan mobil dinasnya untuk keperluan mahasiswa. Demam musikalisasi puisi juga dipicu oleh karya mantan mahasiswa Sapardi, Ari dan Reda, yang melantunkan larik-larik puisi Sapardi. Imaji dan metafora tentang gejolak cinta tak pelak telah menyihir pengagum Sapardi di kalangan generasi muda milenial.
Kutipan di awal tulisan ini menggarisbawahi pentingnya imaji sebagai esensi sebuah puisi. Dalam esai tentang Hamlet, T.S. Eliot memperkenalkan konsep objective correlative, yakni kaitan obyek-situasi dengan emosi tertentu. Dalam suatu sesi tentang haiku di kelas penulisan kreatif, Sapardi menunjukkan bagaimana sajak Basho yang terdiri atas 14 suku kata serta citraan visual sebuah kuil, sebuah kolam tua, seekor katak dan bunyi plung lebih kuat menghadirkan kesunyian daripada curahan hati yang mendayu-dayu.
Tentu kedua begawan ini tak bisa diperbandingkan. Esai Sapardi "interteks/inter-teks", mengingatkan bahwa kaitan satu karya dengan karya lain atau sosok dua pengarang adalah suatu pembacaan intertekstual. Baik pengarang maupun karya adalah teks-teks terbuka sebuah arena kebudayaan yang kait-mengait, tempat teks-teks lama diramu menjadi sesuatu yang baru. Memakai istilah Sapardi, ketiga penanda dalam tulisan ini, yaitu Sapardi, T.S. Eliot, dan ilmu sastra, adalah "akal-akalan" seorang pembaca untuk memaknai suatu sudut kecil dari dimensi kehidupan seorang Sapardi Djoko Damono.
MELANI BUDIANTA, DOSEN FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo