MAIN air basah. Main api hangus. Tapi ungkapan nenek itu tak punya tuah buat Sarkubu, 42 tahun. Lelaki berperawakan pendek kukuh ini sudah delapan kali dibakar. Karena itu, kulitnya hitam legam. Dan syukurlah, ia tetap sehat walafiat adanya. Malah berkat kebolehannya "main api" itulah, ayah dua anak ini terpilih menjadi Wakil Kepala Suku Kubu Pelangko Dalam di Jambi. Ajian antiapi itu didapatnya sejak kecil. Syaratnya: mulai usia setahun sampai 15 tahun tak boleh berbohong. Ehm! Lebih jauh, kepada Kastoyo Ramelan dari TEMPO, ia menuturkan, "Cara tidur mesti menungging. Jadi, tak boleh tergolek. Pantang lain adalah makan daging bertusuk, seperti sate." Tapi percaya atau tidak, ditambah mantra kepala suku, waktu Sarkubu dibakar tidaklah dia menjadi abu. Kendati begitu, lain bulu lain warna, lain kubu lain ceritanya. Alkisah, Sarkubu sakti pertama kali ini, melanglang ke luar Jambi, dibawa Supardi - transmigran di Rimbo Bujang. Menumpang oto, mereka ke Solo. Reklame disebar melalui mobil keliling koran, dan radio. Masyarakat pun dihalohalo: saksikanlah atraksi bakar diri di Taman Wisata Jurug, persis di bibir Bengawan Solo. Pertunjukannya direncanakan empat kall: 24 Mei, 1, 2, dan 7 Juni 1987. Bayarannya Rp 100 ribu. Di hari pertama ada sekitar 150 penonton. Karcis Rp 500 per orang. Acara dibuka dengan tontonan ekstra: Sarkubu menjilat besi panas tak ubahnya orang menikmati es mambo saja. Penonton berdecak kagum. Sukses. Lalu minyak mendidih disauknya dari kuali, diusapkan ke mukanya. Aman. Sambutan kian gemuruh. Tiba puncaknya. "Orang sini, saya tak congkak, yang punya ilmu jangan ganggu," pinta Sarkubu, dalam aksen Kubu. Kepalanya yang dililit kain merah ditulisi "Sarkubu". Sedangkan tulisan di kain merah di dadanya: Antara hidp dan mati. Eh, harap maklum, Sarkubu itu buta huruf. Bercelana komprang hitam dan kaus oblong putih, Sarkubu tegak, mulutnya komat kamit. Sementara kayu disusun mengepung Sarkubu, penonton nyaris tak bergeming. legang. Ketika pukul 13.35, kayu diguyur bensin, disulut. Nyala sedikit. Lantas mati. Tambah bensin lagi, disulut lagi. Lalu: byar! Api berkobar hebat. Suasana senyap cuma sekejap. Lalu pecah. Bagai tupai gawal Sarkubu melompat dari api. Dia luka. "Aduh, aduh, toloooong." Dia mengerang. Terjengkang. Dia gagal, katanya, ini akibat "salah waktu". Seharusnya dimulai pada pukul 13.00. Juga, tempat menyalakan apinya keliru. Mestinya berlawanan dengan arah angin. "Itu alasan dicari-cari," gerutu penonton. "Saya tak mau dibilang penipu. Saya mau mengulangi lagi," kata Sarkubu. Karena dianggap bisa jatuh korban, panitia dari Taman Wisata Jurug membatalkan pertunjukan Sarkubu selanjutnya. Lima hari dirawat di rumah Supardi, luka bakar itu tak kunjung sembuh. Sarkubu lalu diboyong ke RSU Surakarta, langsung masuk ICU. Dia pucat kena jarum infus. Supardi juga pucat, menanggung biaya berobat enam hari, Rp 200 ribu. Belum lagi ongkos memulangkan Sarkubu ke Kubu. Para penonton yang baik hati, sepandai-pandai Sarkubu main api, tentu ada sialnya di suatu hari. Ed Zoelverdi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini