KETIKA pada 1949 Trisno Sumardjo membela seni lukis serapan dari Barat yang dipraktekkan teman-temannya di Jakarta dan Yogyakarta, ia mengatakan bahwa masalah kita ialah mengadakan tradisi baru dan bukan membuat renaisans, sebab, ditandaskannya, seni lukis di Indonesia tidak mempunyai modal tradisi (Mimbar Indonesia, 24 September). Tampaknya, bagi budayawan, sastrawan, pelukis, dan pengritik seni ini, apa yang dilakukan turun-temurun oleh para sangging di Kamasan (Bali), oleh orang-orang Dayak pada perisai, baju jeluang, dinding bangunan (Dayak Kenyah, misalnya), gambar-gambar keagamaan (Ngaju), atau dilakukan oleh orang Batak Toba pada pustaha dan dinding bangunan, atau pada pakaian jeluang oleh orang Bada, Besoa, dan Napu (Sulawesi Tengah) - sekadar menyebut beberapa contoh - bukanlah tradisi seni lukis. Basuki Resobowo tidak jauh dari Trisno. Melihat di sekitarnya banyak orang muda melukis, ia sangat gembira dan menulis kepada Oesman Effendi bahwa "Indonesia sudah melukis lagi" (Zenith, 15 Februari 1951). Tentu saja. Bukankah dalam Orang Indonesia terkemoeka di Djawa terbitan Goenseikanbu 1944 sudah tercantum pelukis (setiap nama disalin lengkap): Raden Mas Pirngadi, Raden Abdullah Suriosubroto, Raden Mas Subanto Suriosubandrio, Raden Agus Djajasuminta, Raden Abdulsalam, Raden Mas Sumitro, Raden Suromo, Raden Mas Surono, Raden Affandi, Raden Mas Hendragunawan Prawiradilaga, Emiria Sunassa Wama'na Putri Al Alam Mahkota Tridore gelar Emma Wilhelmina Parera. Memang pada waktu Basuki menulis, lebih-lebih sekarang, orang dapat menyebut nama pelukis tanpa titel priayi. Para pelukis ini, barangkali dengan satu-dua kecuali, datang dan keluarga pegawai negeri, guru, profesional (dokter, insinyur, dan sebagainya), pengusaha. "Indonesia sudah melukis lagi," karena ada kabar seni lukis pernah dipraktekkan di lingkungan Keraton Majapahit, lalu lenyap, dan sekarang dipraktekkan lagi di kalangan masyarakat menengah. Rakyat Jelata, mau melukis baru-baru saja atau melukis turun-temurun sejak berabad-abad, terserah saja: mereka tidak masuk hitungan. Diperlukan waktu setengah abad sejak terbentuknya "kalangan seni modern", sampai kalangan ini - tidak sebulatnya - mulai berkenan melihat lukisan kaca (tersebar di sejumlah daerah, termasuk di Pulau Jawa, di kalangan rakyat jelata). Belum lama ini seorang mahasiswi seni rupa datang kepada saya menunjukkan naskah skripsi tentang lukisan pemandangan alam yang dibuat oleh para warga sebuah kampung di pinggiran Kota Bandung. Ia menggunakan istilah "kain yang digambari dengan cat", karena konon dosennya berkeberatan menyebut pekerjaan orang kampung itu "lukisan". Ketika pada 1981 saya mengimbau agar pandangan kita tentang seni lukis diperluas sehingga kita melihat yang bermacam-macam di Indonesia, saya menjadi bulan-bulanan cemooh di buletin Dewan Kesenian Jakarta. Saya pun maklum. Rakyat kita masih bodoh. Apresiasi seni mereka perlu ditingkatkan dengan menonton lukisan Affandi, Popo Iskandar, Sadali, dan sejenisnya. Mereka tidak bisa membuat seni rupa. Mereka hanya membuat kerajinan. Dan istilah "kerajinan", di kalangan seniman modern kita, adalah kata ejekan paling keji untuk mencemooh sesama seniman. Memang, sewaktu-waktu di tanah air kita bangkit diskusi ramai tentang kerajinan, di kalangan industri, perdagangan, dan pemerintahan. Begitu tradisinya sejak VOC, sewaktu-waktu terjadi kesulitan ekonomi. Dan, memang, perguruan tinggi seni rupa kita mulai membuka wawasan lebih luas. KeraJman masuk kurikulum, tentu dengan nama baru: "kria" atau "kriya". Juga bidang-bidang lain, yang para pengritik seni rupa kita tidak pernah berniat membicarakannya: desain interior, desain grafis, desain produk, dan beberapa "desain" lainnya. Maka, di perguruan tinggi seni rupa ada jurusan "seni murni", jurusan "desain", dan jurusan "kriya". Sebutan "seni murni" menunjukkan bahwa seni dianggap seperti emas, ada kadar dan karatnya. Sehari-hari di kampus, anehnya, orang bicara sederhana saja: "seni", "desain", "kria". Di belakang pikiran berkecamuk perasaan bahwa desain dan kriya, bagaimanapun bukan seni. Kekaburan berpikir ini diproklamasikan dalam nama yang dipakai oleh lembaga pendidikan tinggi itu: "Fakultas Seni Rupa dan Desain". Silakan menafsir apa maksud kata "dan" di situ. Di luar kampus? Jangan tanya. Bagaimanapun mencoloknya rupa iklan, billboard. majalah, stiker, komik, kemasan, gambar pada baju kaus, dan segala macam barang di pasaraya - mengepung kehidupan sehari-hari di kota--jangan harap ada budayawan, seniman, atau pengritik seni yang akan mengamatinya dengan cermat. Semua itu "pop", "kebudayaan massa", sampah: siapa mau mengamat-amati sampah? Itu bukan seni rupa, tidak layak dibahas di pusat kesenian. Estetika yang sedang dominan telah membuat kita rabun. Keyakinan bahwa hanya ada satu tata acuan (pandangan, nilai, kepercayaan) yang benar dan sah bagi seni rupa - tata acuan universal - telah menyebabkan kita sakit mata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini