Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Ruh keraton di layar monitor

Manuskrip naskah-naskah kuno dari keraton yogyakarta direkam ke dalam mikrofilm. dengan bantuan dana dari luar negeri. gagasan dari dr. jennifer lindsay dari univ. sydney, australia atas izin sri sultan.

20 Juni 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANGGAPLAH Anda sedang memasuki relung-relung Keraton Yogya. Karyawan atau pemandu wisata biasanya sering menyebut suatu bagian di sana. Tapi ia tak memancing orang agar melongok ke situ. Padahal, itulah Dalem Kawedanan Ageng Punokawan Widyo Budoyo. Isinya adalah salah satu ruh dari kemegahan Ngayogyakarto Hadiningrat, nyaris tak terselamatkan. Di sini disimpan manuskrip, naskah-naskah kuno, karya-karya pentin, sejak dari masa Sultan Hamengku Buwono I. Sebagian jilidannya berlepasan. Ada pula yang tintanya merembes ke halaman berikut, karena sang waktu telah lama menggerogotinya. Selama ini, naskah-naskah yang tak ternilai harganya itu hanya memantulkan isyarat bisu. Seperti tak disentuh, atau lebih tak dapat dipahami? Agaknya, memang begitu. Kecuali, jika datang bulan Suro. Naskah-naskah itu baru dibaca, saban malam, dari pukul 20.00 hingga subuh esoknya. Itu barangkali lebih tepat disebut melantunkan kidung. Maklumlah, karena naskah beraksara Jawa itu berbentuk tembang. Pada acara tersebut, menurut seorang kakak Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yaitu Gusti Pangeran Puruboyo, "Peminatnya ya ada. Tetapi sebagian mereka menyerah setelah melihat naskah-naskah itu ditulis dalam huruf Jawa. Di luar upacara bulan Suro seperti disebut tadi, yang datang mengusik ke situ, satu dua ada peneliti. Di antaranya, ya orang asing. Tetapi yang rutin ke kamar itu: para abdi dalem. Merekalah yang merawat pusat dokumen yang terbuka untuk umum itu. Dan untuk masuk ke sana gampang. Tuniukkan saia tanda pengenal yang jelas dan lengkap Tapi, di luar identitas, orang awam mana yang berminat dan sanggup memahami isi dan jiwa pustaka kuno tersebut? "Padahal, naskah-naskah itu banyak sekali mengandung ilmu pengetahuan," ujar K.R.T. Entodiningrat, 73 tahun. Kata staf Kapujanggan berpangkat bupati nayaka ini, hanya mahasiswa sastra Jawa) saja yang memanfaatkannya. "Mereka yang kemari terkadang minta diterjemahkan, karena daya paham mereka belum sampai." Kini ada perubahan. Bangunan di sisi timur Bangsal Kencana, atau di sebelah selatan Kesatrian, itu sejak dua bulan lalu menjadi lebih cemerlang. Temboknya sudah dicat putih. Di sudut-sudut ornamen, penghiasnya dihidupkan lagi dengan torehan warna kuning dan hijau khas keraton. Tapi lebih dari sekadar perubahan fisik itu: ada proyek penting menyangkut penyelamatan isinya. Ini sudah berjalan dua tahun hingga kini, dan praktis boleh dibilang telah rampung. Yaitu usaha merekam isi naskah-naskah itu ke dalam mikrofilm. Tak kurang dari 120 rol film terpakai. Kopi rekamannya kemudian akan diberikan ke Arsip Nasional, Museum Sono Budoyo - yang naskah-naskah kunonya juga disiapkan untuk direkam dengan cara sama. Kopi itu juga diberikan kepada Sri Sultan sendiri, dan para pemberi dana, yaitu Universitas Sydney, Universitas Nasional Australia, Perpustakaan Nasional Australia Yayasan Myer Australia, dan Ford Foundation. Anggaran yang sudah dikeluarkan untuk proyek tersebut telah berjumlah US$ 23 ribu, plus A$ 15 ribu. Kini, jika Anda hendak mempelajari Babad Mataram, misalnya, cukup menyimak layar monitor mikrofilm di Perpustakaan Nasional. Dan kalau di luar negeri, pergilah ke tempat-tempat atau lembaga yang sudah disebut sebagai sumber dana tadi. Dengan demikian, tak perlu lagi datang ke Keraton Yogya. Mereka yang ingin tahu tak perlu lagi terbungkuk dan terbatuk-batuk membuka halaman buku setebal 519 halaman yang huruf-huruf di dalamnya ditorehkan dengan tinta berperada emas itu. Ini kitab dibuat pada tahun Dal, dengan sangkala (perhitungan tahun Jawa) Katn Nembah Mengesti Srinoropati alias 1823, yang terjemahannya ke tahun Masehi: 1894. Ini adalah masa pemerintahan Hamengku Buwono VII. Di sana ada pula naskah semacam Babad Mataram. Yaitu Bharata Yudha yang dibuat pada bulan Jumadil Awal Tahun Be 1802 alias Karno Leno Madeg Mangala ning Aji atau 1873 Masehi. Naskah ini dikoleksi di dalam bangsal Kapujanggan. Segolongan dengan kedua yang itu, antara lain, ada Quran berbahasa Jawa (tapi tertuang dalam huruf Arab), kitab-kitab pakuwon, suluk kebatinan, hikayat, silsilah, dan semacamnya. Di tempat lain, yang disebut Krido Mardowo, disimpan berbagai manuskrip tentang pertun)ukan wayang, karawitan, tembang, perkara gamelan, dan soal-soal kesenian lainnya. Jumlah yang sudah dimikrofilmkan seluruhnya ada 800 buku. Ada naskah yang rupanya oleh pihak keraton diharamkan untuk dijamah dengan teknologi yang memungkinkan penjamakan itu. Yaitu, Kitab Suryorojo yang diterbitkan pada tahun 1774, atas prakarsa Hamengku Buwono II, sewaktu ia masih Adipati Anom. Kitab pusaka ini disimpan di Dalem Proboyekso. Tak sembarang orang boleh membaca isinya. Dan kalau hendak dikeluarkan dari kandangnya itu, maka mesti ada upacara tersendiri, komplet dengan sesajinya. R.M. Soetanto, 57 tahun, seorang peneliti kebudayaan Jawa yang terlibat dalam proyek mikrofilm ini, mengatakan, "Serat Suryorojo dikeramatkan, karena berisi antara lain tata pemerintahan keraton, strategi perang. Nah, kalau sembarang orang boleh menyimaknya atau sempat tercuri musuh, bukankah itu berbahaya?" Tapi sekarang, siapa musuh keraton, Den Mas? Di luar urusan kitab keramat, kesulitan teknis yang dihadapi selama proses pembuatan mikrofilm antara lain menyangkut pemotretan. Banyak naskah yang sudah kusam atau jilidannya tercabik, dan ada pula yang melengkung. Sedangkan yang kondisinya masih baik, jika dipotret, sehari paling bisa selesai empat atau lima naskah. Jumlah ini makin kurang jika naskah yang dipotret sudah tak keruan. "Bahkan ada yang tak bisa diapa-apakan lagi," tutur Alan Feinstein, ahli dari AS. Kini ia sedang menyiapkan disertasi mengenai karawitan. Memperdalam bahasa Jawa di Solo sejak 1977, Alan, 38 tahun, mengaku masih sering minta bantuan orang-orang keraton untuk memahami isi sebuah manuskrip di situ. Dari pengamatan Alan, sekitar 10% dari seluruh naskah kuno itu telah rusak. Baginya, proyek di Keraton Yogya ini bukan yang pertama. Sebelumnya, perjaka dari Universitas Michigan ini sudah merekam naskah-naskah tua di Museum Radyapustaka, di Mangkunegaran, dan perpustakaan pribadi K.R.T. Hardjonegoro - semuanya di Solo. Adapun pemilik gagasan untuk merekam naskah di Ngayogyakarto Hadiningrat ke mikrofilm adalah Dr. Jennifer Lindsay dari Universitas Sydney, Australia. Jennifer Lindsay tergerak hatinya sekitar tujuh tahun lalu sewaktu ia menggali bahan ke Kridomardowo. Ketika itu ia sedang mempersiapkan gelar M.A. dalam musikologi. Di saat sedang mudik ke Australia, 1982-1983, dia pula yang sibuk mengupayakan dana - setelah sebelumnya dapat iin dari Sri Sultan. Tentu saja, usai dalam bentuk mikrofilm, modal yang diperlukan untuk memahami isinya tetap sama: mampu membaca huruf Jawa. Ini pernah ada usaha mengindonesiakannya. Sri Sultan pernah menyuruh Puruboyo untuk mengorganisasikannya. "Tapi orang yang mengerjakannya sakit. Ia meninggal sebelum menyelesalkan tugasnya. Saya ganti orang lain, dia meninggal juga. Entah kenapa. Daripada terulang, sampai sekarang saya tak mau lagi menugasi orang untuk meneruskannya," begitu tutur Pangeran Puruboyo. Mohamad Cholid Laporan Syahril Chili & Yuyuk Sugarman (Biro Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus