Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Faruk *)
APA yang disebut sebagai sastra Hindia Belanda, yang dalam bahasa Belanda sering disebut sebagai Indische letteren, merupakan sekumpulan tulisan orang Belanda, yang ditulis dalam bahasa Belanda, mengenai Indonesia, baik mengenai situasi dan kondisi geografinya, lingkungan alamiah, maupun lingkungan manusianya. Bentuk tulisan itu amat beraneka, dari semacam catatan perjalanan, surat-surat pribadi, deskripsi mengenai alam flora dan fauna Indonesia, ekspresi mengenai rasa keterpesonaan dan kekecewaan orang Belanda menyaksikan lingkungan kehidupan di Indonesia, sampai yang berupa cerita fiktif-imajinatif yang sejauh ini disebut sebagai karya sastra. Penulisnya pun bermacam-macam, dari petualang Belanda di abad XVI, ilmuwan, rohaniwan, pengusaha, pegawai VOC, birokrat pemerintah kolonial, wartawan, hingga sastrawan. Hanya satu hal yang mempersatukan keanekaan bentuk tulisan dan latar belakang penulis tersebut yang membuat semua tulisan di atas dimasukkan dalam satu kategori dan dengan satu nama, yaitu dunia yang digambarkannya, Indonesia atau Hindia Belanda.
Karena sifatnya yang demikian, tulisan-tulisan mengenai Hindia Belanda tersebut cenderung diperlakukan hanya sekadar sebagai tulisan, letteren, bukan karya sastra, karya tulis yang indah, bukan letterkunde. Nieuwenhuys, dalam bukunya yang berjudul Mirror of the Indies: a History of Dutch Colonial Literature, mengemukakan bahwa sastra Hindia Belanda memang berbeda dengan sastra pada umumnya, dengan sastra yang biasa dikenal. Ia tidak dapat ditempatkan dalam kategori-kategori aliran atau gaya sastra seperti klasisme, tragedi barok, ataupun prosa renaisans. Hal itu juga tidak dapat dipahami dengan konsep-konsep historis dalam kesusastraan seperti pencerahan, romantisisme, atau realisme baru. Kategori cerita, novel, ataupun novela juga tidak dapat digunakan karena dalam sastra Hindia Belanda itu akan ditemukan betapa cerita novel, dan novela, berbaur dengan memoar, buku harian, surat, cerita bersambung, dan bahkan pamflet. Karena itu, tidaklah mengherankan jika dalam waktu yang amat lama, sastra Hindia Belanda, yang ditulis dalam bahasa Belanda, tidak tercatat dalam buku sejarah sastra Belanda, misalnya dalam buku Reinder P. Meijer yang berjudul Literature of the Low Countries: a Short History of Dutch Literature in the Netherlands and Belgium.
Kenyataan tersebut tidak berarti bahwa sastra Hindia Belanda tidak memperoleh perhatian dan penghargaan. Nieuwenhuys sendiri, misalnya, merupakan salah seorang dari sedikit pemerhati dan apresiator sastra yang demikian. Di samping itu, terdapat pula seorang sarjana Belanda yang amat setia memperhatikan hal tersebut, yakni Termorshuizen. Orang Inggris yang menaruh minat terhadap sastra Hindia Belanda adalah E.M. Beekman, sementara orang Indonesia, pertama-tama dan terutama, yang menunjukkan minat besar terhadap sastra jenis ini adalah Dick Hartoko. Beekman menerjemahkan beberapa karya sastra Hindia Belanda ke dalam bahasa Inggris. Dick Hartoko menerjemahkan dan menyadur serta meringkas antara lain karya Nieuwenhuys di atas dengan judul Bianglala Sastra. Bahkan, H.B. Jassin telah pula menerjemahkan beberapa karya dari khazanah sastra tersebut, terutama karya Multatuli dan Vincent Mahieu. Pada awal 1980-an, Subagio Sastrowardoyo menulis sebuah buku mengenai tema ini, yaitu Sastra Hindia Belanda dan Kita.
Namun, penghargaan terhadap sastra Hindia Belanda itu pada umumnya diberikan bukan pada aspek literernya. Nieuwenhuys, meskipun memberikan sedikit pembelaan atas aspek literer karya-karya sastra itu, cenderung memberikan tekanan pada aspek sosiologis dan historis karya-karya tersebut. Dick Hartoko cenderung menghargainya sebagai bagian dari usaha membangun jembatan, ’’bianglala”, yang dapat mempertalikan kembali dan menumbuhkan rasa saling mengerti antara masyarakat Indonesia dan masyarakat Belanda. Subagio Sastrowardoyo mencoba memberikan penghargaan literer terhadap karya-karya sastra Hindia Belanda itu. Meskipun mengkritik kesepihakan pandangan para sastrawan Hindia Belanda terhadap manusia Indonesia, ia menunjukkan betapa beberapa karya sastra dari para sastrawan itu mempunyai pengaruh yang cukup kuat terhadap sastra Indonesia, misalnya pengaruh Max Havelar karya Multatuli terhadap Atheis karya Akhdiat K. Miharja.
Adanya pengaruh tersebut terhadap sastra Indonesia menunjukkan betapa sastra Hindia Belanda telah menjadi salah satu kekuatan yang memungkinkan lahir dan berkembangnya sastra Indonesia. Pengaruh itu tidak selalu bersifat langsung dari sastra Hindia Belanda yang berbahasa Belanda ke sastra Indonesia. Sastra Hindia Belanda sebenarnya mempunyai varian Indonesianya, mempunyai bentuk-bentuk reproduksinya dalam bahasa Indonesia, terutama varian Melayu Rendah. Karya-karya sastra Hindia Belanda berbahasa Melayu itu ditulis oleh penulis-penulis Indo-Belanda khususnya dan Indo-Eropa umumnya. Salah satu bentuk yang populer adalah karya-karya yang berisi cerita tentang nyai, misalnya Nyai Dasima. Karya yang kemudian amat populer di Indonesia ini pernah dipentaskan dalam bentuk drama oleh Komidi Stambul, pernah difilmkan, dan bahkan akhir-akhir ini disinetronkan. Prototip tokoh Nyai Ontosoroh yang amat terkenal, yang terdapat dalam Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, tidak lain daripada Nyi Paina, seorang tokoh dalam karya sastra Hindia Belanda berbahasa Melayu. Cerita mengenai Nyi Paina tampaknya telah pula mengilhami salah satu episode dalam Sitti Nurbaya. Beberapa karya sastra Indonesia sebelum kemerdekaan, bahkan sampai tokoh Yah dalam Belenggu, berada dalam kerangka cerita nyai yang demikian pula.
Akhir-akhir ini, karya-karya sastra Hindia Belanda menjadi semakin penting sejak munculnya Orientalisme karya Edward Said, yang kemudian berkembang menjadi sebuah teori dan pendekatan dalam ilmu kebudayaan, yaitu yang disebut sebagai pespektif pascakolonial. Sastra Hindia Belanda dapat digolongkan ke dalam wacana orientalisme dalam pengertian Edward Said. Dari dan di dalamnya serta dengannya, kita dapat menemukan bagaimana Barat, terutama Belanda, kekuatan kolonial, menciptakan sebuah dunia atau geografi imajiner yang disebut sebagai Hindia atau Indonesia. Memahami kemungkinan adanya kontinuitas antara sastra Hindia Belanda tidak hanya dengan apa yang disebut sastra Indonesia, melainkan bahkan dengan aneka wacana yang berkembang di Indonesia, seperti film dan jurnalisme. Bahkan, berbagai bentuk gosip, ritual, dan sistem arsitektur akan menjadi petunjuk penting mengenai kekuatan sastra Hindia Belanda sebagai sebuah wacana kolonial yang menerobos masuk dan tertanam dalam hingga ke masa pascakolonial di Indonesia. Buku Djoko Soekiman yang baru saja terbit, berjudul Kebudayaan Indis, amatlah berharga meskipun penulisnya, yang sudah bekerja bertahun-tahun, dalam duka dan kemiskinan berkepanjangan, tidak mendapatkan royalti satu sen pun. Mungkin peristiwa penerbitan buku Djoko Soekiman itu pun merupakan salah satu fenomena pascakolonial pula betapa sastra Hindia Belanda masih hidup di sekitar dan dalam diri kita hingga saat ini.
Postmodernisme juga membuat sastra Hindia Belanda menemukan relevansinya dalam wacana kesenian pada khususnya dan kebudayaan pada umumnya. Dalam konteks postmodernisme ini, relevansi sastra Hindia Belanda terutama terletak pada kecenderungannya dalam menegaskan dan merealisasikan gagasan mengenai identitas sebagai sebuah konstruksi manusiawi yang tidak baku, yang terbuka, sehingga dimungkinkan terjadinya percampuran antar-identitas, antar-budaya, yang dalam sebuah iklan rokok disebut ’’menembus batas”, batas antara kelas tinggi dan rendah, seni adiluhung dan seni rakyat, seni serius dan seni populer, seni Barat dan Timur, musik klasik dan dangdut.
*) Pengamat sastra
Country of Origin
Catatan Harian Du Perron
DI sebuah restoran di bilangan Paris, Prancis, pada 1933, sepasang sahabat bernama Guraev dan Ducroo memesan menu rijsttafel. “Saya rasa makanan pedas ini berbahaya,” kata Guraev, keturunan Rusia. Ia hanya mencomot kerupuk. Ducroo mendebatnya, lalu menjelaskan sejarah rempah-rempah Ambon. Itulah awal novel Du Perron berjudul Het land van herkomst, yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris: Country of Origin. Ducroo adalah personifikasi Du Perron. Novel ini berbentuk sebuah catatan harian mulai Januari 1933 sampai Februari 1934. Seperti dikatakan Subagio Sastrowardoyo, novel ini gambaran pergulatan intelektual Du Perron sendiri.
Membaca novel ini ibarat mengikuti sebuah memoar yang meloncat-loncat. Narasi Du Perron bukan suatu alur lurus yang meniti sampai klimaks karena ia menulis dengan adegan fragmen kenangan yang berulang-alik antara kehidupan di Hindia dan Prancis. Pada bagian awal, ia melacak silsilah keluarganya. Nama Ducroo diambilnya dari Du Crault, bangsawan yang menurunkan Jean Roch, pelaut yang pada 1775 datang ke Batavia—dan kemudian menjadi asal-usul Du Perron. Dari Archives de la noblesse France, ternyata Perron menemukan bahwa Du Crault adalah bangsawan yang bersahabat dengan D’Artagnan, salah seorang jago pedang dari tiga serangkai dalam cerita Alexander Dumas, yang dikaguminya. Perron menelusuri kegiatan kakeknya di Jawa. Ia mengakui sang kakek adalah komandan batalyon di Magelang yang ikut melawan Diponegoro.
Saat Perron menggambarkan kehidupannya di rumah Gedong Lami di Jatinegara, ia menampilkan deskripsi yang basah tentang suasana Kampungmelayu saat itu. Ternyata lagu “Burung kakaktua menclok di jendela…” itu sudah ada sejak zaman Du Perron kecil, pada 1920-an. Kebiasaan Perron ngluyur di Gang Bungur, kampung Cina, yang kotor, padat, dan meruapkan bau dupa dan makanan itu menambah sebuah gambaran yang sangat kaya.
Perron juga mengakui, erotismenya di kala kanak-kanak akan tersulut saat sang pembantunya yang berbuah dada besar menceritakan kelong wewe, sebuah kisah tentang roh perempuan halus dengan buah dada besar yang suka menculik anak kecil.
Bagian paling berat adalah kenangannya tentang dialognya dengan lingkaran intelektual Prancis. Selain bersahabat dengan Andre Malraux, Perron berkarib dengan Pascal Pia—mentor sastrawan Albert Camus. Pia adalah editor Alger Republican dan koran bawah tanah Combat—sebuah koran tempat Camus sering menulis. Dalam novel ini, Pia menjelma menjadi sebuah tokoh rekaan bernama Viala. Dan tentu saja bagian ini penuh dengan perbincangan filsafat, termasuk pemikiran Nietzsche.
Bagian akhir novel ini menceritakan sebuah demonstrasi oleh sekitar 7.000 orang kiri di Place de la Republique, Prancis, Februari 1934. Du Perron ikut terlibat dalam demonstrasi yang melibatkan bentrokan dengan polisi itu. Mereka melempari polisi dengan batu. Tembakan polisi membabi-buta. Enam orang komunis tewas. Viala, yang berada di barisan depan, selamat. Semua pihak mengangkat topi akan keberanian aktivis Marxis ini. Keesokannya, ribuan massa kiri mengadakan pawai bendera merah. Entah kenapa tiba-tiba Du Perron merasa jengah.
Du Perron adalah orang yang simpati pada gerakan kiri. Tapi ia tidak mau bergabung. Ia tidak mau menjadi hero modern. “Mengapa saya tidak mau bergabung ke salah satu partai? Saya menolak kompromi. Itu mematikan,” katanya di akhir novel. Ia peka terhadap politik tapi tidak mau hidup di bawah subordinasi politik tertentu. Namun, pilihannya ini acap membuatnya gelisah. Seperti dikatakan Subagio Sastrowardoyo, sesungguhnya dalam buku ini Perron merasa bagai seorang cendekia yang hina-dina yang hanya sanggup menonton dan mengontemplasikan ketidakadilan dari luar. Dia memang tak terlibat langsung dalam politik praktis. Juga terhadap ketidakadilan di Hindia Belanda.
The Islands
Ketika Sang Penakluk Bercerita
APA yang dipikirkan seseorang ketika ia menjejakkan kaki di atas pulau yang mesti dijajahnya? Bagi sang “aku”, tokoh utama dalam The Islands, ia takluk. Dengan caranya, sang tokoh tunduk pada pulau, hijau rumput, hitam hutan, biru ombak, dan putih pasir. Baginya, rangkaian pulau permai bak untai permata mutu manikam telah mencuri sebagian jati dirinya. Kepulauan inilah yang menyebabkan sang narator kembali sebagai manusia asing di tanah kelahirannya sendiri.
Karya fiksi ini pertama kali terbit pada 1952. Buah cipta Alberts ini dianggap sebagai masterpiece dari salah satu penulis terpenting di masa sastra Belanda modern. Lahir di keluarga pelaut pada 1911, Alberts menumbuhkan rasa takjub pada laut dan orang-orang yang hidup darinya. Pendidikan indology di Utrech University membawanya ke jenjang karir pegawai kolonial. September 1939, ia ditempatkan di Sumenep, Madura, dan hidup bak dalam kahyangan. Maret 1942, mimpi indahnya berantakan. Ia ditahan tentara Jepang dan terpaksa berpindah dari satu tahanan ke tahanan yang lain. Seiring dengan terusirnya Jepang pada 1945, Alberts bebas. Ia hidup terkatung-katung satu tahun di tengah peralihan kekuasaan dari kolonial Belanda ke kerajaan Inggris, yang membawanya kembali ke kampung halamannya.
Sekembalinya ke Belanda, ia menerbitkan The Islands. Pada 1975, Alberts menerima penghargaan prestisius Constantijn Huygens Prize.
Yang menarik dari karyanya ini, pembaca bisa melongok bagaimana seorang penjajah menelusuri pulau-pulau yang kekayaannya akan dikeruk dan juga bagaimana persepsi seumur hidupnya berbenturan dengan nilai-nilai setempat saat berhubungan dengan penguasa dan pengusaha lokal. Rangkaian cerita pendek ini juga mengajak kita mengintip bagaimana seseorang menampik sepi yang tak kunjung pergi, kelelahan demi kelelahan, yang menciptakan kenangan yang menggumpal dalam darah dagingnya.
Hikayat Kadiroen
Hikayat Kadiroen dalam Dunia Pergerakan
MENURUT sejarawan Cornell, Takashi Shiraishi, ciri-ciri lahirnya zaman pergerakan di Indonesia adalah maraknya fenomena vergadering. Vergadering adalah pertemuan umum yang dilaksanakan partai atau organisasi yang bisa dihadiri lebih dari 1.500 orang. Di situ dialog demokratis membahas nasib bumiputra berlangsung dengan bebas. Isi novel Semaoen ini berlatar belakang vergadering.
Kadiroen adalah seorang patih yang jujur dan cakap di kota S. Pada suatu kali, di daerahnya diadakan vergadering oleh hoofdbestuur (komite pusat) Partai Komunis, yang diikuti dengan antusias oleh masyarakat setempat. Separuh novel Hikayat Kadiroen ini melukiskan sengitnya dialog-dialog peserta vergadering yang menekankan hak-hak rakyat dan pembeberan rencana skema program partai untuk kaum buruh dan petani. Kadiroen, dalam kapasitasnya sebagai patih, menjaga berlangsungnya acara itu untuk membuat voorstel—laporan kepada pemerintah Hindia Belanda. Esoknya, surat kabar SHB milik kaum bermodal itu menurunkan tulisan yang menilai bahwa vergadering Partai Komunis tersebut penuh penghasutan kepada rakyat. Dan surat kabar itu menyarankan agar para pemimpin Partai Komunis yang berbicara di situ dibuang dan diasingkan. Kadiroen merasa heran karena sebagai saksi mata ia sama sekali tak melihat mereka menghasut. Malah, ia merasa mereka hendak berbuat baik membela rakyat.
Maka, ia menulis di surat kabar Sinar Ra’jat dengan nama samaran. Akibatnya, tulisan itu dianggap melanggar delik pers dan pemimpin redaksinya (hoofdredacteur) diajukan ke pengadilan. Kadiroen dengan gagah mengajukan diri ke pengadilan—karena merasa bertanggung jawab. Untung, pengadilan memenangkannya.
Sekarang ketahuan, sebagai patih, ia berpihak pada rakyat. Asisten Residen, atasannya di pemerintahan, secara mengejutkan bersimpati dengan keberanian Kadiroen. Tapi, setelah atasan yang tua itu diganti oleh residen baru yang datang dari Belanda, ia mendapat tekanan.
Maka, ketika dua artikel Kadiroen yang meminta pemerintah mengadakan saluran irigasi dan selokan air untuk petani dimuat koran Sinar Ra’jat, ia dianggap menularkan perasaan kebencian kepada Gupermen. Kadiroen dipanggil dan disuruh memilih tidak menulis lagi—dan dinaikkan pangkatnya—atau dipecat. Kadiroen bimbang dengan pilihan mendapatkan status priayi yang lebih tinggi atau berjuang. Ia akhirnya memilih yang terakhir: keluar dari jabatan pemerintahan dan menjadi redaktur pembantu di Sinar Ra’jat, meneruskan perjuangan.
Faded Portraits
Kisah Tante Sophie
TOKOH utama dalam novel Vergeelde Portretten yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Faded Portraits ini adalah Tante Sophie. Novel ini berbentuk sebuah memori dari Eduard, keponakan sang Tante. Faded Portraits dimulai dengan dengan gaya kilas balik yang mengisahkan makam Tante Sophie, yang meninggal pada 1940, di pekuburan Tanahabang, sebuah makam keluarga yang mewah.
Ingatan Eduard menyusuri kebiasaan-kebiasaan sang Tante adalah bab-bab yang dipersembahkan E. Breton De Nijs. Tante Sophie adalah istri dari paman Eduard bernama Tjen. Mengapa ingatan Eduard begitu tertancap pada sosok Tante Sophie? Karena sejak semula ia merasa tidak sreg dengan tingkah laku sang Tante. Tunangan pamannya bernama Winny mati. Dan kemudian Sophie, yang lebih tua dari pamannya, kawin dengan pamannya (umur Sophie 35 tahun saat kawin dengan Tjen).
Tante Sophie berasal dari keluarga De Pauly, yang di masa lalu adalah keluarga kaya di Hindia Belanda—sebuah keluarga yang secara periodik di rumahnya menyelenggarakan pesta dansa dengan mengundang ratusan tamu dari Bogor, Sukabumi, dan Batavia. Kebanggaan atas masa itu masih dipantulkan oleh sang Tante. Banyak foto anggota keluarga De Pauly yang dibuat Woodbury & Page—fotografer terkenal saat itu—yang menghiasi kamar dan ruang tamu Tante Sophie. Melalui foto itu, ia seolah merawat kebesaran yang telah usang. Secara detail, E. Breton De Nijs melukiskan kebiasaan sang Tante, dari kebiasaan jalan-jalan pagi antara Kramat dan Salemba hingga jenis makanan yang dibawa saat pelesir.
Sang Tante cerewet dan rewel pada hal-hal kecil. Ia prototip seorang nyonya besar yang berusaha keras menegakkan aturan-aturan Belanda. Ia ingin semua anggota keluarganya berpikir dan merasa menjadi orang Eropa. Tapi dia sendiri tak lepas dari kebiasaan-kebiasaan Jawa, misalnya tetap minum jamu jika merasa sakit, minta dipijat jika pegal, merasa tak tenang kalau tidak ke dukun, dan membakar kemenyan pada hari tertentu. Ketika Christien, adiknya, melahirkan, Tante Sophielah yang paling bawel mengadakan slametan lengkap untuk jabang bayi bernama Kitty. Ia mencarikan pembantu untuk merawat Kitty. Tapi, kemudian, tingkah laku Waginem, sang pembantu—misalnya selalu menggendong dan mendekapkan Kitty ke buah dadanya—dianggap tak patut.
Sang Tante menganggap semua tingkah laku pribumi kampungan. Itu yang juga menyebabkan Alex, saudara laki-lakinya, merasa jengah tinggal di rumah. Alex kawin dengan Titi, wanita pribumi yang berasal dari desa. Tingkah laku istrinya selalu diperhatikan Tante Sophie sebagai perilaku orang udik. Titi sendiri selalu menjawab sapaan Tante Sophie dengan kata, “Saya, Nyonya.” Anak-anak Alex-Titi, yang kulitnya hitam, sering dimarahi Tante Sophie karena tindakannya yang “tidak cukup Eropa”, misalnya bertelanjang kaki atau makan menggunakan tangan. Itu semua agar watak kampungan kepribumian mereka hilang.
Keinginan sang Tante untuk menjadi Belanda dirasakan Eduard amat berbeda dengan ibunya. Itu dirasakan Eduard saat ia tinggal di Belanda bersama orang tuanya untuk bersekolah. Ibunya sendiri merasa tidak kerasan dan selalu ingin “pulang” ke Hindia Belanda.
Tante Sophie adalah sosok wanita Indies yang dibayang-bayangi masa kejayaan orang Belanda yang telah memudar di sini. Ia berusaha meniru kebiasaan lahiriah (life style) orang Eropa, tapi tak berhasil mempelajari state of mind atau rasionalitas Eropa. Dan itulah yang kini diwariskan kepada priayi-priayi kita di Indonesia.
Student Hijo (1919)
Hindia Belanda di Mata Marco
NAMA pengarang buku ini jauh lebih menarik ketimbang novel yang ditulisnya. Marco Kartodikromo alias Mas Marco (1890-1935) adalah nama besar di kalangan kaum “kiri” Indonesia. Di masa awal pergerakan nasional, wartawan yang juga aktivis revolusioner ini harus keluar-masuk penjara karena memimpin aksi perlawanan terhadap Belanda. Kelahiran novel ini pun tak bisa dilepaskan dari aktivitas yang dilakukannya itu. Saat berada dalam penjara, Marco mengarang novel Student Hijo.
Novel ini tak lain merupakan sinisme Marco terhadap kehidupan masyarakat papan atas, yaitu kaum priayi feodal yang merupakan antek-antek Belanda, di masa penjajahan—potret sebuah kelas, yang secara politis tak lain merupakan lawannya, yang penuh dengan kemewahan. Marco menyajikan hak istimewa yang dimiliki anak-anak Jawa dari keluarga terpandang itu, mulai cara mereka berpelesir ke Taman Sriwedari hingga kesempatan emas yang dimiliki untuk menuntut ilmu ke Negeri Belanda.
Ini sebuah upaya yang patut dihargai. Tanpa mempertentangkannya dengan keadaan yang dialami masyarakat kelas bawah (proletar) yang dekat dengannya, Marco menyampaikan sebuah ketimpangan yang terjadi saat itu. Ia menggugah kesadaran pembacanya.
Dari segi sastra, Student Hijo bukanlah karya yang istimewa. Gaya bahasa yang dipakai Marco terasa lurus dan hampir tanpa kelokan. Agaknya, Marco tak bisa melepaskan gaya menulisnya untuk koran, sehingga karyanya sungguh miskin dan kehilangan daya imajinasi.
Padahal, tema novel ini cukup menarik. Student Hijo berkisah tentang penyelewengan yang dilakukan Hijo, anak dari keluarga Jawa terpandang yang bersekolah di Belanda. Di negeri perantauannya itu, Hijo kecantol seorang noni Belanda, anak pemilik rumah tempatnya menetap. Hijo melupakan Raden Ajeng Biru, kekasihnya di tanah Jawa yang menjadi tunangannya. Sayangnya, Marco tak pandai bercerita. Di ujung cerita, ia membuat ending yang tawar. Meski begitu, melalui novel ini, Marco telah berhasil mencatat sepenggal keadaan yang terjadi di Hindia Belanda saat itu.
John Company
Kesatria Asing di Tanah Pribumi
MENCARI ilmu sampai ke negeri Cina, mencari harta sampai ke tanah Hindia. Semangat pionir seperti inilah yang tergambar dalam John Company, sebuah novel yang mengisahkan tahun-tahun awal operasi Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) di daratan Timur Jauh.
Dengan mengambil setting tahun 1590-an, Company adalah cermin kehidupan para petualang londo ketika itu. Adalah Jan De Brasser, pria asal Amsterdam, yang menjadi tokoh sentralnya, yang digambarkan sebagai pria jujur dan berhati nurani tapi juga keras kepala dan sukar ditebak. Lelah disalahartikan oleh keluarga dan masyarakat, De Brasser memutuskan untuk meninggalkan kota tempatnya lahir dan besar untuk menguji peruntungannya di tanah Hindia.
Meski mendarat di pantai barat Pulau Jawa (Banten), tahun-tahun De Brasser di Hindia Belanda lebih banyak dihabiskan di Kepulauan Maluku (Banda, Seram, dan Ternate). Di sana, ia meniti karir sebagai tentara VOC dan sebagai pedagang partikelir. Di sana pula ia menemukan jodohnya, seorang gadis Portugal bernama Isabel Fonseca.
Bagi Arthur Van Schendel, penulis Company, De Brasser adalah pesona yang melambangkan keperkasaan sekaligus kelemahan kaum pionir Belanda. Menguasai rempah-rempah yang bisa dijual mahal di kampung halaman bukan perkara gampang. Dalam mengarungi Samudra Pasifik, mereka bukan cuma menghadapi badai dan bajak laut. Setiba di darat pun, mereka masih harus terlibat dalam intrik dagang dan kekuasaan dengan raja-raja lokal dan petualang kulit putih lain yang datang dari Inggris dan Portugal. Repotnya lagi, di dalam tubuh VOC sendiri, tentu saja, masih ada saling sikut untuk mendapatkan kekuasaan dan keuntungan yang terbesar.
Bukan cuma sekali De Brasser mengaku kalah terhadap intrik-intrik itu. Tanpa bisa menghentikan—bahkan belakangan juga ikut memiliki—De Brasser juga bertarung melawan hati nuraninya sendiri ketika menyaksikan perdagangan budak lokal oleh kaum kulit putih. Karena tindak-tanduknya yang sopan, De Brasser termasuk londo yang disukai dan dihormati penduduk setempat. Tapi ia juga bagian dari sebuah institusi yang melambangkan keserakahan dan kerakusan kaum kolonial.
Toh, novel ini tak bermaksud meminta maaf atas kelakuan VOC di zaman itu. Van Schendel—akrab dengan sejarah Hindia Belanda karena lahir di Batavia dari orang tua yang juga lahir dan besar di sana—agaknya hanya ingin mengisahkan seorang Jan De Brasser yang kukuh hati dan tegar menghadapi cobaan hidup demi sebuah kehormatan sebagai putra dari sang ibu, sebagai seorang pria dewasa, dan sebagai seorang manusia.
Sayang, dengan tema yang menarik seperti ini, Van Schendel memilih gaya narasi yang dingin dan datar. Gejolak emosi De Brasser justru kurang dijelajahi sehingga pembaca sulit dibangkitkan rasa empatinya. John Company pun akhirnya lebih membawa aura sebuah jurnal daripada sebuah novel.
Ups and Downs of Life in the Indies
Bunuh Diri Sang Tuan Tanah
NOVEL ini diinspirasikan oleh sebuah kejadian nyata pada 1872. Syahdan, tuan tanah Pieter William Hofland, penguasa tanah Tenger Agung di daerah Pemanukan, ditemukan tewas. Hofland dikenal sebagai pribadi yang hangat. Jika berlayar dengan feri menyusuri Sungai Citarum antara Batavia dan Subang, ia gemar melempar keping uang untuk diambil anak-anak pribumi yang menyelam. Novel ini memilih latar belakang saat bisnis perkebunan di negeri koloni tengah guncang. Ketika itu, berbagai perkebunan dijadikan jaminan utang pada bank. Puncaknya, pada 1885, terjadi depresi ekonomi hingga tuan tanah kehilangan statusnya.
Dua pemilik perkebunan besar di Kuningan, Jawa Barat, dikisahkan memiliki tanah yang berdekatan. Mereka adalah keluarga Uhlstra dan seorang sarjana bernama Geber. Geber bermaksud menjual tanahnya dan pulang ke Eropa. Tapi Josef—mandor perkebunannya—dibunuh rakyat setempat. Geber menembak jidatnya sendiri dengan sebuah pistol. Padahal, Geber dikenal sebagai pribadi yang berani, kaya, tampan, cerdas, dan menyenangkan semua orang. Tapi ia seseorang yang berpandangan nihilis, merasa diri hampa seperti sebuah rumah kosong yang tak lagi dihuni. Rose, istrinya yang memberinya anak, makin hari makin asing baginya. Ia berselingkuh dengan Clara, tapi itu tetap tak mengurangi kesepian dalam dirinya.
Geber bukan seseorang dengan personalitas yang lemah. Jatuhnya perkebunannya bukan karena penyakit rata-rata tuan tanah kolonial: alkohol dan judi. Bunuh diri Geber lebih disebabkan oleh sesuatu yang eksistensial. Ide untuk bunuh diri menyentuh nuraninya ketika ia menyaksikan suatu pemandangan tropis laut di kala malam. Cahaya bulan keperakan, udara yang berembus semilir, entah kenapa, membuatnya ingin membunuh diri. Daum khusus mempersembahkan sebuah bab dengan tajuk Suicide Fantasies. Di sini, Geber merenungkan mengapa gagasan bunuh diri selalu berulang muncul dalam dirinya. Dia gemar menutup mata membayangkan jenazahnya terhempas. Lalu, ia melihat sesuatu yang indah, cahaya berwarna cerah yang fantastis.
Semenjak kecil, penulis novel ini mendapat pendidikan Katolik tradisional secara ketat. Saat muda, ia kawin dengan gadis Katolik. Keimanannya menyusut saat ia tinggal di Indies. Pada 1883, dalam koran The Indies Fatherland (Semarang), ia menulis sebuah artikel yang memproklamasikan secara terbuka ateismenya. Ia menertawai ekaristi dan pandangan tentang imortalitas. Adakah ateismenya menyebabkan ia membuat Geber, sang tokoh, memilih keputusan nekat demikian?
Sikap kemuakan pada sekeliling, yang membuat pribadi tiba-tiba tak berarti, dalam sastra dunia kita kenal paling ampuh ditunjukkan novel Sartre: Nausesa. Yang menarik, sikap absurd Geber, tokoh Daum ini, seolah didukung oleh suasana indah perkebunan. Seolah kesegaran dan keromantisan iklim tropis dapat menyokong—melenakan—manusia untuk suatu perbuatan yang gegabah. Novel ini sebetulnya adalah bagian pertama dari sebuah novel yang lebih panjang. Tapi itu tidak dilanjutkan oleh Daum. Tak lama setelah ia merampungkan bagian ini, seperti dikutip dalam buku Rob Nieuwenhuys, Daum mengatakan, ”Penghuni koloni silih berganti. Orang bisa sukses, orang bisa keok. Satu keok—yang lain datang lagi mengadu nasib. Yang tak beruntung hidup di perkampungan yang kumuh. Dan yang biasa-biasa saja berusaha kuat tidak terpental.” Buku ini berhasil menggambarkan suasana psikologis orang-orang perkebunan di Hindia Belanda yang berangsur mengalami kemerosotan itu.
Penulis: E. Du Perron
Penerbit: Periplus, 1999
Judul asli: De Eilanden
Penulis: Albert Alberts
Penerbit: Periplus Editions (HK) Ltd., 1999
Penulis: Semaoen
Penerbit: Bentang Budaya, 2000
Penulis: E. Breton De Nijs
Penerbit: Periplus, 1999
Penulis: Marco Kartodikromo
Penerbit: N.V. Boekhandel en Drukken “Masman & Stroink” Semarang
Penulis: Arthur Van Schendel
Penerbit: Periplus, 1999
Penulis: P.A. Daum
Penerbit: Periplus, 1999
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo