HAMPIR tiap hari Rumah Sakit Umum Bunder, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, kebanjiran pasien rawat jalan. Tak hanya warga Gresik, pasien dari kawasan Surabaya pinggiran pun sering datang ke rumah sakit milik Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik itu. Biaya berobat di sini memang relatif murah. Selain itu, RS Bunder juga memiliki 27 dokter spesialis, 7 dokter umum, dan 4 dokter berstatus pegawai tidak tetap (PTT). Itu belum termasuk kalangan dokter muda dari Universitas Hang Tuah dan Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya, yang kerap bertugas di setiap unit.
Rupanya catatan di atas kertas itu tak selalu terwujud dalam kenyataan. Pertengahan Mei lalu, para wakil rakyat dari Komisi A DPRD Gresik, yang melakukan inspeksi mendadak ke sana, mendapati rumah sakit itu melompong. Mereka terhenyak dan geram. Hanya empat dokter yang hari itu mengisi absensi. Itu pun cuma dua orang yang siaga di tempat, sedangkan yang lainnya entah ke mana."Kalau tidak niat bekerja di RS Bunder, lebih baik mundur," tutur Soehardi, Wakil Ketua Komisi A.
Menurut Direktur RS Bunder, Bambang Hariyono, saat inspeksi itu bersamaan dengan meninggalnya suami seorang staf dinas kesehatan setempat. Hampir semua dokter melayat ke sana. Namun, agaknya alasan ini tak mampu membendung kekecewaan banyak orang terhadap pelayanan RS Bunder. Selain temuan itu, Komisi A memang banyak menampung kritik dan keluhan dari masyarakat. Kepada Komisi A, seorang pasien mengisahkan pengalamannya tidak mendapatkan pelayanan medis pada akhir pekan. Ia masuk rumah sakit pada hari Sabtu, tapi baru ditangani dokter dua hari kemudian. Ia tidak punya pilihan lain kecuali menunggu karena Minggu adalah hari libur dan istirahat para dokter.
Yang lebih menggusarkan masyarakat, terabaikannya pelayanan medis untuk mereka agaknya bukan hanya karena adanya hari-hari libur seperti itu. Banyak pasien merasa dianaktirikan karena para dokter rumah sakit pemerintah rupanya lebih mementingkan praktek pribadi atau di rumah sakit swasta ketimbang bertugas di RS Bunder.
Pemantauan TEMPO juga menunjukkan kecenderungan itu. Beberapa pasien tergeletak tak berdaya di lorong Unit Gawat Darurat (UGD) RS Bunder, tanpa pelayanan, selama berjam-jam. Tak satu pun dokter bertugas di unit ini. "Dokter sedang berpraktek di tempat lain. Kami sedang berusaha memanggil dokter jaga," kata perawat, mencoba menenangkan keluarga pasien yang gelisah.
Pelayanan semacam itu agaknya juga merupakan pemandangan jamak di berbagai daerah. Seorang ayah, Ahmad, mengeluhkan buruknya pelayanan yang dialaminya di RS Umum Kalianda, Lampung Selatan. Pagi hari pertengahan Mei lalu, ia membawa anaknya yang berusia 10 tahun, yang menderita demam tinggi. Selama dua jam ia menunggu di UGD, hingga kemudian diminta menanti di ruang rawat. Di sini, setelah lama menunggu tapi dokter tak kunjung datang juga, ia diminta perawat agar balik lagi ke UGD untuk membeli botol infus dulu. "Nanti Bapak kembali ke sini. Mudah-mudahan dokter sudah datang," kata perawat tersebut seperti ditirukan Ahmad. Akhirnya, setelah kelewat lelah menunggu, ia memutuskan keluar dari rumah sakit. "Anak saya bisa tambah sakit kalau tetap nunggu di sini," katanya.
Cerita yang tercecer dari RS Umum Kudus, Jawa Tengah, juga tak jauh berbeda. Banyak warga mengeluhkan pelayanan rumah sakit kelas B yang dokter dan petugas paramedisnya terkesan ogah-ogahan dalam menghadapi pasien. Mereka tak hanya sering terlambat datang ke rumah sakit, tapi juga sering "memboyong" pasien ke tempat prakteknya sendiri. Menurut catatan manajemen, ada sekitar 40 persen dokter RS Kudus yang lebih mementingkan praktek sambilan. Direktur RS Umum Swadana Kudus, Budi Santoso, memang tidak menutup mata terhadap tindakan sejumlah anak buahnya. "Sudah ada beberapa dokter yang kami panggil untuk kami beri pengarahan. Apabila hingga enam bulan tidak ada perubahan, kami akan memberi teguran," kata Budi, yang baru tiga bulan menjabat Direktur RS Kudus.
Sesungguhnya fenomena dokter mangkir bukanlah hal baru. Baik di pusat maupun daerah, perhatian dokter hampir selalu bercabang sehingga pasien di rumah sakit pemerintah merasa dianaktirikan. Di kota besar, dampak persoalan ini tak begitu terasa karena jumlah dokter dan rumah sakit relatif banyak.
Menurut Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Merdias Al-Matsier, tindakan indisipliner dokter berpangkal pada penggajian yang mengikuti sistem pegawai negeri sipil. Tanggung jawab dan risiko pekerjaan dokter sangat berat, "berkaitan dengan nyawa pasien," kata Merdias. Dokter dituntut terus mengasah pengetahuan dan keterampilan pengobatan, mengingat kesadaran "konsumen" semakin tinggi dan mereka siap membawa kasus malpraktek ke pengadilan. Namun, tuntutan itu tak seimbang dengan imbalan yang diberikan pemerintah. Gaji para dokter di RS Hasan Sadikin, Bandung, misalnya. Peraturan daerah yang mengatur hak dan kewajiban pegawai negeri sipil sangat tidak berpihak pada mereka.
Menurut peraturan itu, para dokter yang diwajibkan hadir di tempat kerjanya setiap hari kerja dari pukul 08:00 sampai 14:00 itu hanya digaji per bulan Rp 500 ribu (dokter umum) dan Rp 800 ribu (dokter spesialis). Untuk upah jasa dari setiap pasien, dokter umum ataupun spesialis mendapat Rp 5.000. Bila pasien mereka memegang kartu Askes, jasa dokter bahkan hanya dihargai Rp 800 per pasien.
Sementara itu, instansi swasta bisa memberi penghargaan yang lebih tinggi kepada para dokter. Untuk proses melahirkan dengan bedah Caesar, misalnya, rumah sakit swasta membayar jasa dokter Rp 1 juta sampai Rp 1,2 juta per pasien. Bandingkan dengan imbalan di rumah sakit pemerintah, yang cuma Rp 50 ribu. Bahkan, menurut dr. Tina Sugiharti, dokter residen di Bagian Kebidanan dan Kandungan RS Hasan Sadikin, bila pasien adalah anggota Askes, dokter hanya mendapat imbalan Rp 19 ribu untuk satu kali bedah Caesar.
Dengan latar belakang seperti itu, memang tak mengherankan kalau dokter nyambi bekerja di rumah sakit swasta atau lebih condong mengutamakan pelayanan di klinik pribadi. Meski begitu, Merdias juga tak bisa membenarkan dokter yang mengabaikan tugas utama di rumah sakit pemerintah. Organisasi profesi IDI sendiri tak bisa berbuat banyak terhadap praktek-praktek semacam itu. "Kalau ada kasus malpraktek, barulah IDI bertindak," kata Merdias.
Persoalan disiplin, menurut Merdias, murni wewenang manajemen rumah sakit. Karena itu, tiap rumah sakit punya cara sendiri untuk menghadapinya. Direksi RS Kudus, misalnya, kini sedang mencoba mendongkrak loyalitas dengan meningkatkan kesejahteraan dokter. Imbalan untuk dokter, yang dulu 40 persen dari tarif, kini ditingkatkan dua kali lipat. Rumah sakit ini juga tengah membangun klinik khusus bagi pasien yang berduit. Dari pasien golongan VIP ini diharapkan terjadi subsidi silang bagi pasien tidak mampu, dan hal ini mendongkrak pendapatan dokter.
Yang jelas, mengerek disiplin para dokter tidak bisa dilakukan secara kaku. "Kalau kita bertindak tegas, banyak dokter yang langsung mengundurkan diri dengan senang hati," kata Hani Rono Sulistyo, Direktur RS Umum Cibabat, Cimahi, Jawa Barat. Mau bagaimana lagi? Praktek swasta yang lebih menggiurkan sudah menanti para dokter yang ditendang sanksi indisipliner. Ujungnya, rakyat kecil juga yang kebingungan.
Mardiyah Chamim, Adi Sutarwijono (Surabaya), Bandelan Amarudin (Semarang), Rinny Srihartini (Bandung), Fadilasari (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini