Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para Pelanduk di Antara Gajah
Sehari setelah kerusuhan Malari, gelombang penangkapan dimulai. Saling seret ke bui.
IBU Kota masih membara sehari setelah kerusuhan 15 Januari 1974. Puluhan mahasiswa Universitas Indonesia yang tak bisa pulang karena jam malam terpaksa menginap di kampus mereka di Salemba. Puing menghitam sisa mobil dan bangunan yang dibakar teronggok di beberapa sudut kota: dari Senen, Roxy, Thamrin-Sudirman, Cempaka Putih, sampai Glodok.
Wakil Ketua Dewan Mahasiswa UI Gurmilang Kartasasmita termasuk yang bermalam di gedung Student Center UI hari itu. Dia salah satu motor demonstrasi mahasiswa sehari sebelumnya. Tapi ketua dewan mahasiswanya, Hariman Siregar, tak tampak.
Menjelang tengah malam, barulah Hariman menghubungi Miang-panggilan akrab Gurmilang. "Lu dicari Pak Domo," kata Hariman lewat telepon. Miang dan Hariman berkawan akrab. Mereka sama-sama mahasiswa Fakultas Kedokteran UI. Hariman tak memberi tahu Miang bahwa dia sendiri sudah dipanggil Wakil Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Laksamana Soedomo.
"Suruh dia jemput aku di sini," ujar Miang cepat. Soedomo adalah wakil Jenderal Soemitro di Kopkamtib, sehingga Miang tak menyimpan sedikit pun rasa curiga. Selama masa persiapan aksi protes mahasiswa, Soemitro menjamin keamanan mereka.
Miang tak menduga malam itu adalah malam terakhirnya menghirup udara bebas. Setelah malam itu, dia bakal ditahan hampir dua tahun tanpa proses pengadilan. Hariman, Sekretaris Jenderal Dewan Mahasiswa UI Judilherry Justam, Sjahrir, dan puluhan aktivis dewan mahasiswa dari berbagai kampus juga dibui.
Penangkapan mereka mengawali rangkaian operasi pembersihan atas pengacara, wartawan, aktivis buruh, politikus, dan tokoh masyarakat yang dinilai membangkang di awal konsolidasi kekuasaan Orde Baru. Tak kurang dari 775 orang ditahan pasca-Malari.
Hari itu, Miang sama sekali tak tahu unjuk rasa mahasiswa yang dia gerakkan justru dijadikan pembenaran untuk menggebuk barisan oposisi yang mulai mengkritik kebijakan-kebijakan Presiden Soeharto. Pukulan balik ini dirancang asisten pribadi Soeharto di Istana: Mayor Jenderal Ali Moertopo. Tapi Soemitro tentu tak menyerah begitu saja. Dia juga menyiapkan serangannya sendiri.
SETENGAH jam setelah Miang menutup telepon, sebuah jip militer masuk ke kampus UI di Salemba. Meski berpakaian sipil, pengendaranya mengaku sebagai tentara berpangkat letnan kolonel. Dia diutus Soedomo menjemput Miang. Tanpa banyak tanya, pemuda 25 tahun itu mengambil tas, mengenakan jaket kuning kebanggaan almamaternya, lalu melompat ke dalam jip.
Dia dibawa ke sebuah losmen di kawaÂsan Jatibaru, persis di depan Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat. Belakangan, Miang tahu losmen itu merupakan kantor sementara Satuan Tugas Intel Kopkamtib. Kepala Satgas Intel itu adalah Benny Moerdani. Ketika itu, tak banyak orang mafhum kedekatan Ali Moertopo dengan Benny.
Hariman sudah menunggu di sana. Dia juga tak tahu banyak apa yang terjadi. Tak ada interogasi pada dinihari itu. Tentara hanya meminta mereka masuk ke sebuah kamar tanpa toilet dan menunggu. Untuk mengganjal perut, mereka diberi dua bungkus nasi Padang. Sampai hari ini, Miang ingat betul: nasi Padang itu membuat dia dan Hariman mulas bukan kepalang. "Kami sakit perut, tak bisa tidur semalaman," kata Miang-kini 64 tahun-ketika diwawancarai Tempo, akhir Desember lalu.
Besoknya, pagi-pagi sekali mereka dikejutkan oleh kedatangan dua tamu istimewa: ibunda Hariman dan ibunda Miang. Kedua perempuan setengah baya ini dibawa tentara ke losmen itu untuk mengucapkan selamat tinggal kepada putra-putra mereka. Dua hari setelah kerusuhan meletus, Hariman dan Miang resmi ditahan. Kedua aktivis mahasiswa ini dijebloskan ke Rumah Tahanan Militer Boedi Oetomo, Jakarta Pusat.
Setelah penangkapan para pentolan Dewan Mahasiswa UI, gelombang "pembersihan" merembet cepat. Tentara mencokok aktivis mahasiswa lain, seperti Theo L. Sambuaga, Bambang Sulistomo, Purnama, dan Salim Hutajulu. Dorodjatun KunÂtjoro-Jakti ditangkap belakangan.
Setelah itu, tokoh-tokoh yang dikenal kritis, seperti Fahmi Idris, Soegeng Sarjadi, Marsillam Simandjuntak, Adnan Buyung Nasution, Yap Thiam Hien, H.J.C. Princen, Imam Waluyo, Jusuf A.R., Jesse A. Monintja, dan Laksamana Muda Mardanus, menyusul dibui.
Berikutnya, giliran orang-orang yang Âterafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), seperti Sarbini Sumawinata, Soebadio Sastrosatomo, dan Moerdianto. Terakhir: Sjahrir, Rahman Tolleng, dan Mochtar Lubis diseret ke penjara. Seluruh operasi penangkapan berlangsung beberapa pekan. Ketika operasi itu berakhir, Rumah Tahanan Militer Boedi Oetomo mendapat lebih dari 700 penghuni baru.
RAHMAN Tolleng belum lupa bagaimana dia diciduk 40 tahun lampau. Berkat bisikan seorang kawan, Rahman sebenarnya sudah tahu sedang diincar tentara. Rahman memang sering berdiskusi dengan pengurus Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia, dalam rapat-rapat persiapan unjuk rasa.
"Saya mendapat peringatan satu minggu sebelum polisi militer menjemput saya di rumah," kata Rahman ketika diwawancarai pada pertengahan Desember lalu. Pada waktu itu, Rahman adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Golkar. "Sampai sekarang, saya tak tahu kenapa saya ditangkap," ujarnya. Dia tak pernah diadili dan baru dibebaskan 16 bulan keÂmudian.
Dikumpulkan di penjara militer Boedi Oetomo, para tahanan politik ini sibuk menerka-nerka mengapa mereka diciduk tentara. Lama-lama mereka baru paham: ternyata mereka jadi pelanduk di tengah dua gajah.
Sebagian dari mereka dicokok atas perintah Ali Moertopo. Aktivis yang terafiliasi dengan PSI dan Masyumi-dua partai politik yang dibubarkan di era Sukarno-kaum nasionalis, intelektual, wartawan, dan mahasiswa masuk daftar hitam Ali.
Adapun orang-orang dari Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (GUPPI), tukang becak, dan preman, mereka yang tertangkap basah ikut melakukan pembakaran dan perusakan, diciduk atas komando Soemitro. "Orang-orang GUPPI itu binaan Ali," kata Rahman Tolleng.
Karena perintah penangkapan datang dari dua sumber berbeda, petugas yang menangkap pun datang dari berbagai kesatuan. Dari anggota Satgas Intel, polisi militer, sampai polisi biasa, semua bergerak menciduk sana-sini. "Ali dan Soemitro pegang daftar sendiri-sendiri," ujar Rahman.
Ketika mendengar kabar namanya masuk target operasi, Rahman berusaha menemui Ali Moertopo. Upayanya sia-sia karena Ali tak ada di tempat. "Celakanya, Soemitro menganggap saya orangnya Ali," katanya, tertawa. Wartawan senior RosiÂhan Anwar lebih beruntung. Ada kabar dia sempat diincar Ali Moertopo karena dikenal dekat dengan aktivis sosialis. Tapi Soemitro bergerak cepat melindunginya.
DI penjara Boedi Oetomo, para interoÂgator tahu persis tangkapan mereka berasal dari tiga kelompok berbeda. Karena itu, blok dan sel ketiga kelompok ini dipisahkan. Mereka bahkan memberi nama khusus untuk masing-masing kelompok. "Alasannya untuk mempermudah pemeriksaan," kata Dorodjatun Kuntjoro-Jakti mengenang.
Aktivis mahasiswa dan tokoh sosialis diberi nama sandi Grup Kelinci. Hariman, Miang, Rahman Tolleng, dan kolega-koleganya masuk kategori ini. Dalam berbagai kesempatan, Ali Moertopo memang menuding politikus eks anggota PSI dan Masyumi mendalangi kerusuhan dengan menunggangi mahasiswa.
Aktivis GUPPI dan anggota kelompok Islam-sebagian eks pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, yang dibina Ali Moertopo-diberi nama sandi Grup Kembang Sepatu.
Di luar dua kelompok utama ini, ada kaum nasionalis, Sukarnois, dan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, yang rajin mengkritik Soeharto. Mereka diberi nama sandi Grup Geladak. Theo Sambuaga dan Lucien Pahala Hutagaol masuk kelompok ini.
Disekat-sekat dinding penjara, di dalam blok dan sel yang sengaja dipisahkan, para "kelinci", "geladak", dan "kembang sepatu" jarang berkomunikasi. Ketika berpapasan tak sengaja di lorong bui, misalnya, mereka hanya bertegur sapa ala kadarnya. "Kami tak tahu persis yang mana orang Soemitro, yang mana orang Ali," kata Miang pelan.
Semua hanya bisa menerka-nerka. Semua saling curiga. Tak ada yang tahu ke mana angin akan bertiup pada hari-hari itu. Mereka benar-benar jadi pelanduk yang terjepit di tengah-tengah ketika gajah bertarung melawan gajah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo