Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tentara Bingung Demonstran Tak Terbendung

Tentara gagal mencegah kerusuhan karena tak berpengalaman menangani huru-hara. Soemitro terlihat tak becus memulihkan keamanan.

13 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELEPON Markas Resimen Para Komando Angkatan Darat di Cijantung, Jakarta Timur, berdering-dering sepanjang hari itu, 15 Januari 1974. Jakarta dihembalang kerusuhan paling besar selama delapan tahun kekuasaan Presiden Soeharto. Jalan-jalan penuh api dari ban dan kendaraan yang dibakar. Ribuan mahasiswa dan warga Ibu Kota tumplek di pelbagai sudut kota, terutama di kawasan sekitar Istana Negara.

Atas perintah kantor Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Komandan Grup RPKAD meminta Luhut Binsar Panjaitan membawa satu kompi untuk meredam amuk massa. "Sudah tak sempat briefing lagi. Begitu ada perintah, kami langsung berangkat," kata Luhut tiga pekan lalu. Ia berinisiatif membawa seratus anggota pasukannya ke Pasar Senen di Jakarta Pusat.

Waktu itu Luhut menjabat Komandan Kompi di Grup 1 RPKAD berpangkat letnan satu. Ketika ia tiba di Pasar Senen, orang-orang yang berkerumun mulai banyak. Melalui radio, ia tahu kompi-kompi lain didrop di pelbagai tempat. Matraman, Jalan Sudirman, Monumen Nasional, termasuk rumah asisten pribadi Presiden, Ali Moertopo, di Jalan Pramuka, Jakarta Timur.

Bukan hanya satuan-satuan Angkatan Darat yang diturunkan untuk mengantisipasi kerusuhan. Luhut, yang pensiun dengan pangkat jenderal bintang empat, mendengar pasukan Staf Komando Garnisun, Polisi Militer, dan unit-unit kepolisian Jakarta juga diterjunkan ke wilayah-wilayah Ibu Kota yang sudah diduduki para demonstran.

Menurut Soedomo dalam otobiografi Mengatasi Gelombang Kehidupan, tentara dikerahkan untuk mencegah demonstran memasuki halaman Istana. Waktu itu Soedomo menjabat Wakil Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, yang dikepalai Soemitro. Melalui telepon, Soemitro meminta Soedomo mengambil alih komando semua pasukan dalam memulihkan Ibu Kota.

Soemitro sedang mengikuti rapat Dewan Kepangkatan Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di Cijantung. Dalam biografinya, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari '74, ia mengatakan tak bisa keluar dari rapat itu karena dicegah Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Maraden Panggabean. Soemitro mengetahui situasi Jakarta dari laporan Soedomo melalui telepon.

Soedomo melaporkan terjadi pembakaran di depan kantor Kedutaan Besar Jepang di Jalan Thamrin, juga perampokan di pusat kulakan Glodok, Jakarta Pusat. Kedutaan Jepang menjadi sasaran dalam demonstrasi menolak modal asing karena ada kunjungan tiga hari Perdana Menteri Kakuei Tanaka. Demonstrasi mahasiswa meluas dan melumpuhkan Jakarta hari itu.

Rapat Soemitro rampung juga menjelang siang. Ia langsung bergabung dengan Soedomo di teras kantor Kopkamtib di Jalan Merdeka Barat, yang kini menjadi kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Saat itulah Soedomo meminta Soemitro mendatangkan semua pasukan yang ada di Jawa. "Berapa yang dibutuhkan?" ujar Soemitro.

Soedomo meminta dua batalion atau sekitar 2.000 personel. Soemitro lalu menelepon Panglima Komando Daerah Militer V Brawijaya Jawa Timur dan Diponegoro di Semarang. Ia meminta tiap kodam mengirimkan satu batalion. Karena jauh, para panglima itu menjanjikan pasukan tiba esok hari. Soemitro tak punya pilihan. Di jalan, ia melihat ribuan demonstran bergerak dari Jalan Thamrin menuju Monumen Nasional.

Soemitro pun melompat ke jip yang dikendarai Brigadir Jenderal Herman Sarens Soediro, Komandan Korps Markas Pertahanan Keamanan. Sesampai di bundaran air mancur Bank Indonesia, ia turun, lalu naik ke atas jip. Adegan Soemitro berbicara kepada ribuan demonstran melalui megafon menjadi foto legendaris peristiwa Malari. Permintaan Soemitro dituruti hingga ribuan pendemo bergerak ke arah Kebayoran di Jakarta Selatan.

Di sisi timur Istana, situasinya lebih kacau. Letnan Satu Johny Lumintang, yang memimpin satu kompi pasukan infanteri, menghalau demonstran hingga ke Jalan Sabang. Para demonstran terpojok karena para tentara yang berjaga di Jalan Merdeka Selatan menyisir hingga daerah itu. Rusuh tak terhindarkan. "Pasukan saya dilempari batu," kata Johny. Akibatnya, banyak tentara terluka.

Di Pasar Senen, situasi sama parah dengan di Gambir. Setelah aksi bakar-bakaran, para demonstran yang semula melempari Proyek Senen mengalihkan lemparan kepada pasukan Luhut Panjaitan. "Saya lihat pendemo bukan lagi mahasiswa, mungkin bromocorah," ucapnya. Ia meminta anak buahnya mengeluarkan tembakan peringatan.

Letusan peluru itu tak digubris para pendemo. Mereka terus melempari tentara dengan batu. Merasa terdesak, Luhut memerintahkan anak buahnya menembak kaki para pendemo. Situasi makin kacau karena mereka kocar-kacir. Tentara yang mengejar tak lagi mengarahkan moncong ke aspal, tapi sudah mengincar sasaran. Luhut menduga banyak yang tewas saat kejar-kejaran itu.

Pengejaran pasukan Luhut sampai ke Jalan Juanda hingga Glodok, bahkan Kramat Tunggak di Jakarta Utara. Di sebuah rumah pelacuran yang menjadi tempat berlindung para aktivis, Luhut menangkap Johannes Cornelis Princen, aktivis pembela hak asasi.

Menurut Luhut, tentara tak siap menghadapi huru-hara sebesar dan seluas Malari. ABRI hanya memiliki satu batalion anti-kerusuhan yang bermarkas di Roxy. Itu pun tak cukup dibekali dengan teknik menghalau massa yang banyak. Saat melepas tembakan, kata dia, yang digunakan pasti peluru tajam. "Belum ada peluru karet."

Selain Jakarta kekurangan pasukan, komunikasi masalah terbesar. Tak banyak radio para komandan pasukan untuk saling memantau sudut-sudut Ibu Kota. Akibatnya, tak ada kejelasan pengiriman tentara dan tak diketahui konsentrasi massa yang besar. Ujungnya, pengamanan tak terkendali karena pasukan kerap datang ketika situasi sudah chaos. "Di lapangan, kami juga kelaparan karena tak ada kiriman makanan," ujarnya.

Para petinggi ABRI dan pembantu Soeharto juga terkesan tak berkoordinasi. Saat Soemitro menghalau pendemo, Gubernur Ali Sadikin mendatangi kampus Universitas Indonesia di Salemba. Esoknya, Panglima ABRI Maraden Panggabean berbicara kepada demonstran di Proyek Senen. Semua pejabat ini tak melaporkan pergerakannya kepada Soemitro atau Soedomo selaku petinggi Kopkamtib.

Kawat diplomatik Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta yang dibocorkan WikiLeaks kepada media massa pada November 2010 menyebutkan tentara telah gagal meredam kerusuhan. Penyebabnya, komandan di lapangan tak punya inisiatif mengambil tindakan, sementara perintah atasan tidak ada. Pendeknya, rusuh Malari menunjukkan ketidakbecusan Soemitro menangani keadaan Ibu Kota.

Presiden Soeharto pun tanpa ampun mencopotnya dari jabatan Panglima Kopkamtib dua hari setelah puncak kerusuhan. Soeharto sendiri yang mengambil alih lembaga superbodi itu dan mengangkat Soedomo sebagai kepala stafnya. Di luar dugaan, ia juga membubarkan jabatan asisten pribadi presiden yang dipegang Ali Moertopo-rival Soemitro di sekitar kekuasaan Soeharto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus