Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Satu Laporan, Dua Tafsir

Laporan medis Soeharto memicu perdebatan serius. Haruskah ada pemeriksaan dokter independen dari luar negeri?

30 April 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM usia 78 tahun, Soeharto masih tampak segar-bugar—secara fisik. Namun, kualitas mental mantan jenderal yang pernah sangat berkuasa ini mungkin telah kembali seperti kanak-kanak—siklus kehidupan yang mustahil ditolak.

Jika boleh disimpulkan secara eksplisit, itulah gambaran umum kesehatan Soeharto—soal serius yang akan menentukan nasib pengusutan atas korupsi yang dilakukannya semasa berkuasa.

Gambaran tentang kesehatan Soeharto diperoleh dari hasil pemeriksaan oleh dua tim dokter papan atas. Yang pertama adalah tim dokter pribadi Soeharto, atau Tim Dokter Cendana, beranggotakan 20 dokter yang komplet, dari ahli saraf, jantung, penyakit dalam, anestesi, kulit, sampai urologi. Yang kedua adalah Tim Dokter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang ditunjuk oleh Kejaksaan Agung untuk memberikan opini pembanding.

Hasil pemeriksaan kedua tim dokter ini tak jauh berbeda. Secara keseluruhan, kondisi fisik Soeharto memang tidak terlalu gawat. Namun, kondisi nonfisik menjadi soal ekstraserius. Kedua tim dokter ini merujuk stroke yang menyerang Soeharto, Juli tahun lalu, sebagai pangkal kemunduran yang luar biasa secara mental. Kala itu, penyumbatan pembuluh darah terjadi pada sebagian besar otak sebelah kiri. Akibatnya, muncul gangguan fungsi luhur—dalam dunia kedokteran dikenal sebagai mixed non-fluent aphasia—yang meliputi tuturan bahasa, pemahaman, dan kemampuan baca-tulis (lihat tabel).

Melihat hal itu, benarkah Soeharto tak layak diperiksa? Tim Dokter Cendana tidak bersedia menyimpulkan apa pun. Teguh Ranakusuma, ketua tim dokter ini, menegaskan bahwa kewenangannya hanya membuat laporan medis, bukan ikut bermain dalam wilayah hukum. "Silakan para penegak hukum menindaklanjuti laporan kami," kata Teguh.

Hampir senada, Tim Dokter RSCM juga tak memberikan saran. Tapi laporan tim yang dipimpin Yusuf Misbach ini lebih gamblang. Seusai dua kali pemeriksaan, 13 dan 14 Maret lalu, Soeharto dinyatakan sanggup menggunakan otak kanan untuk hal sederhana seperti makan dan minum. Namun, kemampuan memori dan mengungkapkan pikiran betul-betul merosot, sehingga Tim Dokter RSCM menyimpulkan bahwa kualitas pembicaraan Soeharto tidak dijamin sesuai dengan apa yang hendak disampaikan.

Inti Sari Kondisi Mental Soeharto
Tim Dokter Cendana
Terdapat gangguan fungsi luhur (mixed non-fluent aphasia) berupa kacaunya tuturan bahasa, pengulangan bahasa, pemahaman bahasa, penyebutan bahasa, menulis, dan membaca.

Tim Dokter RSCM
Status Neurologi:
- Mampu berkomunikasi sederhana untuk aktivitas sehari-hari.
- Kemampuan memori jangka pendek dan jangka panjang yang kompleks menurun cukup banyak.
- Proses aktivitas mental lambat.
Status Psikiatri:
- Ditemukan gangguan kognitif sehingga hanya mampu memahami hal-hal yang sederhana.
- Memerlukan bantuan untuk menyatakan pikiran dalam bentuk kalimat yang panjang dan kompleks.
- Kualitas pembicaraan tidak dijamin sepenuhnya sesuai dengan apa yang ingin disampaikan.

Kesimpulan ini memicu kekhawatiran bahwa kesaksian Soeharto bisa menyesatkan atau—yang lebih buruk—menyeret orang yang tidak bersalah. Dengan alasan tadi, Muhammad Assegaf, penasihat hukum Soeharto, berpendapat bahwa mantan jenderal itu tak layak diperiksa. Laporan medis itu, menurut Assegaf, juga menunjukkan bahwa Soeharto justru berpeluang dilindungi hukum. "Kasusnya bakal ditutup seperti halnya Jenderal Augusto Pinochet, bekas Presiden Cile, yang lolos dari pengadilan Inggris karena terbukti sakit."

Namun, Frits Kakiailatu, bekas dokter pribadi Soeharto (1983-1994), tetap berpendapat bahwa Soeharto layak diperiksa kejaksaan. Memang, kemampuan memori dan pemahaman Soeharto tergolong payah. Tapi itu bukan berarti jenderal bintang lima ini sama sekali tak bisa diperiksa. "Caranya harus pelan dan sabar. Jangan main bentak," kata Frits yang ahli urologi ini.

Pendapat lain datang dari Mahar Mardjono, ahli saraf yang juga bekas dokter pribadi Soeharto. Menyimak laporan medis, Mahar mengatakan bahwa Soeharto memang bisa menjalani pemeriksaan. Namun, hasil pemeriksaannya pasti tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Alasannya, otak kiri Soeharto—yang menjadi pusat bicara dan kognitif—sudah rusak. "Soeharto sudah invalid," kata Mahar, yang terakhir memeriksa Soeharto pada September 1997.

Kadar invalid Soeharto, menurut Mahar, sudah cukup parah. Biarpun sanggup berjalan-jalan, Soeharto tidak paham apa pun. Walaupun pertanyaan tentang kasus BNI-Texmaco diberikan dengan santun dan lemah-lembut, "Dia enggak akan ngerti," katanya. Bekas Rektor Universitas Indonesia ini juga menepis keraguan atas kesahihan laporan medis tim dokter. "Data-data medis adalah fakta yang tak bisa dipengaruhi secara politis," katanya. Bahkan, kalau kejaksaan berniat mendapat opini pembanding dari dokter luar negeri, kata Mahar, hasilnya pasti tak jauh berbeda.

Mardiyah Chamim, Adi Prasetya, Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus