DOKUMEN rahasia itu lama tersimpan di laci Kejaksaan Agung. Surat 17 halaman yang didapat TEMPO itu bertanggal 22 Maret 1999, diteken Jaksa Agung (saat itu) Andi Muhammad Ghalib, dan ditujukan kepada Presiden B.J. Habibie. Isinya perihal laporan perkembangan penyelidikan kasus Soeharto.
Pada poin kesimpulan tertera, "...dapat disimpulkan bahwa mantan presiden Soeharto patut dapat dipersalahkan telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya sehingga menguntungkan yayasan-yayasan yang dipimpinnya dan/ataupun perusahaan-perusahaan yang memperoleh dana dari yayasan (dalam kasus yayasan) serta menguntungkan PT Timor Putra Nasional (dalam kasus mobil nasional) dengan mengakibatkan kerugian keuangan/perekonomian negara." Kejaksaan juga berpendapat penyelidikan dua kasus itu telah memperoleh bukti awal sehingga cukup alasan untuk ditingkatkan ke tahap penyidikan.
Kesahihan dokumen itu dikonfirmasikan mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus yang kini menjabat Ketua Komisi Ombudsman Nasional, Antonius Sujata. Saat itu, Antonlah yang mengetuai tim penyelidikan kasus mantan orang kuat Republik ini.
Sepintas, bunyi kesimpulan itu terlihat tak istimewa amat. Ghalib dan Habibie, seperti telah diketahui, memilih mengulur-ulur penyelidikan Soeharto. Bahkan, ketika Ghalib digantikan Penjabat Sementara Jaksa Agung Ismudjoko, Soeharto malah sempat dianugerahi surat perintah penghentian penyelidikan (bukan penyidikan, sebagaimana lazimnya). Dan kini, dalam kondisi kesehatan yang sudah terlampau sulit disidik, Soeharto telah dinyatakan sebagai tersangka.
Tapi, jika ditelisik lebih lanjut, dokumen itu bisa menjadi pintu yang bagus buat kejaksaan untuk mengembangkan penyelidikan—bahkan penyidikan—ke arah anak-anak Soeharto.
Peluang ke arah itu, kata Anton, cukup terbuka. Selasa pekan lalu, putri sulung Soeharto, Siti Hardiyanti Rukmana, kembali diperiksa kejaksaan sebagai saksi dalam kasus yayasan. Tutut—begitu Siti Hardiyanti dipanggil—tercatat sebagai bendahara Yayasan Gotong-Royong Kemanusiaan. Keesokan harinya, giliran putra ketiga Soeharto, Bambang Trihatmodjo, dipanggil ke Gedung Bundar Kejaksaan dalam kapasitasnya sebagai bendahara Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri). Kedua yayasan itu diketuai Soeharto. Menurut Anton, jika hasil pemeriksaan menyimpulkan terdapat indikasi kuat penyimpangan dalam penggunaan dana yayasan, status mereka bisa dinaikkan menjadi tersangka. Selain para pengurus yayasan, yang juga bisa dijerat adalah berbagai pihak yang telah mendapat kucuran dana yayasan.
Di sinilah dokumen itu jadi menarik disimak. Soal keterlibatan Bambang Tri dalam kasus Damandiri, misalnya, amat terang-benderang. Sebagaimana terlihat dalam kasus yayasan Soeharto yang lain, modus pengisian brankas Damandiri dilakukan melalui keputusan presiden (keppres)—satu hal yang jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 23 Undang-Undang Dasar 1945: pemungutan dana dari masyarakat harus ditetapkan melalui undang-undang atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Presiden Soeharto—juga Ketua Yayasan Damandiri—menerbitkan Keppres Nomor 90/1995. Isinya mengimbau para wajib pajak, baik perusahaan maupun pribadi, yang berpenghasilan Rp 100 juta ke atas untuk menyetorkan dua persen laba mereka ke pundi-pundi Damandiri. Belakangan, agar dana menggelontor lebih deras, melalui Keputusan Nomor 92/1996, kata "mengimbau" itu diubah menjadi "wajib".
Hasilnya luar biasa. Tertera dalam dokumen itu, kejaksaan menemukan adanya dana yayasan-yayasan Soeharto sejumlah Rp 1,4 triliun yang digunakan di luar tujuan yayasan sebagai badan sosial. Dana itu digelontorkan ke sejumlah perusahaan milik kerabat Cendana. Di sinilah keterlibatan Bambang diungkap. Kejaksaan memergoki adanya penggunaan dana yayasan senilai Rp 112 miliar dan Rp 301 miliar untuk membeli saham Bank Andromeda dan Bank Alfa.
Kedua bank itu memang pernah dimiliki Bambang bersama adiknya, Siti Hediati Prabowo. Pada 1 November 1997, Andromeda dilikuidasi. Namun, melalui sejumlah kejanggalan, Bambang sempat "mengubah kulit" Bank Andromeda menjadi Bank Alfa—meski akhirnya, pada Maret 1999, Alfa mesti ditutup juga.
Adanya arus dana dari Yayasan Damandiri itu dibenarkan seorang mantan petinggi Bank Andromeda yang minta identitasnya disembunyikan. Cuma, menurut dia, dana itu bukan digunakan untuk membeli saham seperti yang tertera dalam laporan kejaksaan. Setahu dia, memang ada sejumlah duit Yayasan Damandiri yang pernah ditempatkan di Andromeda. Singkat kata, pada suatu ketika, brankas Andromeda bolong besar gara-gara kredit macet senilai Rp 40 miliar dari dua kongsi bisnis Bambang. Mereka adalah seorang makelar tanah keturunan Tionghoa yang namanya santer disebut dalam proyek pembebasan tanah Jonggol dan seorang mantan eksekutif puncak Grup Salim yang kini banyak berbisnis di Singapura. Celakanya, mereka lalu mengemplang utang. Untuk menutup bolong kredit macet itulah dana Yayasan Damandiri lalu disuntikkan.
Total dana yang bisa dikumpulkan oleh yayasan yang berdiri pada Januari 1995 ini, menurut mantan Menteri Keuangan dan bekas sekretaris Damandiri, Fuad Bawazier, berjumlah sekitar Rp 1,3 triliun. Dana yang masuk pada awalnya selalu dibenamkan ke rekening Damandiri di Bank BNI Cabang Harmoni, Jakarta. Dan sebagai bendahara, kata Fuad, peran Bambang amat sentral. Bersama Haryono Suyono, mantan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan yang juga menjabat sebagai salah satu ketua yayasan, Bambanglah yang mengatur ke mana dana yayasan dialirkan. "Mereka berdualah yang memplot ke mana saja dana digunakan," katanya.
Masalahnya, menurut surat kejaksaan itu, penyaluran dana tersebut dilakukan tanpa persyaratan sebagaimana lazimnya—misalnya surat perjanjian. Akibatnya, sebagian besar dana publik itu terancam raib karena perusahaan atau bank yang dikucuri dana dilikuidasi atau bangkrut.
Tapi, menurut pengacara Bambang, Juan Felix Tampubolon, kliennya bukanlah penentu kebijakan karena cuma bendahara. Sedangkan soal penyalahgunaan dana yayasan, itu tidak terbukti dalam pemeriksaan Rabu kemarin di kejaksaan. Adapun Haryono tak dapat dimintai penjelasannya. Ia menyatakan tak tahu-menahu soal urusan ini.
Keterlibatan Hutomo "Tommy" Mandala Putra dalam kasus mobil nasional sebenarnya lebih gemerlap. Dokumen kejaksaan itu memperlihatkan bagaimana Tommy Soeharto menempati peran sentral dalam mendorong keluarnya berbagai beleid pemerintah yang ujung-ujungnya ditujukan semata-mata untuk melegitimasi proyek mobil nasional Timor miliknya. Dengan proyek ini, negara setidaknya dirugikan US$ 1,3 miliar, atau hampir Rp 10 triliun pada kurs Rp 7.500 per dolar, gara-gara PT Timor Putra Nasional dianugerahi fasilitas pembebasan bea masuk dan pajak penjualan barang mewah (PPn BM).
Pada awalnya, ketika didirikan pada Agustus 1995, PT Timor berstatus industri otomotif biasa, menjadi agen mobil Kia buatan Korea Selatan. Saat itu, sama sekali belum ada proyek mobil nasional. Tapi, rupanya, Tommy punya rencana lain. Pada Agustus itu pula, ia dua kali bertemu dengan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Tunky Ariwibowo untuk membicarakan perkembangan industri mobil nasional.
Setelah itu, ia merangsek maju. Pada 12 Desember 1995, sepucuk surat dilayangkannya kepada Menteri Investasi Sanyoto Sastrowardoyo. Tunky ditembusi. Isinya mencengangkan. Tommy minta izin memasarkan mobil Kia dengan merek Timor di pasar Indonesia, sekaligus—ini yang hebat—minta fasilitas pembebasan bea masuk dan PPn BM atas setiap mobil Timor yang didatangkannya. Permohonan ini sempat ditolak oleh Direktur Jenderal Industri Logam Mesin dan Kendaraan Bermotor dengan alasan, selain tidak ada aturannya, akan mengganggu perkembangan industri mobil di dalam negeri.
Dan Tommy bukan tipe pengusaha yang bisa menerima penolakan. Atas prakarsanya, masih di bulan Desember, sebuah pertemuan penting digelar di Cendana. Tak tanggung-tanggung, kali ini sang bapak, Soeharto, langsung turun tangan. Saat itu, Tommy memboyong sejumlah petinggi Kia. Soeharto menyatakan dukungannya kepada proposal PT Timor. Proyek mobil nasional lalu dicetuskan.
Berbagai "rapat kabinet terbatas" berlangsung untuk mendukung proyek itu. Soeharto juga mengeluarkan sejumlah keppres dan peraturan pemerintah untuk proyek sang putra ini.
Hasilnya, PT Timor tinggal lenggang-kangkung ketika mendatangkan sekitar 40 ribu unit mobil impor utuh Kia dari Korea, yang kemudian tinggal diberi label Timor itu. Dan patgulipat itu menjadi makin gurih saja karena Tommy tetap menikmati fasilitas pembebasan bea masuk dan PPn BM sebesar US$ 1,3 miliar tersebut, yang mestinya dia bayarkan ke kas negara. Sayang, Tommy rupanya lebih suka tutup mulut ketimbang menanggapi permohonan wawancara dari TEMPO soal ini.
Memang, pada Maret 1999 lalu, Tommy telah diperiksa kejaksaan sebagai saksi dalam kasus ini. Masalahnya, seperti dalam kasus kakak-kakaknya, hingga kini kejaksaan belum juga memperlihatkan keseriusan untuk menuntut pertanggungjawaban para anggota fam Cendana. Apa lagi yang masih ditunggu?
Karaniya Dharmasaputra, Adi Prasetya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini