Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
REKENING di Bank Danamon cabang Wisma Gabungan Koperasi Batik Indonesia, Semanggi, Jakarta, itu masih digembok Kejaksaan Agung. Diblokir sejak November dua tahun lalu, rekening penampungan milik PT Sarana Rekatama Dinamika itu masih menyisakan duit belasan miliar rupiah.
Dengan setoran awal Rp 2,5 juta, rekening itu dibuka Sarana untuk menampung pungutan Sistem Administrasi Badan Hukum alias Sisminbakum di Departemen Kehakiman. Melalui keputusan Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra, Oktober 2000, Sarana dan Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman ditunjuk sebagai pengelola layanan online itu.
Karena proyek Sisminbakum terindikasi korupsi, Kejaksaan untuk sementara menyita rekening yang dibuka pada akhir November 2000 itu. ”Seharusnya semua setoran masuk dulu ke kas negara, bukan ke rekening itu,” kata Direktur Penyidikan Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Arminsyah.
Tak sampai empat bulan dibuka, rekening itu sudah diguyur duit miliaran rupiah. Sejak Sisminbakum dioperasikan pada awal Maret 2001, para notaris berbondong-bondong memanfaatkan layanannya. Tentu tak gratis. Untuk pemesanan nama perusahaan, misalnya, biayanya Rp 350 ribu. Urusan pendirian dan perubahan badan hukum dibanderol Rp 1 juta. Duit inilah yang meluncur ke rekening penampungan.
Menurut laporan tahunan Sarana yang sudah diaudit, pendapatan Sisminbakum bisa mencapai Rp 5 miliar per bulan. Laba bersih Sarana per tahun bisa di atas Rp 4 miliar. Sampai rekening diblokir, menurut Kejaksaan, duit dari pengurusan ratusan ribu akta badan hukum itu berjumlah Rp 420 miliar.
Lalu ke mana isi rekening itu mengalir? Kejaksaan mengaku sudah menelusurinya. Menurut seorang penyidik, ada duit yang berpindah ke Bank Danamon cabang Kebon Sirih dan BCA. Kemudian mengalir lagi ke BNI dan Bank Mandiri cabang Singapura. ”Dari bank di Singapura, uang itu mengalir ke mana-mana,” katanya.
Menurut Yohanes Waworuntu, Direktur Utama Sarana yang dinonaktifkan per medio Juni lalu, sepuluh persen isi rekening penampungan disetor ke Koperasi. Dalam perjanjian kerja sama, Sarana mendapat bagian 90 persen, sisanya buat Koperasi. Pada Januari 2008, jatah Koperasi naik menjadi 15 persen, dan Sarana 85 persen ”Bagian Sarana mengalir ke induk semangnya,” kata terpidana kasus Sisminbakum ini.
Melalui anak usahanya yang menguasai mayoritas saham Sarana, yakni PT Bhakti Asset Management, kata Yohanes, PT Bhakti Investama menggangsir duit di rekening itu. Soal kepemilikan Bhakti di Sarana juga diungkapkan tiga saksi di persidangan Yohanes. Mereka adalah Direktur Bhakti Asset Kushindrarto, Direktur Sarana Richard Leo Tirtadji, dan Komisaris Utama Sarana Gerard Yakobus.
Yohanes memerinci, Bhakti pernah memakai dana dari Sisminbakum untuk membeli tanah di Tanah Abang, Jakarta, dan membeli lima persen saham perusahaan jalan tol. Soal pembelian ini dibenarkan pegawai accounting Sarana, Dewi Tembaga, di persidangan. Hartono Tanoesoedibjo, menurut Yohanes, juga memakai duit itu untuk membeli satu unit Apartemen Four Seasons Tower 2 Lantai 27B di Kuningan, Jakarta, dan rumah mewah di Kebayoran Baru, Jakarta.
Yohanes menambahkan, Bhakti Investama juga pernah menggunakan duit Sisminbakum untuk mengakuisisi separuh saham maskapai Adam Air. Perusahaan investasi keluarga Tanoesoedibjo ini dituding Yohanes pernah pula menyubsidi sejumlah usaha medianya, yaitu majalah Trust dan Seputar Indonesia, dengan duit itu. Unit usaha telekomunikasi milik Bhakti, Mobil 8, tak ketinggalan mendapat guyuran. ”Mereka yang pakai, kenapa saya yang harus ganti?” kata Yohanes.
Di samping menjatuhkan vonis lima tahun penjara, putusan kasasi pada 12 Mei lalu itu mengharuskan Yohanes membayar kerugian negara Rp 378 miliar. Jumlah itu senilai setoran Sisminbakum ke Sarana selama delapan tahun. Menurut ayah tiga anak ini, di atas kertas, Bhakti menjadikannya pemilik Sarana. Padahal pengendalinya Hartono.
Sebagai pengendali, kata Yohanes, Hartono punya akses besar mencairkan uang. Tanpa tanda tangannya, duit tak bisa keluar. Di pengadilan, pemimpin Bank Danamon Wisma Gabungan Koperasi Batik, Tien Novianto, membenarkan soal itu. Mery Effendi dari Bagian Operasional Danamon di persidangan menyebutkan Hartonolah yang paling banyak menarik dana.
Pemilik Bhakti Investama, Bambang Hary Tanoesoedibjo, meradang dituding Yohanes. Menurut adik bontot Hartono ini, tudingan itu tak bisa dipertanggungjawabkan. Bhakti, kata Hary, tak ada hubungannya dengan Sarana. Menurut dia, perusahaannya diaudit kantor akuntan yang kredibel. Mengutip laporan keuangan, ia menyebutkan tak ada sepeser pun saham Bhakti di Sarana. ”Kalau ada, akan saya pertanggungjawabkan.”
Senin pekan lalu, Hary melaporkan Yohanes ke Markas Besar Kepolisian RI dengan tuduhan pencemaran nama baik. Hartono, yang dua pekan lalu ditetapkan sebagai tersangka Sisminbakum, tak bisa dimintai konfirmasi karena kini sudah di Taipei, Taiwan. Pengacara Hartono, Hotman Paris Hutapea, membantah kliennya memakai duit korupsi. ”Itu uang Sarana,” katanya.
Saat bersaksi di persidangan mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Romli Atmasasmita pada 29 Juni 2009, Hartono membantah tudingan Yohanes. Pengeluaran Sarana, kata dia, sepenuhnya tanggung jawab direksi. Ia juga mengaku tak tahu soal aliran duit Sarana. Spesimennya di cek dan bilyet giro, kata Hartono, hanya sebagai perwakilan pemegang saham. ”Tak harus ada tanda tangan saya,” ujarnya.
Tudingan tak sedap juga hinggap ke Partai Bulan Bintang. Partai yang didirikan Yusril ini disebut-sebut menerima gelontoran dana Sisminbakum. Menurut sumber Tempo di Kejaksaan, aliran duit itu diduga mengalir dari bank di luar negeri. Tudingan ini muncul karena Komisaris Utama Sarana Gerard Yakobus disebut-sebut sebagai bendahara partai Yusril.
Kepada wartawan di kantor hukumnya, Rabu pekan lalu, Yusril membantah tudingan tersebut. ”Itu isu,” katanya. Gerard, ujarnya, memang pernah menjadi bendahara partai, tapi jauh sebelum Sisminbakum. Ketua Partai Bulan Bintang Malam Sambat Kaban juga membantah. ”Ini sarat kepentingan politik,” ujar Kaban.
Tak hanya terjadi di Sarana, bagian Koperasi juga mengalir ke mana-mana. Menurut seorang penyidik, setoran ke kas negara hanya dari penerimaan negara bukan pajak senilai Rp 200 ribu per akta. Duit Koperasi ini ludes dibagi-bagi: enam persen untuk Direktorat Administrasi, sisanya untuk Koperasi. Kejaksaan mengaku mengantongi catatan aliran duit itu. ”Peruntukannya macam-macam,” kata penyidik itu.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus saat kasus ini bergulir, Marwan Effendy, pernah melansir soal aliran itu. Menurut Marwan, dalam catatan itu, eselon I kebagian Rp 10 juta, sekretaris jenderal Rp 5 juta, dan para direktur kecipratan Rp 5 juta. Beberapa kali ditanya Tempo, para pejabat eselon I periode itu, termasuk Romli, membantahnya. Kepada jaksa, mereka juga kompak tak mengaku. ”Tapi kami punya bukti dan keterangan saksi,” ujar Marwan.
Ada berbagai modus menguras uang itu: uang saku pejabat dan istrinya ke luar negeri, biaya seminar, dan tip untuk mengegolkan rancangan undang-undang. Yusril dan istrinya, Sukesih (kini bekas istri), dituduh turut menikmati. Sukesih, menurut jaksa, kecipratan Rp 15 juta untuk biaya ke luar negeri. Yusril beberapa kali membantah tuduhan itu.
Di tingkat Koperasi, modusnya juga rupa-rupa. Menurut Kejaksaan, duit itu ada yang dibagikan dalam bentuk sisa hasil usaha dan tunjangan hari raya. ”Ini ibarat satu batang pohon berakar seribu,” kata penyidik itu.
Anton Aprianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo