Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG magrib, lelaki sepuh itu keluar dari Gedung Bundar. Diperiksa sejak pukul sepuluh pagi, ia tampak kelelahan. John Sarodja, pria 80 tahun itu, Selasa pekan lalu dipanggil Kejaksaan Agung berkaitan dengan perkara Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum), yang kini menjerat mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra, serta Hartono Tanoesoedibjo, mantan kuasa pemegang saham PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD). ”Keterangan dia penting untuk bahan pemeriksaan Yusril dan Hartono,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Arminsyah.
John memang otak Sistem Administrasi ini. Dialah yang merancang bagaimana sistem itu bekerja—dengan teknologi Internet—sehingga membuat notaris di pelosok mana pun bisa mengaksesnya, tanpa harus ke Jakarta dan antre di Departemen Kehakiman seperti terjadi selama itu. Adalah Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Romli Atmasasmita yang meminta John pada pertengahan 2000, menciptakan teknologi itu untuk direktoratnya.
John memang kemudian dimanfaatkan PT Sarana. Perusahaan yang saham mayoritasnya dipunyai Bhakti Asset Management—antara lain dimiliki Bhakti Investama, perusahaan Hary Tanoesoedibjo—itu ditunjuk Menteri Yusril untuk mengelola proyek tersebut. John tetap diminta menyelesaikan sistem itu dengan upah sekitar Rp 500 juta. Setelah proyek rampung, John ”ditendang keluar”. Adapun anak buahnya, sekitar 20 orang, ”dibajak” PT Sarana untuk mengoperasikan Sisminbakum.
Proyek inilah yang kemudian oleh Kejaksaan Agung dituding sarat korupsi. Kejaksaan menghitung uang yang dikeruk dari notaris—jumlahnya sekitar 6.000 orang—dan masuk rekening SRD sepanjang tahun 2000 hingga 2008 tak kurang dari Rp 420 miliar. Sepuluh persen dari jumlah itu masuk Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman, dan kemudian disalurkan lagi, antara lain untuk ”jatah tetap” sejumlah petinggi departemen. Tiga bekas Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum sudah diadili dalam kasus ini (lihat ”Hap, Akhirnya Masuk Juga”). Demikian pula Direktur Utama PT Sarana, Yohanes Waworuntu. ”Uang itu seharusnya masuk kas negara, bukan swasta,” kata Arminsyah.
Tak hanya berkantor di Direktorat Hukum, Sarana juga memiliki kantor di lantai delapan Media Nusantara Citra (MNC) Tower di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Dari gedung yang dulu bernama Menara Bimantara itu, menurut Yohanes Waworuntu, Sarana bisa mengakses semua data yang seharusnya bersifat rahasia itu dan tersimpan di Sisminbakum.
Selasa pekan lalu, kepada Tempo, John tak menampik bahwa hal itu bisa terjadi. ”Itu namanya back office, itulah bahayanya jika teknologi ini disalahgunakan.”
BERJAS hitam, Kamis pekan lalu, Yusril datang ke Gedung Bundar, Kejaksaan Agung. Didampingi tiga pengacaranya, Mohammad Assegaf, Maqdir Ismail, dan Wirawan Adnan, Yusril menyatakan kedatangannya untuk menyampaikan pendapatnya tentang penetapan dirinya sebagai tersangka. ”Penetapan itu tidak sah,” katanya keras.
Pakar hukum tata negara itu menunjuk posisi Jaksa Agung Hendarman Supandji sebagai biang keladinya. Menurut Yusril, Hendarman diangkat menjadi Jaksa Agung berdasarkan keputusan presiden pada 2007 dan masa tugasnya berakhir bersamaan dengan selesainya tugas Kabinet Indonesia Bersatu pada Oktober 2009. Setelah itu, ujarnya, Hendarman tak diangkat dan dilantik lagi.
Dalamkaca mata Yusril, dengan demikian posisi Hendarman sebagai Jaksa Agung tak sah. Karena itu pula, penetapan dirinya sebagai tersangka otomatis tidak sah pula. ”Karena ditandatangani Jaksa Agung yang telah berakhir masa jabatannya.”
Yusril menolak diperiksa. Arminsyah, yang menemui Yusril di ruang tamu, tak mampu membujuk pria kelahiran Belitung 54 tahun silam itu masuk ruang pemeriksaan. Sehari sebelumnya di kantornya, Graha Citra, di kawasan Jalan Gatot Subroto, Yusril menegaskan tidak ada yang keliru pada proyek Sisminbakum. Menurut dia, penetapan dirinya sebagai tersangka lebih karena unsur politik, untuk menamatkan karier politiknya, terutama untuk menghadapi pemilihan presiden 2014. ”Targetnya saya, bukan Hartono.”
PENETAPAN Yusril sebagai tersangka memang tinggal menunggu waktu. Kepada Tempo, seorang jaksa yang ikut memeriksa Yusril bercerita, nama Yusril dan Hartono, pada awal 2009, sudah masuk daftar tersangka. ”Saat itu sudah dilakukan gelar perkara di depan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus,” ujarnya.
Kesalahan Yusril terang-benderang. Selain mengeluarkan surat keputusan pemberlakuan Sisminbakum, dia menerbitkan surat keputusan penunjukan Sarana—dan Koperasi Pengayoman—sebagai pengelola Sisminbakum. Dua SK itu dikeluarkan masing-masing pada 4 dan 10 Oktober 2000. Di luar itu, setumpuk bukti lain juga ditemukan jaksa. Yusril pernah memakai duit itu untuk sangu perjalanannya ke luar negeri, antara lain ke Malaysia. Fulus itu juga pernah mengalir ke rekening—kini mantan—istrinya, Sukesih.
Jaksa juga melihat kaitan Yusril dengan PT Sarana. Dalam susunan komisaris tercantum nama Gerald Yakobus, yang kala itu menjabat bendahara Partai Bulan Bintang, partai Yusril. Karena itu, sejumlah jaksa menduga kuat, Sarana bisa masuk, serta mendapat proyek dengan penunjukan langsung, karena peran Yusril. Kendati mengakui Gerald pernah menjadi bendahara PBB, Yusril menolak jika dikatakan duit Sisminbakum mengalir ke partainya (lihat wawancara Yusril: ”Akan Saya Lawan”).
Pendirian PT Sarana sendiri dinilai berbau rekayasa. Dibentuk berdasarkan akta tertanggal 30 Juni 2000, di sana tercantum direktur utamanya Yohanes Waworuntu. ”Padahal Yohanes baru masuk Sarana pada 2 September 2000,” ujar seorang jaksa. Kepada Tempo, Yohanes menunjuk pendirian Sarana itu memang dibuat mundur. ”Semua sudah diatur,” ujarnya. Pemegang sahamnya juga berubah-ubah. Pertama kali tercatat pemegang sahamnya Lydia Lili, Gerald Yakobus, dan Endang Setiawaty, kini 99 persen sahamnya dikuasai PT Bhakti Asset Management dan sisanya Hartono. ”Hartono adalah pengendali Sarana, semua uang yang keluar harus lewat dia,” kata Yohanes.
Jaksa Reda Manthovani, yang memeriksa dokumen pengeluaran Sisminbakum, mengakui peran Hartono sangat besar. Hampir semua kuitansi pengeluaran Sarana yang kini dipegang kejaksaan ada tanda tangan kakak sulung Hary Tanoesoedibjo, Presiden Direktur MNC itu. ”Dia tidak ada di mana-mana, tapi ada di mana-mana,” kata Reda perihal Hartono yang juga menjabat komisaris di Bhakti Investama.
Tapi, soal perannya di SRD, Hartono selalu berkelit. Kepada jaksa yang memeriksanya pada 12 Februari 2009, ia misalnya menunjuk pemegang saham Sarana adalah Yohanes dan Gerald. Saat jaksa memperlihatkan sejumlah bukti notulensi rapat SRD yang ada tanda tangannya, Hartono menjawab, ”Saya tidak yakin itu tanda tangan saya.” Yang pasti, duit yang dikeruk SRD memang besar. ”Sejak Undang-Undang PT disahkan, setiap bulan bisa masuk sampai Rp 30 miliar,” kata Yohanes.
Jumlah uang keluar-masuk rekening SRD inilah yang ditelisik kejaksaan untuk menetapkan kerugian negara. Dan untuk menghitung itu, kejaksaan pernah meminta bantuan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Siang-malam, sejumlah auditor BPKP memelototi dokumen keuangan Sarana. ”Mereka sampai menginap di sini,” ujar seorang jaksa. Saat itu para auditor BPKP menyatakan kerugian negara akibat korupsi itu ”tergambar jelas”.
Hanya, belakangan kesimpulan resmi yang keluar dari BPKP berbunyi lain. Lembaga audit negara ini menyatakan ”tidak bisa menyimpulkan kerugian negara”. Dalam dokumen yang diperoleh Tempo, memang tidak tercatat aliran pengeluaran atau keterangan ke mana duit SRD mengalir.
Ini yang membuat berang sejumlah jaksa. ”Sejumlah auditor mengaku ada tekanan dari petinggi BPKP yang meminta kerugian tidak diungkap,” ujar seorang jaksa. Para penyidik kejaksaan lalu melakukan penghitungan sendiri. Dasarnya dokumen SRD dan rekening perusahaan itu di Bank Danamon. Hasilnya: kerugian negara mencapai Rp 420 miliar. Itulah duit yang masuk dari para notaris. ”Benar-benar ini namanya SRD, sarana rampok duit,” ujar seorang sumber Tempo di kejaksaan.
Dihubungi pekan lalu, Deputi Kepala BPKP Bidang Investigasi Suradji menampik bahwa kesimpulan ”tidak ada kerugian negara” itu merupakan permintaan dari atas. Menurut Suradji, lembaganya tak bisa menyimpulkan adanya kerugian negara lantaran bahan yang diserahkan kejaksaan hanya rekening koran, tak ada pendukung lainnya seperti pembukuan bank arus keluar-masuk uang. ”Kalau dasarnya rekening koran, semua auditor sama,” kata Suradji. ”Karena itu, kami tidak berani menyatakan Sisminbakum itu merugikan negara.”
Yusril Ihza Mahendra, yang bertekad akan mati-matian melawan tuduhan dirinya melakukan korupsi, menegaskan tak ada kerugian negara dalam proyek ini. ”Karena dibiayai swasta, biaya akses tidak tergolong pendapatan negara bukan pajak,” ujarnya. Pengacara Hartono, Hotman Paris Hutapea, juga yakin kliennya tak bisa dijerat kasus ini. ”Ini bukan perkara korupsi, tak ada anggaran negara yang dirugikan,” katanya. Hartono sendiri kini sudah melesat ke luar negeri. Ia terbang ke Taiwan tepat sehari sebelum Imigrasi mengeluarkan surat pencekalan atas dirinya.
APA pun argumentasinya, tampaknya perjuangan Yusril sia-sia. Kejaksaan sudah menyiapkan sejumlah dalil untuk mematahkan ”perlawanan” Yusril. Tentang pengakuannya proyek ini sudah dibicarakan kabinet, misalnya, kejaksaan menyatakan, bisa jadi Presiden mendapat laporan secara umum saja. ”Apakah Presiden, misalnya, juga tahu adanya pembagian duit dan masuk ke swasta?” ujar Yunitha, salah satu jaksa yang menangani kasus ini.
Alasan bukan duit negara juga bakal disikat. Bagi kejaksaan, yang dipungut itu jelas uang publik, dan seharusnya masuk kas negara. ”Sisminbakum itu memakai kop Departemen Kehakiman, menggunakan kekuasaan negara untuk mengambil pungutan, tapi uangnya masuk swasta, itu pelanggaran,” kata Reda.
Pertarungan Yusril versus kejaksaan memang bakal ramai. Setidaknya empat jaksa sudah disiapkan untuk memeriksa Yusril pekan-pekan ini. Setumpuk dokumen untuk meng-”KO”-kan Yusril sudah disiapkan. Sejumlah jaksa berbisik, besar kemungkinan nasib Yusril juga bakal seperti bekas anak buahnya. Seusai pemeriksaan, dikirim ke tahanan.
L.R. Baskoro, Anton Aprianto, Erwin Daryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo