Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Satu Rumah, Dua Paspor

28 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiga tahun hantu razia membayang di benak warga Indonesia keturunan suku Sangihe dan Talaud di Filipina Selatan. Setelah puluhan tahun mereka melenggang bebas tanpa kartu pas, kini pemerintah Filipina mulai mengetatkan aturan. Mereka yang tidak memiliki dokumen keimigrasian silakan hengkang!

Tapi, aparat imigrasi di Filipina Selatan rupanya tak seketat di tempat lain. Warga Indonesia di wilayah itu, terutama etnis Sangihe-Talaud, belum ada yang diusir sejauh ini. Padahal warga Indonesia di situ dikenal enggan mengurus paspor. Perjalanan mereka puluhan tahun silam melewati wilayah perbatasan tak mensyaratkan pemakaian paspor. Cukup menunjukkan kartu lintas batas yang dikeluarkan kantor imigrasi Indonesia di perbatasan. Paspor baru diperlukan bila mereka lewat jalur lain. Maka, ”paspor garuda” banyak dimiliki nelayan Indonesia yang bekerja di perusahaan penangkapan ikan asing karena sering singgah ke beberapa pelabuhan.

Mengurus paspor juga bukan perkara mudah. Selain miskin, mereka tinggal di wilayah terpencil. Selama ini mereka berbekal kartu lintas batas yang bisa didapat dengan 50 peso (Rp 9.000). Untuk surat perjalanan laksana paspor, mereka perlu mengeluarkan 350 peso, sekitar Rp 63 ribu. Paspor perlu ongkos tiga kali lipat plus ongkos ke Davao. ”Padahal upah mereka hanya 150 peso (Rp 27 ribu) sehari,” kata Konsul Jenderal Republik Indonesia di Davao, Ikon Muhammad Entjeng.

Repotnya, karena sudah lama bermukim, sebagian perantau malah tak memiliki kartu identitas kewarganegaraan apa pun. Padahal, status keimigrasian ilegal ini menjadi kendala besar. Anak-anak mereka sulit masuk ke sekolah. Dan mereka tak bisa bekerja di perusahaan swasta maupun kantor pemerintah.

Maka, upaya melegalkan pendatang gelap ini digegaskan. Akhir bulan lalu, Konsul Jenderal Republik Indonesia di Davao mendata warga bersama timnya secara langsung. Dengan mengendarai habal-habal, sepeda motor Kawasaki 150 cc berpenumpang enam orang, Entjeng singgah ke salah satu lokasi permukiman warga Sangihe-Talaud.

Biro Imigrasi dan Deportasi Filipina, dibantu Konsulat Jenderal RI, juga telah mensurvei warga. Mereka disodori pilihan: repatriasi, legalisasi, atau naturalisasi. Repatriasi artinya kembali ke Indonesia. Legalisasi berarti tetap menjadi warga Indonesia dan melegalkan status tinggal sebagai orang asing di Filipina. Sedangkan jika memilih naturalisasi, mereka menjadi warga Filipina.

Warga yang tak punya dokumen imigrasi diberi kemudahan untuk melegalkan status tinggal mereka. Mereka hanya membayar alien certificate of registration (ACR) sebesar 1.060 peso (sekitar Rp 190 ribu) untuk usia 14 tahun ke atas. Yang masih berusia di bawah 14 tahun dikenai bayaran 560 peso. Selanjutnya, mereka cukup menyetor biaya 310 peso per tahun.

Dari hasil survei, 1.783 orang memilih repatriasi, 3.672 memilih legalisasi, dan 256 orang menjadi warga Filipina. Ada pula yang belum menentukan pilihan. Manuel Salaula, 61 tahun, misalnya. Manuel tiba di Pantai Cablalan, Provinsi Sarangani, 3 Agustus 1952. Lelaki asal Manganitu, Pulau Sangihe, ini masih akan berembuk dengan keluarga bila akan kembali ke Sangihe.

Salah satu warga yang memilih repatriasi adalah Niklas Amsar, 77 tahun. Di usianya yang sudah lanjut, lelaki yang tinggal di Kota General Santos ini merasa tak sanggup lagi bekerja sebagai buruh di kebun kelapa ataupun buruh gudang. ”Saya ingin kembali,” ujar lelaki asal Salurang, Tabukan Selatan, Sangihe itu. Setelah istri pertamanya yang berdarah Sangihe meninggal, ia telah mengawini perempuan Filipina. Namun, ia masih mendengar panggilan tanah kelahiran.

Ada pula keluarga yang punya dua macam pilihan. Virginia Gampamole, 43 tahun, misalnya, memilih menjadi warga Filipina. Namun Mathius Landia, suaminya, tetap menjadi warga Indonesia. Hingga 2004 Virginia punya dua kewarganegaraan. Ia akhirnya memilih memegang paspor Filipina saja karena urusan warisan. Ada tanah seluas 1,9 hektare dan 389 pohon kelapa dari ibunya yang berdarah Blaan, Mindanao. Jika menjadi warga Indonesia mengikuti darah Sangihe ayahnya, harta peninggalan itu bisa tandas. Maka, pilihan pun dibuat: dua paspor dalam satu rumah—Filipina dan Indonesia.

Hanibal W.Y. Wijayanta/Verrianto Madjowa (Davao, General Santos, Sarangani)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus