Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEKERABATAN etnis Sangihe-Talaud di Mindanao Selatan terjalin juga lewat udara. Radio DXCP dengan gelombang 95,5 AM, yang dipancarkan dari Kota General Santos, menjadi media penyambung kerinduan terhadap kampung halaman di hati 923 nelayan asal Sangihe-Talaud—biasa disingkat Satal. Acara dipandu oleh Heinrich Wolff, 45 tahun, Koordinator Penghubung WNI di Mindanao dan Ketua Himpunan Nelayan Indonesia General Santos. Siaran ini bisa ditangkap di pulau-pulau sekitar Mindanao seperti Ternate, Halmahera, selain di Sangihe dan Talaud.
”Program ini berjalan sejak enam tahun lalu dengan dukungan dana dari salah satu lembaga di Eropa,” ujar Wolff. Acara berisi ajaran kebajikan hidup, berita duka antar-nelayan dan informasi dari Konsulat Jenderal RI. Bagi nelayan asal Satal, siaran ini juga digunakan sebagai sarana saling menyampaikan salam dengan pesan tertentu. Misalnya program AMKM (Anda Mendengar Kami Meminta), yang lazim ditemukan pada radio-radio pada umumnya. ”Siaran dilakukan dalam bahasa Sangihe karena bahasa Indonesia terkadang sulit dimengerti nelayan,” Wolff menjelaskan. Ia mencontohkan sebuah siaran radio berbahasa Indonesia yang bisa ditangkap di Mindanao namun kurang diminati komunitas Satal.
Selain informasi spesifik tentang komunitas, Wolff menyelipkan berita terkini tentang Indonesia yang didengarnya dari TVRI. Untuk pendalaman materi, ia mencari di berbagai situs Internet. ”Karena keterbatasan dana, kami hanya bisa siaran seminggu sekali,” tutur Wolff. Beberapa konflik horizontal antaragama yang terjadi di Tanah Air membuat Wolff memikirkan cara penyampaian yang lebih elegan supaya berita tetap sampai kepada pendengar namun tak membakar perasaan. ”Hal ini mendorong saya untuk menggalang warga muslim agar mendirikan masjid Indonesia di Kota General Santos,” ujar pendeta Persekutuan Gereja Indonesia-United Church of Christ in the Philippines ini. ”Puji Tuhan, upaya tersebut amat didukung oleh Konsulat Jenderal RI di Davao,” katanya dengan nada lepas.
Problem hukum, khususnya masalah keimigrasian, juga tak dilupakan. Ia kerap mengingatkan tentang pentingnya pengurusan dokumen keimigrasian, terutama bagi keturunan Satal yang ingin menetap di Mindanao. ”Saya bahkan memberikan pertimbangan agar sebaiknya mereka memikirkan peluang untuk menjadi warga negara Filipina,” katanya.
Namun, Wolff juga mengingatkan bahwa proses untuk menjadi warga negara yang dipimpin oleh Presiden Gloria Arroyo itu tak semudah membalik telapak tangan. Selain itu, ada beban historis bagi masyarakat asal Satal untuk pindah kewarganegaraan. ”Ada perasaan seperti mengkhianati leluhur. Dan itu banyak dirasakan oleh nelayan Satal, bukan cuma satu-dua orang,” tuturnya.
Salah satu penyebabnya adalah seringnya pertikaian antara masyarakat Satal dan perompak Filipino pada masa silam. Dulu, bajak laut Filipina sering memamerkan keberanian mereka dengan beroperasi memasuki Kepulauan Sangihe-Talaud sehingga menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. ”Cerita seperti ini sampai sekarang masih sering didengar,” katanya.
Satu hal yang menjadi beban pikiran Wolff sekarang adalah rencana pemerintah Indonesia dan Filipina yang akan mengakhiri kesepakatan kerja sama di bidang perikanan pada 2 Desember 2005. Kesepakatan itu sudah diputuskan saat berlangsungnya Kongres Tuna Ke-7 di General Santos, 2-3 September 2005.
”Dampak pemutusan hubungan kerja tersebut bakal menyulitkan WNI di sini, yang notabene cukup banyak bekerja di perusahaan penangkapan ikan yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia,” katanya
Wolff masih memikirkan cara terbaik untuk mengemas kabar buruk itu untuk siaran selanjutnya.
Verrianto Madjowa (General Santos), Akmal Nasery Basral (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo