Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua kejadian bertubi-tubi menyerang Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional Irjen Benny J. Mamoto. Pertama, laporan dari seorang perempuan, Helena, ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Kedua, pencurian dokumen oleh mantan penyidik BNN, Komisaris Polisi Albert Dedi. Namun lulusan Akademi Kepolisian 1977 ini tampak tenang saat Mustafa Silalahi, Febriyan, dan Aryani Kristanti bertamu ke kantornya. Meskipun Benny sadar menjadi target musuh-musuhnya, gelak canda dan senyuman masih mengembang di wajahnya. Secuplik wawancara ini pun menjadi bagian dari dua jam kedatangan Tempo pada akhir Juli lalu.
Bagaimana tanggapan Anda tentang dua peristiwa yang menyeret nama Anda belakangan ini?
Yang menghendaki saya jatuh adalah sindikat yang ketakutan. Kalau sindikat takut kena, yang terima jatah preman juga ketakutan. Makanya mereka mengerahkan berbagai cara. Ancaman telepon saja sih sudah kenyang, capek melayaninya. Surat kaleng, kalau ada alamat ke malaikat, dikirim ke malaikat.
Jadi benar ada kelompok yang ingin menyerang Anda?
Banyak.
Kabar yang beredar di luar, Anda sudah pensiun tapi tidak mau meletakkan jabatan. Karena itu, ada yang mencari-cari kesalahan Anda.
Ini yang perlu saya klarifikasi. Sayang kalau publik diberi berita yang rancu. Ujungnya pembunuhan karakter. Benar, saya pada 1 Juli kemarin pensiun. BNN itu instansi di bawah presiden. Untuk jabatan eselon I itu melalui tim penilaian akhir dari beberapa menteri terkait. Nama calon yang diajukan itu diuji baru diputus, terbitlah keppres. Prosesnya seperti itu. Keluar keppres untuk menggantikan saya.
Pertanyaannya, bagaimana dengan jabatan Deputi Pemberantasan ketika saya sudah pensiun. Ketika Inspektur Utama pensiun tapi belum ada penggantinya, dia masih menjabat sampai ada penggantinya. Pertanyaan selanjutnya kok yang diributkan Deputi Pemberantasan? Inspektur Utama tidak?
Jadi, selama belum ada keppres, Anda masih menjabat?
Ya, seperti itu, perintah Pak Kepala BNN, saya tetap sampai ada pengganti.
Ini kan ceritanya sudah ada telegram rahasia dari Mabes Polri, sudah ada yang akan menggantikan Anda dari Mabes....
Tolong, baca Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2013. Mekanismenya, BNN minta ke Polri. Untuk pencalonan, bisa internal, bisa dari Polri. Biasanya Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan yang membahas siapa kandidatnya. Dalam surat BNN ke Mabes Polri, ada enggak yang dicalonkan, atau kami minta si A, si B, atau si C. Selesai itu, dikirim ke tim penilaian akhir, nanti akan disaring di sana. Yang terjadi ini kan ada surat pencalonan sebelum kami minta.
Artinya, pengisian itu hak prerogatif BNN, apakah mengambil dari internal atau dari Polri?
BNN itu di bawah presiden, bukan Kapolri. Ini yang sering rancu. Sebelum UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, BNN memang di bawah Kapolri. Kepala BNN itu Kapolri, yang ada di sini hanya pelaksana hariannya. Itu sebelum UU Nomor 35 Tahun 2009. Ketika BNN sudah di bawah presiden itu otonom. Dengan Polri sifatnya koordinasi. Bukan kami di bawah Kapolri, baik dalam pelaksanaan tugas, operasional, penegakan hukum, maupun penemÂÂpatan personel.
Kabarnya, ada penolakan terhadap Arman Depari, yang akan menggantikan Anda, karena Anda punya calon sendiri?
Bukan.
Dari Anda, ada usulan nama?
Itu saya serahkan ke forum Baperjakat. Yang saya usulkan adalah kriteria. Soal orang adalah nomor dua. Kriterianya adalah integritas moral paling utama, kedua profesional, ketiga berani, dan berikutnya, nomor empat, jangan ada hubungan dengan sindikat. Ketika itu terjadi (berhubungan dengan sindikat), guru kencing berdiri, murid kencing berlari.
Sehubungan dengan nomor empat itu, banyak yang menyatakan posisi Anda strategis karena menangani berbagai kasus. Benarkah ada upaya dari sindikat untuk menaruh orang-orangnya di posisi Anda?
Bukan seperti itu. Pencalonan, khususnya untuk Deputi Pemberantasan, menjadi penting karena apa? Ketika publik tidak lagi percaya sama institusi yang memberantas narkotik, terus mau percaya sama siapa? Kedua, seperti yang saya sampaikan, setelah saya lihat sendiri kondisi lapangan, tantangannya tidak mudah. Ada calon yang integritasnya oke tapi penakut, bagaimana?
Kasus pencurian dokumen oleh Kompol Albert, apakah dia berencana mencari dokumen yang bisa menjatuhkan Anda?
Ya, arahnya ke sana.
Ada yang memerintahkan?
Ya, diartikan sendiri saja.
Soal Helena, apakah benar Anda menerima uang dari dia?
Coba tanya Helena, saya memeras apa. Saya sangat sadar dalam posisi dan sikap saya yang keras terhadap sindikat, saya pasti ditarget. Kalau saya sadar seperti itu kemudian saya memeras, itu konyol.
BRIGADIR JENDERAL ARMAN DEPARI:
Saya Tidak Mikirin yang Gitu-gitu
Bulan depan, genap empat tahun Brigadir Jenderal Arman Depari duduk sebagai Direktur Narkoba Markas Besar Kepolisian RI. Selama dia menjabat, sudah ratusan kilogram narkoba bernilai triliunan rupiah ia sita dari para pengedar lewat operasi, termasuk yang ia pimpin langsung. Karier lulusan Akademi Kepolisian 1985 ini memang bersinar saat dia menjabat Direktur Narkoba Kepolisian Daerah Metro Jaya. Dari sini ia kemudian ditarik ke Mabes Polri, tempat ia kemudian mendapat bintang.
Menjabat selama empat tahun bisa disebut merupakan rentang waktu yang tak lazim bagi pejabat polisi. Posisi itu terhitung terlalu lama. Kursi baru yang disiapkan untuk Arman adalah Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional—sebuah jabatan yang mentereng yang kini diduduki Benny J. Mamoto.
Kabar tentang jabatan anyarnya itu sudah merebak di kalangan perwira Mabes Polri. Tapi, belakangan, tersiar kabar bahwa BNN ternyata memiliki calon lain. Bahkan, muncul suara-suara, ia memang tak cocok dengan Benny. Dalam sejumlah kasus, pasukan Benny dan pasukan Arman kerap bergesekan dalam mengusut kasus narkoba. "Dia berseteru dengan Benny, yang memang memiliki calon lain untuk menggantikannya di Deputi Pemberantasan Badan Narkotika," kata sumber Tempo.
Sejak ramai dikabarkan mendapat rintangan untuk masuk BNN, Arman memang tak banyak muncul ke depan publik. Tampaknya ia berupaya menghindari wartawan. Di kantornya di Jalan M.T. Haryono, Jakarta Timur, dia juga sulit ditemui.
Rabu pekan lalu, Arman muncul di kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Dia tengah menemani Kapolri Jenderal Timur Pradopo yang mengadakan pertemuan dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin. Meski wajahnya terus tersenyum, Arman terlihat enggan menjawab pertanyaan wartawan Tempo Mustafa Silalahi, yang menanyakan perihal posisi barunya dan hubungannya dengan Benny J. Mamoto.
Apa benar Anda berseteru dengan Benny Mamoto?
Ah, enggak. Dari mana asal kabar itu? (Tersenyum.)
Anda dan Benny dikabarkan saling menyandera dengan kasus-kasus yang diduga "dimainkan" Anda berdua?
Enggak ada. (Arman terlihat kaget. Ia mengernyitkan dahi.)
Anda tahu kasus yang membelit Helena lalu melaporkan Benny ke Mabes Polri?
Enggak. Aku enggak paham.
Anda disebut dilaporkan dan sudah diperiksa Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) karena "memainkan" kasus narkoba yang Anda tangani. Benar?
Ah, enggak ada. (Tertawa.)
Anda kabarnya menangkap dan menahan Komisaris Anton. Dia ini tahu banyak kasus yang "dimainkan" Benny?
Siapa itu Anton? Tidak ada.
Benar Anda sudah ditunjuk Kapolri menggantikan Benny di BNN?
Saat ini kami masih fokus bekerja, mengejar para bandar. Tidak mikirin yang gitu-gitu.
Bukankah Jenderal Timur Pradopo sudah mengeluarkan telegram rahasia penunjukÂan Anda?
Tidak tahu. Urusanku cuma menangkap penjahat. Perkara itu tanya beliau saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo