Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEHENINGAN pagi di Tulungagung, kabupaten kecil di selatan Jawa Timur, pecah oleh rentetan tembakan senjata semiotomatis, Senin pekan lalu. Serombongan orang turun dari Toyota Avanza perak yang diparkir melintang dekat lampu merah perempatan Jalan Pahlawan. "Jangan bergerak," seseorang berteriak, menodongkan senapan ke arah empat lelaki yang sedang menunggu angkutan umum di pinggir jalan.
Subono ternganga melihat kejadian serba cepat itu dari warung kopi, dua meter dari empat pria yang ditodong. Tukang becak 40 tahun ini semakin kaget mendengar tembakan. Pikirannya kacau ketika seorang lelaki yang ditodong berlari ke arahnya. Anak muda gondrong itu berlindung di balik Mimin, perempuan pemilik warung, yang berdiri gemetar memegang gelas kopi.
Alih-alih menuruti perintah para pria bersenjata, anak muda berkaus kuning itu sibuk mengeluarkan isi tasnya. Seorang pria yang menenteng pistol revolver menghampiri dengan langkah cepat, dan menembak satu meter dari kepalanya. Ia ambruk di lantai warung. Darahnya muncrat membasahi keramik. "Saya gemetar ketakutan," kata Subono, saksi yang namanya sengaja disamarkan, Rabu pekan lalu.
Tiga laki-laki lain penunggu angkutan kota melongo melihat teman mereka ambruk ditembak kepalanya. Tembakan terdengar lagi. Supriyanto, tukang becak lain yang mangkal di seberang warung Mimin, melihat satu orang di antaranya tiba-tiba roboh. Darah mengalir dari dada pria itu. "Saya pikir itu perampokan," ujarnya.
Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Unggung Cahyono, yang tiba di Tulungagung tiga jam setelah penembakan, menyatakan empat orang yang disergap itu diduga anggota jaringan teroris. Penyergapnya Detasemen Khusus 88 Antiteror. "Densus telah mengawasi mereka tiga bulan," katanya.
Dua orang yang ditembak, menurut polisi, adalah Dayat dan Rizal. Adapun dua orang lainnya, yakni Mugi Hartanto dan Sapari, ditangkap dengan tuduhan menyembunyikan Rizal—yang tewas di dalam warung—dan Dayat. Polisi menuduh mereka merupakan anggota "jaringan Poso", merujuk pada wilayah yang pernah dilanda konflik di Sulawesi Tengah.
Tembakan anggota Detasemen pada awal pengepungan memakan korban. Punggung Sujiono, warga Karangwaru, yang menunggang sepeda motor menunggu lampu hijau di perempatan, tertembak. Ia terhuyung lalu ambruk di trotoar. Pria 50 tahun karyawan perusahaan aluminium itu dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah dr Iskak, Tulungagung.
Setelah dieksekusi, menurut Subono, mayat Dayat dan Rizal diseret masuk Avanza. Sapari dan Mugi juga digiring masuk mobil yang sama. Setelah minibus itu pergi, dua mobil bertulisan Kepolisian Resor Tulungagung tiba. Polisi bersenjata laras panjang kembali mengepung warung.
Tali kuning police line dibentangkan. Beberapa polisi berpakaian sipil menggambar denah penembakan dengan kapur. Polisi lain mengepel genangan darah. Warung kopi di sudut Jalan Pahlawan pada pukul 09.00 itu riuh luar biasa. Orang-orang mulai berani ke luar rumah. Pejalan kaki berhenti menonton penggerebekan tersangka teroris itu. Setelah itu, kehebohan berpindah ke Rumah Sakit Bhayangkari Kediri.
Avanza pembawa jenazah Dayat dan Rizal tiba di sana. Anggota Detasemen yang menumpang mobil lain menyeret mayat masuk ke kamar jenazah. Para pengunjung dan pasien menjerit melihat dua tubuh berlumuran darah diseret orang-orang yang menenteng senjata laras panjang. "Saya bergidik melihatnya," kata Antonius, peÂngunjung rumah sakit yang sedang membeli obat di apotek, ketika mayat itu tiba.
Apotek itu berhadapan dengan kamar jenazah. Di sebelahnya masjid dan lorong yang menghubungkan ke ruang rawat inap. Saat itu, menurut Antonius, banyak pasien dan keluarganya yang berkunjung atau duduk di teras masjid. Kehadiran anggota Detasemen yang menyeret mayat tanpa kursi dorong itu menjadi tontonan mengerikan pada pagi tenang.
Sementara mayat Rizal dan Dayat diotopsi lalu diterbangkan ke Jakarta pada Selasa malam, tak ada yang tahu ke mana Sapari dan Mugi dibawa anggota Detasemen. Juru bicara Kepolisian Jawa Timur, Komisaris Besar Awi Setiyono, memastikan keduanya masih berada di wilayahnya. "Hanya tempatnya kami tak tahu karena Polda Jawa Timur tak ikut memeriksa," katanya.
Menurut Unggung Cahyono, Rizal dan Dayat ditembak karena hendak melawan. Dayat, yang berlari ke arah warung, dicurigai berniat mengambil pistol dan bom untuk melawan. "Keputusan menembak keduanya tepat, agar tak ada korban jiwa lebih banyak," kata Unggung.
Juru bicara Markas Besar Kepolisian, Inspektur Jenderal Ronny Franky Sompie, mengatakan terjadi baku tembak dalam penyergapan. Ketika delapan anggota Detasemen turun dari mobil, ia menyatakan, Dayat mencabut pistol revolver dan menembak ke arah polisi. Unggung mengatakan di dalam tas yang terselempang di punggung Dayat juga ditemukan bom.
Polisi tak menunjukkan pistol dan jenis bom yang dibawa Dayat itu ketika menggelar konferensi pers beberapa jam setelah penembakan, baik di Jawa Timur maupun Jakarta. Para saksi yang ditanya Tempo di sekitar warung juga tidak melihat atau mendengar baku tembak. Subono memang melihat Dayat berusaha mengeluarkan isi tasnya sebelum ditembak, tapi ia tak melihat pistol menyembul. Tiga temannya yang mematung di luar warung juga hanya melongo sebelum diberondong peluru. "Kejadiannya sangat cepat," katanya.
Pada Senin itu pula, polisi menyimpulkan keempatnya adalah bagian dari jaringan teroris Poso, Sulawesi Tengah, yang tengah bergerilya mencari anggota baru. Menurut Kepala Kepolisian Resor Tulungagung Ajun Komisaris Besar Wisnu Februanto, Rizal dan Dayat berasal dari Medan dan sudah tiga bulan berkeliaran di Jawa Timur.
Dayat, menurut Wisnu, punya keahlian meretas komputer. Ia juga diduga merupakan pembobol Bank Danamon Medan, yang hasilnya untuk mendanai teror Poso. "Rizal itu 'calon pengantin' rekrutannya," kata Wisnu. Pengantin adalah sebutan untuk anggota jaringan teroris yang bersedia menjadi pelaku peledakan bom bunuh diri.
Dibanding Dayat, penampilan Rizal lebih kelimis. Ia datang ke Desa Penjor, di lereng Gunung Wilis, tiga bulan lalu, untuk menemui Sapari, tokoh agama dan perangkat desa yang mengelola Taman Kanak-Âkanak dan Pendidikan Anak Usia Dini Aisyiyah. Sehari-hari Sapari juga jadi pengurus dan imam Masjid Al-Jihad di desanya.
Tak ada yang tahu bagaimana perkenalan Sapari dan Rizal. Istri Sapari, Sri Indarti, hanya beberapa kali bertemu dengan Rizal. Tamu suaminya itu tinggal di satu ruangan TK Aisyiyah. Selama tiga bulan Rizal membantu Sapari mengurus masjid, memberi ceramah, atau menyiapkan makanan dan minuman untuk buka dan sahur. "Suami saya tak pernah curiga pada orang, jadi mungkin dia terima saja begitu Rizal datang," kata Sri.
Dari Sapari, Rizal mengenal Mugi Hartanto, guru bahasa Inggris SD Negeri 03 Pagerwejo dari Desa Gambiran, yang juga anggota pengurus TK Aisyiyah. Gambiran dan Penjor adalah dua desa bertetangga yang wilayahnya paling tinggi di Tulungagung. Terletak di lereng Gunung Wilis, desa sunyi ini berjarak 25 kilometer dari Kota Tulungagung. Pada hari hujan, kabut merungkup desa yang sebagian besar penduduknya beternak sapi perah ini.
Kepada istri masing-masing, Mugi dan Sapari mengenalkan Rizal sebagai pendakwah asal Medan yang tengah melakukan syiar agama Islam. Karena itulah, kata Sri, suaminya tak pernah melaporkan tamunya tersebut ke pengurus desa secara resmi. Ia hanya mengenalkan tamunya dalam pertemuan di masjid seusai salat berjemaah.
Warga Penjor dan Gambiran tak ada yang curiga kepada tamu asing ini. Selain sopan, kata Sri, isi ceramah Rizal di masjid menyangkut tema umum dalam ajaran agama. "Tak ada jihad atau gerakan teroris," katanya. Menurut dia, semua orang juga bisa melongok kamarnya di Aisyiyah karena tak pernah dikunci. Ke mana-mana Rizal selalu diantar bergantian oleh Sapari dan Mugi dengan memanggul tas besar. "Kalau ditanya, dia bilang isinya pakaian."
Pada Sabtu dua pekan lalu, Rizal ditengok temannya yang juga dari Medan. Rizal mengenalkan Dayat kepada tuan rumahnya sebagai sesama pendakwah. Hanya, kata Sri, penampilan Dayat (bukan Dayah seperti keterangan polisi) jauh beda dibanding Rizal. Selain berambut gimbal, Dayat kumuh seperti tak merawat diri. Dua hari setelah kedatangan Dayat itulah Rizal menyatakan akan meninggalkan Penjor karena akan kuliah di Bekasi, Jawa Barat.
Diantar Sapari,keduanya hendak mencari bus di terminal Tulungagung. Namun sepeda motor Honda Win Sapari tak muat untuk boncengan bertiga. Maka, menurut Anik Sutrismi, istri Mugi, suaminya ditelepon Sapari dan diminta mengantar tamunya ke Tulungagung. Kebetulan hari itu Mugi akan memperpanjang surat tanda nomor kendaraan sepeda motornya ke kota.
Anik dan Sri terkejut mendengar suami mereka diciduk polisi. Mereka kian cemas melihat tayangan televisi yang menyebut ayah anak-anak mereka itu terkait dengan teroris Poso. "Suami saya tak tahu apa-apa soal teroris," kata Anik.
Keduanya masygul karena polisi tak memberi kabar nasib Mugi dan Sapari. Dibantu adik-adiknya, kedua istri ini sudah menanyakannya ke Polsek dan Polres Tulungagung. Polisi di sana menyatakan tak mengetahui keberadaan dan kabar Mugi dan Sapari.
Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo mengatakan dua laki-laki itu kini diperiksa tim Detasemen Antiteror di suatu tempat untuk dikorek keterangannya. "Tunggu sampai pemeriksaan selesai. Akan kami kembangkan penyidikan dari keterangan mereka," katanya.
Bagja Hidayat, Indra Wijaya (Jakarta), Hari Tri Wasono (Tulungagung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo