Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Saya Tak Akan Melibatkan Keluarga di Istana

Ini merupakan wawancara terakhirnya dengan media sebelum ia dilantik pada Ahad petang, 20 Oktober 2019.

19 Oktober 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ma’ruf Amin. Dok TEMPO/Dhemas Reviyanto Atmodjo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Air di kolam renang rumah Wakil Presiden Ma’ruf Amin di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, tersisa sepinggang beberapa bulan terakhir. Saban pagi, sang Kiai hilir-mudik di sana sebagai terapi penguatan kakinya. Aktivitas berjalan dalam air itu melengkapi rutinitas olahraga paginya, jalan kaki 4 kilometer dan bersepeda statis. Ditambah pengetatan pola makan dan puasa Senin-Kamis, berat badannya mencapai angka ideal, 56 kilogram, dari 70 kilogram saat sebelum kampanye pemilihan presiden tahun lalu.

Olahraga dan diet ketat itu bagian dari persiapan Ma’ruf, 76 tahun, melaksanakan tugas sebagai Wakil Presiden RI periode 2019-2024. “Karena akan menghadapi tugas berat yang memerlukan stamina,” ujar Ma’ruf dalam wawancara khusus dengan Tempo di kediamannya, Sabtu, 19 Oktober lalu.

Ma'ruf juga mempersiapkan mental. Ia meminta masukan dari pendahulunya, Jusuf Kalla. “Membahas masalah yang belum terselesaikan, seperti penanggulangan kemiskinan, kesenjangan, pengangguran, pencegahan stunting, reformasi birokrasi, dan lain-lain,” katanya.

Kepada wartawan Tempo, Sunudyantoro, Reza Maulana, Aisha Shaidra, dan Devy Ernis, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia nonaktif itu bercerita tentang rencana kerjanya mendampingi Presiden Joko Widodo, penyusunan kabinet, juga keterlibatan anak-anaknya di politik. Ini merupakan wawancara terakhirnya dengan media sebelum ia dilantik pada Ahad petang, 20 Oktober 2019.

Tulisan ini disusun dari dua kali wawancara dengan Ma’ruf. Wawancara pertama oleh wartawan Tempo, Devy Ernis dan Raymundus Rikang, berlangsung di kantor Majelis Ulama Indonesia, Jakarta Pusat, Selasa, 8 Oktober lalu.

Apa program prioritas Anda setelah dilantik?

Ada beberapa program yang di-carry over, yaitu yang dulu dikerjakan Pak Jusuf Kalla dan belum tuntas. Tentu dengan catatan, pekerjaan itu diberikan kepada saya. Ada juga tugas tambahan yang mendesak dan berhubungan dengan profil saya, seperti program deradikalisasi. Saya juga mengurus pemberdayaan masyarakat dan ekonomi syariah.

Membahas apa saja dalam pertemuan dengan Jusuf Kalla?

Membahas masalah yang belum terselesaikan. Penanggulangan kemiskinan, kesenjangan, pengangguran, kemudian kesehatan—terutama pencegahan stunting—reformasi birokrasi, dan lain-lain. Tentu ada tugas-tugas yang sesuai dengan posisi saya sebagai kiai, dulu Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, menyangkut ekonomi syariah, juga isu halal.

Apa yang Anda siapkan untuk program ekonomi syariah?

Mengembangkan keuangan syariah supaya perbankan, asuransi syariah, pasar modal syariah, menjadi besar. Sukuk kita sudah menjadi yang terbesar di dunia. Ini kami dorong supaya yang lain turut menjadi yang terbesar di dunia. Hal lain yang sangat strategis adalah social fund, dana sosial, wakaf. Ini potensi besar dan murah. Kalau bisa menghimpunnya dengan baik, berdasarkan kepercayaan masyarakat, ini dapat dijadikan dana pembangunan. Tiga hal hendak saya titik beratkan di pemerintahan secara signifikan, yakni industri halal, keuangan syariah, dan pengelolaan social fund. Semua perlu pengelola, badan, dan eksekusi. Ini yang akan dikembangkan, badan yang akan melakukan pengembangan ekonomi syariah.

Faktanya, kita masih kalah dibanding Malaysia.

Justru itu, saya ingin industri keuangan ini menjadi besar. Selama ini kan saya menangani aspek-aspek yang menyangkut fatwanya, sertifikasinya. Sekarang saya ingin industrinya disehatkan, dikuatkan. Nanti ada alternatif-alternatif. Bisa saja beberapa bank syariah digabungkan, diperbesar, atau ada bank konvensional dikonversi menjadi bank syariah.

Contohnya?

Bank badan usaha milik negara ada berapa? Ini kan masih kecil-kecil. Untuk memperbesar, disatukan seluruhnya. Atau ada merger dengan bank-bank lain supaya lebih sehat dan kuat.

Tugas lain Anda adalah deradikalisasi. Seperti apa konsep Anda?

Radikalisme merupakan masalah besar yang terus terjadi dan tak pernah selesai. Ini perlu ditangani lebih serius. Penanganannya tak hanya di hilir, tapi juga dari hulu, maka harus menjadi arus utama atau prioritas. Pencegahan tidak hanya dengan penindakan, penangkapan yang sifatnya represif. Akhirnya, tak hanya deradikalisasi, tapi juga perlu penangkalan, kontraradikalisme lewat edukasi. Ini harus dilakukan bersinergi dengan berbagai pihak. Jangan sampai pegawai negeri sipil, tentara, polisi, terpapar. Edukasinya harus intensif, baik struktural maupun kultural. Nanti bisa melibatkan organisasi kemasyarakatan keagamaan. Saya minta kepada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional agar ini jadi prioritas.

Sumber radikalisme agama berasal dari dalam atau luar negeri?

Siapa pun yang belajar radikalisme di dalam atau luar negeri, pemahaman agamanya harus diluruskan. Islam moderat menjadi isu yang dikembangkan. Islam harus dipahami secara kontekstual. Ulama dan pendiri bangsa sudah menyepakati sistem kenegaraan. Jangan sampai ada sekat antara Islam dan kebangsaan. Jangan sampai Islam dan Pancasila dibenturkan. Ini sudah final. Kami ingin memberikan pemahaman ke masyarakat luas soal Islam dan bangsa. Islam itu kafah, utuh. Tapi ada kesepakatan yang tak boleh ditabrak. Berdakwah juga harus ada kesepakatan. Saya katakan, boleh saja menjadi muslim, tapi muslim yang Indonesia, Kristen Indonesia, Hindu yang Indonesia, Buddha yang Indonesia, dan lainnya. Jadi keindonesiaannya harus ada, dalam kerangka kebangsaan dan kenegaraan atau dalam bingkai kesepakatan. Saya menyebutnya daarul midzaq, negara kesepakatan. Pancasila itu titik temu.

Bagaimana Anda berbagi tugas dengan Presiden Jokowi?

Secara umum, tugas wakil presiden itu membantu presiden. Undang-undang sudah memberi rincian tugas kepada wakil presiden, tapi ada juga pekerjaan khusus yang tidak diatur dalam regulasi. Di luar itu, ada pekerjaan yang menjadi inisiatif wakil presiden, khususnya Pak Jusuf Kalla pada periode lalu, yang perlu saya selesaikan.

Contohnya?

Pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia di Cimanggis, Depok, Jawa Barat. Pak Jokowi dan Pak Jusuf Kalla sudah meletakkan batu pertama pembangunan kampus itu pada Juni 2018. Jika tugas itu diberikan kepada saya, tentu saya akan mengerjakan dan melanjutkan prosesnya.

Sejauh mana Anda dilibatkan dalam penyusunan kabinet?

Sekarang sedang proses mengumpulkan nama calon menteri. Presiden akan mengundang diskusi ketika daftar nama itu sudah mengerucut dan detail.

Kami mendapat informasi bahwa Anda tidak terlalu dilibatkan dalam penyusunan kabinet.

Pak Jokowi mengajak bicara ketika waktunya tiba.

Apa sumbangsih Anda dalam pembentukan kabinet?

Kapasitas saya membuat kriteria, menteri seperti apa yang akan kami pilih. Pertama, harus merepresentasikan partai dan profesional. Juga merepresentasikan kedaerahan supaya tidak ada yang merasa didiskriminasi. Proporsi gender juga menjadi perhatian. Kemudian juga tua dan muda, milenial harus turut terepresentasikan. Penting juga, kata Pak Joko Widodo, harus berani mengeksekusi. Tentu tidak boleh menimbulkan resistansi di masyarakat. Penolakan publik harus dihindari atau diminimalkan. Karena itu, saya tidak menenteng orang. Silakan orang dimasukkan dari partai, profesional, ormas, apa saja. Saya dan Pak Jokowi hanya memilih dan menetapkan yang sesuai dengan kriteria.

Sudah ada?

Belum. Kan, tidak mudah. Untuk partai ini ada berapa, kan, ada negosiasinya. Itu baru koalisi. Belum lagi oposisi.

Dari Partai Gerindra sudah masuk?
Negosiasinya sudah.

Betulkah mereka mendapat satu kursi?

Nantilah, pokoknya ada. Tunggu saja. Tapi kan tidak boleh tidak ada oposisi. Checks and balances harus tetap ada.

Oposisi menjadi lemah karena tinggal Partai Keadilan Sejahtera.

Yang penting kan ada oposisi, he-he-he....

Apakah Anda menempatkan orang Nahdlatul Ulama atau Partai Kebangkitan Bangsa di kabinet?

NU, PKB, masuk. Kan, ada jatahnya. Membagi porsi tak mudah. Semuanya meminta banyak, kan? Saya meminta PKB dan NU mengajukan orangnya, tapi harus memenuhi kriteria, lalu nanti kita lihat. Saya tidak membawa orang, tapi menetapkan.

Terkait dengan persiapan Anda masuk Istana, kami mendapat informasi bahwa anak Anda akan membantu di Kantor Wakil Presiden.

Saya tak akan melibatkan dan mengajak keluarga bergabung di Istana.

Tapi ada tim yang selama ini mendampingi Anda ikut ke Kantor Wakil Presiden?

Tentu saja, (ada) teman-teman. Tapi tentu tetap memperhatikan kompetensinya. Itu jadi ukuran.

Siapa yang akan Anda ajak bergabung di Kantor Wakil Presiden?

Saya akan menunjuk staf ahli, dan saya memang berwenang memilih. Soal pejabat struktural, seperti para deputi di Kantor Wakil Presiden, biarkan mekanisme open bidding yang berjalan. Pokoknya saya hanya akan mencari dan mengusulkan para pembantu yang sesuai dengan kewenangan wakil presiden.

Kami juga mendapat informasi bahwa sejumlah pejabat dan pebisnis mencoba mendekati Anda melalui jalur keluarga.

Itu biasa saja. Manuver atau usul seperti itu tak akan masuk ke saya. Pokoknya, saya tak akan menerima usul-usul semacam itu. Saya nanti hanya menjalankan tugas sebagai wakil presiden.

Setelah Anda menjadi wakil presiden terpilih, putra-putri ikut terjun ke politik. Anda mendukung mereka?

Silakan saja mereka berpolitik karena itu urusan mereka. Soal ada yang berniat mencalonkan diri menjadi wali kota, ya, kalau masyarakat di sana meminta dia maju, saya cuma bisa tut wuri handayani (dari belakang memberikan dukungan). Saya tak akan berkampanye atau memaksa masyarakat memilih dia.

***

Dengan latar belakang tokoh Islam, bagaimana memastikan Anda juga menjadi pemimpin bagi golongan minoritas?

Saya, bersama Pak Joko Widodo, berkomitmen sebagai presiden dan wakil presiden seluruh rakyat. Apa pun agamanya, etnisnya, sukunya, mereka bangsa Indonesia. Mereka adalah kita. Visi Indonesia ke depan itu untuk semua. Bukan hanya satu agama, satu golongan. Bukan hanya yang mendukung, tapi juga yang tak mendukung. Makanya saya bilang, Indonesia itu berkita-kita, bukan hanya satu kita. Dalam arti agama, berkita-kita agama, juga etnis, partai. Itu komitmennya.

Nyatanya, sebagai Ketua Umum MUI, Anda menyudutkan Ahmadiyah dan menyatakan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menista Islam.

Tak ada soal agama dalam kasus Ahok. Tak ada soal etnis, politik. Itu hanya soal penegakan hukum, tak berhubungan dengan dia Kristen atau Cina. Tidak ada. Kalau soal Ahmadiyah, ajaran mereka dianggap menyimpang. Karena itu, perlu diluruskan, bukan dimusuhi. Dibetulkan saja supaya tak menyimpang dari ajaran yang benar. Agama itu kan harus dijaga kemurniannya, agama apa saja. Jangan dinodai. Perlu ada pelurusan, bukan menghukum, mengajak kembali ke jalan yang benar. Yang mengeksekusi ini juga harus aparat. Organisasi kemasyarakatan tidak boleh. MUI tidak mau ada ormas melakukan eksekusi. Bukan kewenangannya. MUI itu batasnya cuma membuat fatwa.

Dari segi penampilan, apakah Anda akan mengubah gaya berbusana?

Saya akan melihat keperluan dan tema acaranya. Jika wajib memakai celana panjang, saya akan patuh. Namun, kalau di lain kesempatan diperbolehkan, ya, saya akan memakai sarung. Fleksibel saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus