Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sd berguru tunggal

Djemikun kuntoro, kepala sdn tanggir ii bojonegoro, jatim, merangkap sebagai guru. dua orang guru lainnya pindah. paridin,centeng sd, ditugasi mengawasi thb dan sekali-kali jadi komandan upacara.

26 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAHLAWAN tanpa tanda jasa itu julukan guru. Djemikun Kuntoro, 53 tahun, boleh menjadi contoh. Ayah empat anak itu mengelola sendirian SD Negeri Tanggir II, Bojonegoro, Jawa Timur. Sebagai kepala sekolah, sudah enam bulan Djemikun merangkap guru, pembantu, dan berbagai tugas lain. Belum lama ini, bahkan ia menerima perintah dari kabupaten untuk menjual karcis film Soerabaja 45. SD ini diberi jatah 28 lembar @ Rp 400. "Tak semua mampu bayar," katanya. Untuk sisanya, Rp 7.000, Djemikun menombok dari sakunya. Iuran BP-3 tiap bulan juga payah. Meski tiap anak kena Rp 200, karena anak petani miskin, mereka tak sanggup membayar penuh. Dan ihwal kekurangan guru itu, menurut Djemikun, sudah sering diajukan ke atasannya. Tapi tanggapan belum ada. Ketimpangan terjadi akibat guru yang tadi di desa kian banyak minta pindah ke kota kecamatan dan kota kabupaten. Di kabupaten ini ada 822 SD dengan 5.248 guru. Aneh, pada zaman banyak lulusan SPG yang belum mendapat kerja, ada SD punya guru semata wayang. Makanya, Bupati Bojonegoro Imam Soepardi sewot mendengar ada guru tunggal itu. "Saya sudah memerintahkan Kepala Dinas P dan K mengatasinya," kata Imam. Sekolah di tepi Bengawan Solo ini berdiri sejak 1982. Waktu dibuka, cuma mendapat jatah tiga guru. Djemikun yang rambutnya sudah memutih ini waktu itu merangkap juga sebagai guru kelas I dan II. Achmad Hasyim mengajar kelas III, IV, dan V. Ketiga, Muchsin, di kelas VI. Sudah jumlah guru kurang, eh, rontok satu-satu. Achmad minta pindah ke SDN Mlaten, Kecamatan Kalitidu, Mei 1990. Kemudian, Muchsin kecelakaan di jalan, Maret lalu. Kakinya diamputasi. Sampai kini ia belum bisa masuk. Tinggallah Djemikun mengasuh 54 anak sekalius. Caranya, murid kelas I, 18 anak, digabung di ruang guru. Kelas III dan IV disatukan -kelasnya hanya disekat tripleks. Kelas V dan VI masing-masing satu kelas. Sedang kelas II dimasukkan siang, selepas kelas I pulang. Djemikun mau tak mau harus meloncat-loncat. Masuk di kelas I dulu dan memberi soal. Pindah ke kelas II, IV, dan seterusnya. Pernah terjadi, saat ia mengajar di kelas V, segerombolan murid kelas I masuk. "Pak, sudah selesai," ujar murid itu sambil menggelayuti gurunya agar datang ke kelasnya. Maklum, mereka ingin cepat pulang. Sejauh kemampuannya, Djemikun berusaha agar muridnya pandai. Tapi dia risau dengan hasilnya. Sebab, daftar nilai ebta murni muridnya rata-rata 4. Lain lagi ketika memeriksa tes hasil belajar (THB). Ia memelototi sendiri 360 soal itu, kemudian membuat peringkat prestasinya. "Saya sampai puyeng," katanya kepada Zed Abidien dari TEMPO. Toh ia punya cara mengatasi keloyoan. Ketika berlangsung THB kelas II sampai VI, Senin pekan lalu, untuk mencegah murid menyontek, Djemikun memasang Paridin. Centeng SD ini juga mendapat tugas ekstra ketika Djemikun menghadiri rapat di kecamatan. Dan kalau ia repot, jika upacara pada hari Senin, komandannya sering diwakili oleh Paridin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus