Dulu, film Malaysia menjadi raja di sini. Sekarang, film Indonesia jadi tuan rumah di sana. Kini ada arus balik dengan mendatangkan film-film negara sahabat itu. PENGGEMAR film di Indonesia kini bisa lagi menikmati film-film Malaysia. Sejak Jumat pekan ini, misalnya, lima bioskop di Jakarta yang tergabung dalam kelompok 21 mulai memutar film Hati Bukan Kristal (HBK). Film ini adalah pemenang Piala Panca Delima (setara dengan Piala Citra di Indonesia) sebagai film terbaik dalam Festival Film Malaysia 1991. HBK yang diarahkan sutradara terbaik Raja Ahmad Alauddin ini mengawali masuknya film negeri jiran itu ke sini. Film yang dibintangi aktor dan aktris terbaik Ridzan Hasyim dan Erma Fatima ini dipasok oleh Asosiasi Importir Film Asia non-Mandarin, bekerja sama dengan PT Cinta Nusa Bhakti Film. Peredarannya tentu terjamin, mengingat Cinta Nusa Bhakti Film adalah perusahaan baru yang komisaris utamanya adalah Sudwikatmono dan dirut-nya Jimmy Harianto, manajer kelompok 21. Untuk keperluan promosi, pekan lalu serombongan orang film Malaysia, dipimpin oleh Ketua Dewan Film Nasional (FINAS) Malaysia Tan Sri Datuk Samad Idris, berkunjung ke Jakarta. Jadi, mungkinkah film Malaysia akan kembali menembus pasar di sini? H. Ilham Bintang, salah seorang direktur Cinta Nusa Bhakti, akan melihat dulu minat penonton. "Kalau nanti sambutan penonton baik, kami akan mendatangkan film yang lain," kata Ilham. Ada satu film lagi, Fenomena, yang akan diputar Januari tahun depan. Film yang dibikin setelah meledaknya lagu Isabella dan menjadi box office di Malaysia itu didatangkan oleh PT Melur Film, yang juga bekerja sama dengan Asosiasi Importir Film Asia non-Mandarin. "Dalam tiga bulan film ini menghasilkan 1,8 juta ringgit di Malaysia, padahal ongkos produksinya hanya 400 ribu ringgit," kata H. Galeb Hussein, Direktur PT Melur Film. Galeb juga mau memantau sambutan penonton. Aktor yang menyutradarai film Nusa Penida ini merancang pemutaran film Fenomena Januari mendatang di Medan dan beberapa kota di Sumatera yang sangat dekat sentuhannya dengan bahasa dan budaya Melayu. Seperti halnya Ilham Bintang, Galeb Hussein pun menganggap usaha ini "bisnis tapi merupakan proyek idealistis". Idealismenya itu adalah upaya memperkenalkan kembali film Malaysia di Indonesia untuk mengimbangi film Barat. Sebab, seperti kata Galeb Hussein, "Bahasa kita serumpun dan secara kultural kita tak jauh berbeda dengan mereka. Jadi, logis saja kalau kita mengimpor film Malaysia." Perhatian terhadap film Malaysia tak muncul mendadak begitu saja. Belakangan ini, setiap kali ada Festival Film Indonesia selalu dibarengi pemutaran beberapa film Malaysia. Apalagi selama ini kalangan perfilman Malaysia selalu mempersoalkan begitu tipisnya minat importir film di Indonesia memasok film mereka. Padahal, selama lebih dari 20 tahun terakhir, film Indonesia merajai bioskop di beberapa kota di Malaysia. Sehingga, seperti kata sutradara Indonesia, Slamet Rahardjo, "Film Indonesia menjadi tuan rumah di Malaysia." Hal itu juga diakui oleh pengkaji sejarah film dan kritikus Malaysia, Baharuddin Latif. Dalam artikelnya berjudul "Kebangkitan Semula" di buku Cintai Filem Malaysia yang terbit dua tahun lalu, Baharuddin menulis bahwa masuknya film Indonesia sejak akhir tahun 1960-an menyebabkan jatuhnya popularitas film Malaysia. Dengan tandas ia menyatakan bahwa bila film Indonesia berhasil menawan minat penonton, hal itu merupakan lonceng kematian bagi film Melayu. Pada tahun 1970-an film Indonesia jadi favorit di Malaysia. "Secara tiba-tiba sahaja, penonton filem Melayu meminati dan menyebutkan nama seperti Widyawati, Ratno Timoer, Lenny Marlina, dan Sophan Sophiaan di tempat-tempat perjumpaan makan malam, perhimpunan di masjid dan majelis-majelis perkawinan," tulis Baharuddin. Dan kini menurut Setia Usaha Parlimen Kementerian Penerangan Malaysia, Datuk Fauzi Abdurrahman, lebih dari seratus judul film Indonesia diputar di Malaysia dalam setahun. Tapi film Malaysia bukannya tak pernah berjaya di sini. Persisnya pada tahun 1950-an. Ketika itu beberapa film seperti Juwita, Darna, Anakku Syazali, Penarik Beca, sangat laris. Nama para bintang film Malaysia seperti P. Ramlee atau Kasmabooty sempat menjadi buah bibir. Rambut P. Ramlee yang tebal keriting disisir licin itu menjadi mode para remaja kala itu. Pamor film Malaysia itu mulai surut sejak tahun 1960-an. Sebabnya, menurut kritikus film Salim Said, karena ada pembatasan kuota masuknya film asing di Indonesia. "Dan ketika itu industri film kita sudah mulai maju, sementara film Malaysia dianggap kurang bagus," kata Salim, yang juga ketua Hubungan Luar Negeri Dewan Film Nasional ini. Menurut sutradara Teguh Karya, tema cerita film Malaysia rata-rata klise. "Tapi teknik pencahayaan dan kerja kamera cukup baik," katanya. Kamera para sineas Malaysia memang lebih canggih, fotografi mereka lebih baik. Namun, hari depan para sineas Malaysia itu tampaknya bagus. Mereka mau belajar, misalnya, dengan mengundang Arifin C. Noer dan Teguh Karya mengajar di sana. Otorita FINAS juga sangat kuat. Lembaga ini mewajibkan pemutaran film Malaysia di bioskop setempat selama tujuh hari. Bioskop yang tidak taat ditutup -satu hal yang tak bisa dilakukan oleh, misalnya, Dewan Film Nasional atau Perfin, di sini. Jangan-jangan sejarah berbalik lagi: film Malaysia berjaya dan film kita makin sengsara. Budiman S. Hartoyo dan Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini