Sektor informal bisa menjadi tulang punggung ekonomi negara berkembang. Sektor ini subur karena birokrasi kuat dan menonjolnya kelompok elite ekonomi. MASIH ADA JALAN LAIN: REVOLUSI TERSEMBUNYI DI NEGARA DUNIA KETIGA. Penulis: Hernando de Soto Pengantar: Hasan Poerbo Penerjemah: Masri Maris Penerbit: Yayasan Obor Indonesia Jakarta 1991, (xxxvii + 341 halaman) "SEGALA-galanya berada dalam tangan pemerintah, dan mau tidak mau birokrasi memainkan peranan di mana-mana dalam masyarakat luas. Masyarakat luas dikendalikan oleh wewenang terpusat. Permainan politik, pengendalian terpusat, dan peranan-peranan birokrasi, semua ini dapat dikembalikan kepada suatu sisten hukum yang berpijak pada pertimbangan redistribusi." Keras dan perlu. Begitulah gaya Hernando de Soto ketika menjelaskan kehidupan ekonomi sektor informal di Peru. Masalahnya, masyarakat di sana menghadapi dilema kehidupan bernegara yang sangat tak enak, yakni tetap dengan pola lama dan perlahan-lahan menuju saat hancurnya perekonomian atau melakukan perombakan total lewat revolusi. Keduanya tentu makan biaya yang tak sedikit. Pada saat itulah, de Soto bersama lembaga penelitian swadaya masyarakatnya, Instituto Libertady Democracia (ILD), menerbitkan buku hasil penelitian mereka dengan judul yang pas: El Otro Sendero -Masih Ada Jalan Lain. Buku ini sekarang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, oleh Masri Maris, staf ahli Bappenas. Agak terlambat, karena buku aslinya, yang terbit pada 1986, sudah diterjemahkan ke bahasa Portugis, Inggris, Jerman, dan Prancis. Tak kurang dari 800 artikel telah ditulis untuk membahasnya, baik di negara-negara berkembang maupun yang sudah berkembang. Karena itu, dapatlah dikatakan bahwa Masih Ada Jalan Lain (MAJL) bukanlah kebutuhan masyarakat sektor informal Peru saja. MAJL secara tegas menyatakan bahwa sektor informal dalam perekonomian Peru tumbuh dan berkembang karena sistem hukum tak mendukung pelaku kegiatan ekonomi dari kalangan rakyat kebanyakan. Sistem tersebut dibentuk untuk mengatur redistribusi kekayaan oleh para pejabat kepada pengusaha-pengusaha dari kalangan elite. De Soto dan kawan-kawan menyamakan kondisi perekonomian nasional Peru saat itu dengan merkantilisme, karena mirip dengan perekonomian Eropa Barat pra-revolusi industri. Kaitan merkantilisme, perangkat hukum yang mendukungnya, dan perkembangan ekonomi yang buruk ini diperlihatkan dengan jelas, tanpa menyalahkan orang per orang. Dengan merkantilisme, negara dikendalikan oleh birokrasi yang sibuk membagi hak-hak monopoli atau kedudukan khusus di antara segolongan kecil warga negara Peru yang disebut kelas elite. Birokrasi ini sedemikian rumit, didukung oleh sedikitnya 24.000 peraturan resmi, dan telah menyebabkan biaya untuk masuk ke sektor perekonomian yang formal menjadi sangat mahal. Tetapi rakyat kebanyakan tak lantas menghentikan kegiatan ekonominya. Mereka beralih ke sektor informal. Dalam sektor ini, mereka mengembangkan berbagai kegiatan ekonomi yang menurut ILD justru dilandasi oleh prinsip-prinsip perekonomian pasar. Sayangnya, kegiatan ekonomi di sektor informal yang sangat kreatif dan merupakan jawaban jitu terhadap kondisi ekonomi mayoritas orang Peru itu tetap punya kelemahan. Dari segi pelakunya, kegiatan di sektor informal menyebabkan mereka sulit berkembang ke arah usaha yang lebih besar. Sedangkan dari segi negara, sumber pemasukan dari kegiatan ekonomi ini amatlah kecil, karena tak terjangkau oleh perangkat hukum yang resmi. Akibatnya, perekonomian nasional Peru tidak mendapatkan nilai tambah. Itulah sebabnya, de Soto menyimpulkan perlunya perubahan, yakni menuju kehidupan ekonomi yang lebih baik. Pertama, kesempatan ekonomi harus dibuka lebar bagi umum. Kedua, pranata-pranata sosial yang mengontrol penggunaan kekuasaan oleh pemerintah tidak bersifat monopoli. Ketiga, harus ada desentralisasi dan deregulasi kekuasaan pemerintah lewat pranata sosial yang sesuai. Keempat, masyarakat harus dididik untuk mendukung perubahan. Dalam perhitungannya, perubahan semacam itu jauh lebih murah ketimbang program pemerintah yang diarahkan untuk mengubah masyarakat lewat aturan-aturan penguasa. Sudah sepantasnya kita bertanya apakah "jalan lain" ini juga jitu bagi masyarakat negara "berkembang" pada umumnya. Profesor Hasan Purbo, yang menulis kata pengantar Masih Ada Jalan Lain edisi bahasa Indonesia, berpendapat bahwa bentuk lembaga-lembaga kita banyak berbeda. Namun, ada pandangan positif bahwa sektor ini menjadi "katup penyelamat" dalam hal menciptakan lapangan kerja. Sektor informal juga sering "diusik" karena dianggap mengganggu keindahan dan ketertiban kota. Jadi, apa yang bisa didapatkan dari MAJL? Kita sudah melihat, buku ini mengandung informasi yang rinci dan menyeluruh mengenai karakteristik kegiatan sektor informal serta proses sosial-ekonomi yang berlangsung di dalamnya. Tapi sebetulnya hal itu berkaitan erat dengan kehidupan bernegara pada umumnya. Dengan lain perkataan, de Soto memperlihatkan bahwa sektor informal betul-betul merupakan unsur perekonomian negara berkembang, kalau tidak mau dikatakan landasan sehingga usaha untuk memperbaikinya haruslah ditunjang dengan political will untuk mengubah keseluruhan tatanan perekonomian nasional. Haswinar Arifin dan Idham Bachtiar* *Pengajar Jurusan Antropologi FISIP UI dan peneliti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini