Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Klangenan

Setiap orang memerlukan klangenan sesuatu yang menjadi kesenangan dan mempunyai nilai prestise. gosip politik sebagai bukti kebebasan mimbar di- dianggap klangenan oleh kaum elite politik.

26 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Klangenan MOHAMAD SOBARY KETIKA menghadap Pak Lurah di sebuah desa pinggiran Jakarta untuk minta izin penelitian, saya disuruh menunggu selama beliau mandi. Saya amati keadaan sekitar. Model rumah beliau nampak mutakhir. Temboknya putih bersih. Pilar-pilar gaya Spanyolnya memberi kesan mewah. Halaman sampingnya yang luas ditata menjadi sebuah taman yang asri. Rumput manila, kembang-kembang, dan gayung besar menghiasi taman itu. Di bawah payung ada kursi malas dari rotan. Seekor bekisar jantan dalam kandang besi ditaruh di sudut kiri taman. Beo yang sudah pandai ngoceh terkantuk-katuk dalam sangkarnya, dekat si bekisar. Pak Lurah merasa terhibur duduk di kursi malas melihat bekisar yang megah dengan kokoknya yang menyentak. Saya tidak tahu sebagai apa lurah kita ini mendefinisikan diri. Saya hanya merasa tiba-tiba berhadapan dengan priayi kecil, lengkap dengan segala atribut kepriayiannya. Kursi malas itu ibarat dampar kamukten beliau. Bekisar dan beo merupakan klangenan sesuatu yang selalu ada dalam hidup para priagung zaman dulu. Di Bantul, Embah Jiwo punya klangenan seperangkat gamelan. Kalau ia menginginkan hiburan, dipanggilnya para penabuh gamelan di kampungnya. Kemudian ia leyeh-leyeh di kursi bambu wulung. Sebagai tanda akan betapa besar kekuasannya, raja-raja Jawa zaman dulu, seperti diceritakan oleh Benedict R.O'G Anderson dalam The Idea of Power in Javanese Culture, mengumpulkan aneka binatang dan orang cebol sebagai kelengkapan klangenan, sekaligus unsur pendukung kekuasaannya. Dampar kencana (takhta dari emas), berbagai jenis senjata, mahkota, dan juga wanita, termasuk "pusaka" keraton yang melambangkan kamukten sang raja. Semua ini memperteguh konsep keraton sebagai pusat. Dari situlah kekuasaan terpancar. Untuk memperoleh tambahan kesaktian, latihan-latihan batin yang berat selalu ditempuh. Berpuasa, mengurangi tidur, membatasi hubungan seks, merupakan bagian dari latihan batin tadi. Raja-raja yang lemah "imannya" (dunia batinnya tidak canggih) lebih terpikat pada klangenan lahiriah. Dalam dunia wayang, Duryudono sering menjadi contoh semacam itu. Ia digambarkan selalu gagal dalam semadinya. Asap kemenyan yang dibakar muleng (berputar di depan mukanya), tanda bahwa dewa-dewa tak berkenan atas doanya. Dengan kesal tempat pembakaran kemenyan disepak, lalu buru-buru baginda masuk kamar "semadi" yang lain, di keputren. Di sana baginda tak lagi peduli Kurawa kalah dalam Bharathayudha kelak. "Masa bodoh, kalah disonggo wong akeh (ditanggung bersama)," sabda baginda, yang merasa sudah semeleh di pangkuan Dewi Banowati, klangenan utama keraton. Tiap orang memerlukan klangenan. Bahkan sistem politik pun juga memerlukannya untuk, antara lain, melambangkan adanya demokrasi. Dengan kata lain, demokrasi bisa dibikin menjadi ada karena ada simbol-simbolnya. Pernah saya bicara tentang gosip politik sebagai perwujudan dari resistensi kultural kalangan bawah dengan Hikam, sobat saya dari LIPI itu. Ignas Kleden menyebut gosip politik sebagai bentuk demonstrasi tanpa jalanan: sebuah indikasi adanya protes akibat mampetnya jalan dialog yang wajar. "Tapi bagaimana kalau gosip itu ternyata justru dibuat oleh kalangan atas?" tanya Hikam. Saya tersentak. Iya, kalau itu benar, pihak bawah yang selama itu merasa melakukan resistensi terjebak strategi lawan yang canggih. Mereka "terserap" ke dalam diri lawan dan justru memperkuat posisi mereka. Kalau itu tidak benar, artinya gosip itu memang produksi massa yang bermaksud menyindir, persoalan lain menghadang: seberapa sih daya gebrak sebuah gosip? Para elite politik mungkin ayem saja mendengar diri mereka dipergosipkan. Kalau gosip itu dianggap protes, ia toh tidak berbahaya. Maka, dengan lihai mereka perlakukan protes itu bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai bukti adanya kebebasan mimbar. Jadi merupakan ubo rampe (kelengkapan) demokrasi. Dengan kata lain, para pembuat gosip telah menjadi klangenan buat kepentingan politik kaum elite, karena memang corak kritik macam itulah yang dikehendaki oleh budaya politik kita. Bagaimana kalau nasib serupa terjadi pada tokoh-tokoh intelektual kita? Kita telah telanjur menyebut kaum intelektual sebagai resi yang berumah di angin yang hidupnya sepi dari aneka pamrih. Berhadapan dengan kekuasaan, mereka tidak keder karena mereka, kata Rendra, merupakan penjaga suara roh. Dus, lambang keluhuran. Di Australia sejumlah intelektual kita disebut dengan rasa kagum. Apalagi yang masuk daftar cekal tapi tetap berani mengkritik, dan pemerintah tak menindak. Apa harus ditindak? Tidak. Tapi saya khawatir "tidak" di situ artinya "sudah". Maksudnya mereka boleh "berkokok" lewat seminar, pers, masjid, gereja, dan didengar cuma semata sebagai klangenan. Betapa pedih perasaan para intelektual kita. Tapi kalau mereka sadar bahwa tugas mereka hanya memberi alternatif dan membuka jalan dialog antara gagasan ideal dan realitas kekuasaan, mungkin tak perlu mereka berkecil hati. Dengan kata lain, kalau tiap intelektual berbagi kesadaran dengan Rendra, bahwa ia hanya memainkan peranan sebagai goro-goro di tengah malam, mereka akan bisa tetap tegar. Gairah untuk hidup "seribu tahun lagi", dengan demikian, tak cuma milik Chairil Anwar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus