Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Universitas Indonesia memperingati tesis oligarki Richard Robison dan Vedi Hadiz.
Oligarki bisa beradaptasi dengan kekuasaan setelah Reformasi 1998.
Publik Indonesia teperdaya oleh tesis “orang baik” Jokowi yang seolah-olah menghilangkan para oligark.
PADA 12 Februari 2025, Asia Research Centre Universitas Indonesia menggelar seminar untuk memperingati 20 tahun tesis oligarki Richard Robison dan Vedi Hadiz. Pemikiran Robison, profesor politik di Murdoch University, Australia, memiliki tempat tersendiri di kalangan aktivis dan akademikus yang tumbuh di era Orde Baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada masa itu, karya Robison, The Rise of Capital yang terbit pada1986, dilarang oleh Kejaksaan Agung melalui surat keputusan nomor KEP-047/J.A/5/1987. Dengan pelarangan tersebut, jangankan membaca, orang yang memegang versi fotokopi murahan buku itu, yang beredar secara gelap di kamar-kamar kos sekitar kampus UI di Depok, Jawa Barat, sudah merasa gagah dan subversif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Delapan belas tahun setelah buku itu terbit, bersama Hadiz yang kini Direktur Asia Institute, University of Melbourne, Australia, Robison menerbitkan lagi sebuah karya berjudul Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets (Routlege, 2004).
Sementara dalam The Rise of Capital Robison memetakan faksi-faksi modal di era kekuasaan Orde Baru, di buku keduanya ia mengemukakan tesis bahwa setelah Reformasi 1998 yang terjadi bukanlah transformasi demokratis sebagaimana dibayangkan para transisionis semacam Samuel Huntington dan para teoretikus institusionalis, melainkan reorganisasi kekuasaan oligarki di Indonesia. Mereka berpendapat bahwa elite-elite yang berkuasa di era Orde Baru berhasil beradaptasi dan mempertahankan dominasi mereka dalam sistem politik yang baru.
Dalam artikel lain yang diterbitkan pada 2013, Robison dan Hadiz mendefinisikan oligarki sebagai “a system of power relations that enables the concentration of wealth and authority and its collective defense”. Tesis utama ekonomi-politik kiri memandang politik sebagai bangunan yang terpisah tapi ditentukan oleh ekonomi. Tesis oligarki memperluas tesis ekonomi-politik kiri itu dengan menyatakan bahwa di dalam oligarki yang terjadi bukan sekadar hubungan determinasi, melainkan difusi antara ekonomi dan politik.
Dalam istilah filsafat, difusi boleh dibilang sebagai penyatuan karena terjadinya invasi oikos terhadap polis. Bisnis dan ekonomi tak hanya mengubah, tapi juga bahkan menghilangkan watak kepublikan dari politik.
Analisis Robison dan Hadiz menunjukkan bahwa transisi demokratis bukan sekadar persoalan perubahan institusional, melainkan juga terkait erat dengan reorganisasi kekuasaan oligarki. Temuan ini memiliki implikasi penting bagi teori demokrasi, khususnya dalam konteks negara pasca-otoritarian.
Bagi mereka, Orde Baru bukanlah sistem yang mekanistik. Watak kekuasaan Orde Baru tidak hancur, malah berhasil melakukan reorganisasi dan adaptasi. Jaringan patronasenya tetap bertahan meski dalam bentuk yang terdesentralisasi. Dengan begitu, oligarki memberikan basis yang menghubungkan elite bisnis dan politik lama dengan aktor-aktor demokratis dalam membangun aliansi-aliansi baru.
Neo-institusionalisme memandang secara optimistis bahwa dalam penciptaan kelembagaan dan norma-norma politik demokrasi, seperti sistem kepartaian, komisi-komisi akan menjamin kualitas demokrasi. Dalam tesis Richard Robison dan Vedi Hadiz, institusionalisme berjalan terbalik. Bagi mereka, dalam sistem oligarki, institusi demokratis formal, seperti partai politik, sistem pemilu, dan desentralisasi, dimanfaatkan untuk kepentingan oligark.
Di sini instrumen dan lembaga-lembaga demokratis itu dipakai untuk melegitimasi kekuasaan. Teori oligarki secara tak langsung memberikan kritik terhadap transisi demokrasi sekaligus menunjukkan keterbatasan pendekatan prosedural dalam demokrasi. Perubahan institusional itu tidak serta-merta menghasilkan demokrasi yang substantif dan kokoh. Di seputar tahun 2004, politik aktivisme dan akademik di Indonesia masih banyak digerakkan oleh antusiasme yang ditawarkan oleh pendekatan neo-institusionalisme.
Barangkali itu sebabnya saat pertama kali teori tersebut diterbitkan saya mendapat kesan buku ini kurang terlalu mendapat perhatian di Indonesia. Perhatian yang lebih kuat terhadap tesis oligarki dipicu oleh terbitnya buku Jeffrey A. Winters yang berjudul Oligarchy pada 2011 serta terbitnya majalah Prisma pada 2014 yang memuat polemik “Demokrasi di Bawah Oligarki”.
Memasuki periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, konsep oligarki menjadi nomenklatur politik yang dipakai untuk mengartikulasikan semua hal buruk mengenai elite dan penguasa. Ia ditulis di tembok-tembok serta siaran pers organisasi mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat sebagai tuduhan dan tuntutan. Di sini oligarki dimaknai sebagai orang, jalinan orang, atau sistem. Acap kali oligarki dipahami sebagai underlying mechanism atau jalinan orang-orang kaya yang tersembunyi di belakang kekuasaan sambil mengatur perilaku penguasa formal.
Selama lebih dari sepuluh tahun, diskursus kekuasaan di Indonesia didominasi pendekatan “orang baik”. Analisis ini memandang seorang pemimpin dan kekuasaannya sebagai entitas yang bisa dipisahkan secara steril dengan lingkungan dan struktur serta relasi ekonomi-politik.
Gejala Joko Widodo, dalam segi tertentu, sebenarnya memperkuat teori oligarki sekaligus membuktikan bangkrutnya analisis para pengamat Indonesia yang melihat demokrasi dalam kacamata normatif, moralis, dan individual. Bukan orang baik atau orang jahat yang menentukan watak kekuasaan, melainkan jalinan struktur ekonomi-politik serta budaya elite kekuasaan.
Di akhir sesi seminar di Universitas Indonesia tersebut, pertanyaan klasik terhadap tesis oligarki pun muncul: apabila semua gejala kekuasaan itu ditentukan oleh sistem oligarki, bagaimana perubahan bisa mungkin terjadi di dalamnya? Jawaban atas pertanyaan ini sebenarnya bisa disediakan dari implikasi logis tesis oligarki itu sendiri.
Robison dan Hadiz menyatakan oligarki sebagai difusi ekonomi dan politik. Dengan begitu, ia memperluas konsekuensi praksis dari yang semula hanya kontradiksi kelas menjadi kontradiksi oligarki vis a vis yang popular. Artinya, gerakan sosial harus diarahkan untuk melawan sistem dan kebudayaan elite oligark dengan mengisi dan memperluas kekuatan yang popular itu. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo