Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
LAGU “Bengawan Solo” dan “Gendjer-gendjer” mengalun di salah satu ruangan di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta Pusat, Jumat, 11 Oktober 2024. Dua tembang Indonesia lawas itu mengisi album Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso yang diproduksi pada April 1965.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain dua lagu tersebut, ada enam tembang lama dalam album itu, seperti “Malam Bainai”, “Euis”, “Burung Kakatua”, “Gelang Sipatu Gelang”, “Soleram”, dan lagu ciptaan Presiden Sukarno, “Bersuka Ria”. Trek di album tersebut ditampilkan dalam pameran “Mari Berlenso” yang diselenggarakan Irama Nusantara di Museum Kebangkitan Nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pameran arsip musik yang berlangsung pada 28 September- 24 November 2024 itu dikurasi oleh Zikri Rahman. Ia adalah peneliti dan koordinator program di Pusat Sejarah Rakyat, Malaysia.
Keterlibatan Zikri dalam pameran ini bermula dari fellowship “Dekolonialisasi Seni Budaya di Asia Tenggara” dari Universiteit van Amsterdam yang berfokus pada arsip musik. Sejak Maret 2024, ia bolak-balik Malaysia-Indonesia selama tiga bulan untuk mengulik sejumlah arsip di Irama Nusantara, Perpustakaan Nasional, dan Arsip Nasional.
Yang menarik, Zikri memulai penelitian tentang arsip musik Indonesia dengan lagu-lagu di album Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso. Salah satunya “Gendjer-gendjer”. Dalam penelusuran literatur, ia menemukan lagu itu dikaitkan dengan peristiwa 1965. Ia lantas tertarik mendalami album itu.
Dalam pameran tersebut, pengunjung dapat menemukan sejumlah arsip yang sarat nuansa politik pada akhir 1950 hingga pertengahan 1960-an. Arsip-arsip itu ditata di rak-rak bercat merah. Di antaranya teks narasi yang menjelaskan gagasan dan kebijakan Presiden Sukarno untuk menampilkan jati diri Indonesia sebagai bangsa yang baru merdeka. Gagasan merdeka dari pengaruh budaya mana pun, khususnya dari Barat, bermula dari pidato Bung Karno pada 1959.
Kemerdekaan jati diri di bidang seni budaya mulai diupayakan dengan pengenalan musik dan tari lenso. Bung Karno mengangan-angankan lenso menjadi musik, lagu, dan tari pergaulan Nusantara yang mendunia dan bisa menyaingi twist, salsa, atau tari lain dari Barat.
“Pemimpin Besar Revolusi selalu menganjurkan agar kita berdiri di atas kaki sendiri. Tentu anjuran beliau mencakup musik kita pula,” kata Sjaiful Nawas dalam teks pengantar album Mari Bersuka Ria. Sjaiful juga menjelaskan bahwa rekaman musik Orkes Irama untuk album itu dipimpin Jack Lesmana yang menghadirkan penyanyi Titiek Puspa, Nien Lesmana, Rita Zahara, dan Bing Slamet.
Album tersebut dirilis dalam format vinil pada 14 April 1965. Album yang direkam untuk memperingati ulang tahun ke-10 Konferensi Asia-Afrika itu berisi delapan lagu kesukaan Bung Karno yang diambil dari lagu yang dikenal rakyat berbagai daerah di Tanah Air.
Dalam naskah lain dituliskan lenso bisa menjadi jembatan bagi hal yang berbau tradisional. Orkes Irama pun bisa bereksperimen menciptakan musik yang dianggap sebagai “suara Indonesia”. “Saia setudju. Setudju diedarkan,” demikian sebuah tulisan berwarna merah berupa dukungan dari Presiden Sukarno dalam catatan sampul album tersebut.
Dalam teks berjudul “Djadikan Tari Lenso Maluku Sebagai Tari Pergaulan Seluruh Bangsa”, disebutkan Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner yang diadakan pada 27 Agustus-2 September 1964 mendiskusikan kebutuhan suatu tari pergaulan massa. Di samping naskah itu, diletakkan buku Lekra, Lesbumi, Manifes Kebudayaan: Sejarah Sastra Indonesia Periode 1950-1965 dan Lekra Tak Membakar Buku.
Sebuah bilik kecil dengan pemutar lagu digital dan earphone memperdengarkan beberapa lagu berima lenso. Judul dan liriknya menggugah, juga nada dan iramanya. Ada lagu "Gotong Royong" dan "Tahu Tempe".
“Lagu-lagu ini menggambarkan upaya tadi, kemerdekaan yang sesungguhnya. Soal kebudayaan, pembangunan, ketahanan, dan keberagaman pangan asli Indonesia,” ujar Zikri Rahman kepada Tempo, Kamis, 24 Oktober 2024.
Di dekat bilik itu berdiri rak berisi sampul-sampul album musik lenso dan beberapa pemutar musik jadul. Di dalam bilik diputarkan pula video wawancara dengan putra bungsu Presiden Sukarno, Guruh Sukarno Putra, tentang musik dan tari lenso.
Guruh mengungkapkan, pada 1950-an, ketika datang ke Maluku, Bung Karno disambut tarian masyarakat setempat. Hadirin pun diminta menari bersama. “Bapak pulang dan bawa oleh-oleh itu dari Maluku untuk Indonesia. Jadi tari pergaulan itu disebut tari lenso. Gerakan tariannya bebas,” ucapnya.
Tiap Sabtu, Guruh yang beranjak remaja kala itu menyaksikan Bung Karno sering mengundang seniman dan penyanyi, seperti Titiek Puspa, Jack Lesmana, dan Bing Slamet, untuk tampil. “Jadi mereka menyanyi-nyanyi sambil berlenso. Kadang ada tamu resmi, kepala negara, dan teman-teman. Jadi waktu itu Bapak mensosialisasi lenso,” tuturnya.
Lalu ada arsip sejumlah musikus dan penyanyi yang tergabung dalam grup The Lensoist yang terdokumentasi dalam foto sedang bertandang ke luar negeri. Tugas mereka adalah ikut dalam diplomasi budaya Indonesia sebagai negara yang baru merdeka, termasuk mempopulerkan musik lenso. Dalam grup ini ada Bing Slamet, Titiek Puspa, Jack Lesmana, Idris Sardi, Lodewijk Item, Buby Chen, Benny Mustafa, Darmono, dan Munif Bahasuan.
Sejumlah arsip dari Irama Nusantara tersebut cukup menggambarkan riwayat lenso serta latar belakang peristiwa dan situasi politik saat itu, dari setelah kemerdekaan, Perang Dingin, Konferensi Asia-Afrika, konfrontasi dengan Malaysia, hingga peristiwa 1965.
Zikri mengatakan gagasan kebijakan itu melampaui propaganda seorang pemimpin negara, hanya tak sempat terdistribusi. “Sayangnya belum sempat diseminasi keburu Sukarno dilengserkan. Peristiwa 1965 terjadi,” katanya.
Dalam arsip Irama Nusantara dan penelitiannya, Zikri menemukan sejumlah hal penting. Musik lenso mempunyai banyak lapisan informasi yang perlu dieksplorasi lebih jauh, seperti dari segi historis, sosial, musik, dan budaya.
Dari musik lenso, Zikri menambahkan, bisa dibuat arsip tentang tradisi lisan lenso. Hal ini ditemukan dari cerita Guruh yang menyaksikan situasi dan pelaku musik lenso. Juga cerita grup paduan suara Dialita dan pakar-peneliti tari lenso. Tari lenso adalah tari tradisional Maluku, tapi juga ada tari lenso gaya baru di era Sukarno.
Pengunjung pameran mendengarkan jenis musik lenso yang dipamerkan dalam pameran Mari Ber-lenso di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, 24 Oktober 2024. Tempo/Ilham Balindra
Menurut Zikri, bukan hanya tradisi lisan, tubuh juga bisa menjadi arsip. Para ibu dari grup paduan suara Dialita kemudian menarikan dua gaya lenso sambil menyanyi. Mereka tampil dalam pembukaan dan diskusi acara ini.
“Ada pakar tari lenso asli Ambon menceritakan tari asli lenso Ambon, saya minta dipraktikkan. Ternyata ada perbedaan dengan yang ditarikan di era Bung Karno,” ujar Sri Nasti Rukmawati, salah satu anggota Dialita. Dia bercerita tentang salah satu sahabat anggota Dialita bernama Betty yang menjadi penari lenso di era Bung Karno. Ketika Dialita bernyanyi, dia mencontohkan tarian itu.
Zikri menemukan sejumlah tantangan dalam penelitian Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso. Dari segi musik, irama dalam album itu belum jelas dan belum ditemukan musik yang disebut lenso serta apa perbedaannya dengan musik yang sezaman. “Musiknya seperti musik Hawaiian.”
Dari segi produksi, album itu diciptakan pada periode yang menarik melihat situasi politik yang dilalui. Para musikus, pencipta lagu, dan penyanyinya pun bukan sembarang seniman. “Ini seperti benih awal yang disemai,” tutur Zikri.
Selain itu, ditemukan lagu “Gendjer-gendjer” dalam rekaman vinil album Mari Bersuka Ria pada 1965. Namun ada pula sampul lagu yang sama dalam musik orkestra dan angklung. “Tapi rekaman audionya tidak ditemukan,” kata Zikri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Lenso, Bung Karno, dan Jati Diri Seni Budaya"