KERETA KENCANA | td bgcolor=#EEEEEE valign=top>Sutradara: | Rendra |
Pemain | : | Rendra dan Ken Zuraida |
Produksi | : | Bengkel Teater Rendra |
Tempat | : | Gedung Kesenian Jakarta |
PERSEMBAHAN apakah yang paling layak diberikan oleh seorang aktor dan sutradara? Rendra mempersembahkan pertunjukan yang bagus untuk menghormati Umar Kayam, tokoh yang berjasa menemukan bakat keaktoran dan penyutradaraannya. Repertoar yang dipilihnya adalah Kereta Kencana, lakon yang ditulis Rendra pada 1962 sebagai saduran bebas atas Les Chaises karya Eugene Ionesco. Pada 1997, lakon itu dipentaskan di Jakarta dan Kuala Lumpur, dan pada 1999 ini pun telah dimainkan di Surabaya dan Solo.
Sebagai persembahan, Rendra menyadari, pementasan yang dilangsungkan di Gedung Kesenian Jakarta pada 20-24 Oktober 1999 itu bukanlah sebuah himne atau elegi. Kereta Kencana dimaknainya sebagai lagu kecil, sebuah perumpamaan, selingan doa sehari-hari, atau sebuah renungan ala kadarnya dalam menghadapi laju sang Waktu yang melanda peradaban bangsa kita yang terpuruk di akhir abad ke-20 ini.
Ia berkisah tentang senja kala kehidupan dua orang gaek, kakek 700 tahun dan nenek 697 tahun, sebagai sepasang burung dara yang berbahagia sekaligus merana. Keduanya menyadari bahwa kematian segera menjelang. Sebuah kereta kencana yang ditarik sepuluh kuda satu warna akan menjemput pasangan itu. Ya, bila bulan telah luput dari pandangan mata, angin musim gugur menampari pepohonan, dan dedaunan rebah berpusingan. Dan mereka pun menunggu. Si Kakek merana lantaran merasa hidupnya belum cukup bermakna. Si Nenek menghiburnya dengan cara mengenang puncak masa silam yang gemilang.
Tatkala si Kakek dicekam kesepian lantaran sadar tak punya keturunan, si Nenek lantas berilusi mempunyai seorang anak manis dalam gendongan, yang mendorong keduanya serta-merta berlagak sebagai sepasang orang tua sedang menimang anaknya. Ilusi itu pun terus berkembang. Pintu diketuk orang. Dan ketika pintu dibuka, ternyata mereka kedatangan Presiden Prancis. Di depan tamu agung itu, si Kakek memaparkan kejayaannya sebagai profesor di sebuah universitas ternama. Lantas, menyusul tamu-tamu lain: jenderal, model, dan juga ratu, perdana menteri, dan para pemimpin pemerintahan berbagai negeri. (Pada bagian ini, Rendra menyelipkan humor yang segar. Dikatakannya bahwa Presiden Indonesia juga datang, bukan sekadar bertandang, melainkan untuk mencari tambahan utang.) Mereka semua minta dianggap sebagai anak. Maka, orang tua itu pun terharu—ia menangis—bahwa pada usianya yang ke-700 akhirnya ia diperkenankan punya anak hebat sebanyak itu.
Keharuan itu pupus saat kembali terdengar ketukan pada pintu. Ketika pintu dibuka, memancarlah secercah cahaya gilang-gemilang—Duta Mahakaisar! Tamu itu meminta tuan rumah mengajukan permohonan terakhir. Saat itu, langit mendung dan bulan luput dari pandangan mata. Sepasang manusia renta itu pun mengenang keindahan masa remaja untuk terakhir kalinya. Si Kakek membaca sajak Hueska karya John Conford, dan dibalas si Nenek dengan sajak Nicolas Guillen, Dongeng bagi Kanak-Kanak Antillas. Kemudian: suara derap kaki kuda dan derit kereta. Sepasang orang tua itu roboh berpelukan, tidur abadi, tepat ketika lonceng berdentang 12 kali.
Melalui pementasan itu, banyak penonton berpendapat bahwa Rendra sekali lagi menegaskan posisinya sebagai seorang empu teater modern Indonesia. Pertunjukan berdurasi 90 menit itu tak hanya meng-garisbawahi kepiawaiannya sebagai sutradara. Sebagai aktor, ia tetap tampil penuh pukau. Pola retardasi yang ia terap-kan untuk menghidupkan tokoh Henri (kakek 700 tahun) terasa mengena, mengingatkan kita pada kecenderungan umum orang lanjut usia yang kekanak-kanakan. Ketuaan dan sikap kekanakannya hadir penuh kewajaran. Proyeksi gerak dan suara dinyatakan dalam takaran yang proporsional. Penghayatan gagasan yang kemudian diwujudkan melalui tindakan yang plastis dan variatif menyebabkan seluruh adegan serasa berjiwa. Ketika dengan gerak-gerik kecil yang lentur Rendra menggambarkan pagi hari, serta-merta imajinasi kita bagai dituntun menikmati embusan angin segar; bunga-bunga dan kupu-kupu berkejaran dan bercinta.
Sebagai pemeran Nenek, Ken Zuraida berhasil memberikan imbangan dalam menjaga intensitas permainan. Bahkan, dalam beberapa adegan, ketika keduanya mesti bernyanyi, Ida terkesan lebih fasih dibandingkan dengan Rendra. Jikapun ada yang patut disayangkan, itu hanyalah suaranya yang tak sepenuhnya konsisten, terkadang lepas dari citra ketuaan.
Harmoni pertunjukan itu terwujud antara lain juga karena dukungan tata artistiknya: tata panggung, rias, dan kostum rancangan Ken Zuraida, musik ciptaan Dewo, tata suara Kazuo Pontoh, dan tata cahaya Jose Rizal Manua. Secara keseluruhan, sajian Bengkel Teater kali ini lebih sempurna dibandingkan dengan pertunjukan repertoar yang sama di Taman Ismail Marzuki dua tahun silam.
Sitok Srengenge
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini