Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sebelum Perang Dimulai…

Persiapan serangan Amerika Serikat memanaskan Kabul. Kota-kota di perbatasan sudah penuh sesak dengan pengungsi. AS merasa sudah mendapat dukungan dari berbagai negara, meski dengan "barter". Ikuti laporan TEMPO dari perbatasan Pakistan-Afghanistan.

30 September 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI sebuah pagi, udara Peshawar mendadak penuh sesak oleh bunyi deru pesawat. "Sudah dimulaikah perang ini?" tanya seorang reporter. Reporter TEMPO Ahmad Taufik bersama beberapa rekannya keluar dari tempat penginapan dan memandang udara yang diisi oleh pesawat loreng-loreng. "Mungkin itu pesawat tempur Pakistan yang tengah latihan," kata seorang pegawai penginapan itu. Peshawar memang sudah gerah. Apalagi, seperti yang dilaporkan wartawan TEMPO di Peshawar, Taliban menembak jatuh sebuah pesawat tempur di Afghanistan Utara. Pentagon, AS, tak bersedia memberikan komentar tentang peristiwa itu, sementara banyak spekulasi beredar apakah pesawat pengintai itu milik AS atau helikopter milik Aliansi Utara, kelompok oposisi yang menentang pemerintahan Taliban. Jumat pekan silam, selepas salat Jumat, udara Peshawar penuh sesak oleh gelora perlawanan. Seruan itu menggema di Sukarno Chowk, yang berisi ajakan melawan Amerika Serikat. Silang empat di kota tua Peshawar—kota Pakistan yang berjarak 54 kilometer dari perbatasan Afghanistan—ini memang diberi nama berdasarkan nama proklamator Indonesia. Jumat pekan silam, kawasan itu padat oleh 10 ribu orang yang menyerukan per-lawanan. "Mereka orang Afghanistan," kata Razak, polisi Sektor Asnagri yang berjaga di lokasi unjuk rasa, kepada TEMPO. Tentu saja bukan hanya pengungsi asal Afghanistan yang turun ke jalan. Ribuan warga Pakistan ikut dalam kerumunan itu. Kata-kata mereka tak kalah galak. "'Coba kalau Amerika berani datang ke sini, pasti akan kami bunuh," kata Arifullah, warga Peshawar. Sentimen semacam ini tak hanya bergulir di Peshawar. Kota lain di Pakistan seperti Islamabad, Rawalpindi, Karachi, dan Lahore juga ramai oleh unjuk rasa besar-besaran. Sementara di Peshawar demonstrasi berjalan damai, tidak demikian halnya di kota lain. Tiga orang warga sipil tewas setelah bentrok dengan aparat keamanan di Karachi. Ketegangan memang tengah menjelujur di Pakistan. Sejak AS mengumumkan rencana perburuan terhadap Osama bin Ladin, yang dianggap sebagai tersangka utama tragedi World Trade Center, kawasan Afghanistan dan Pakistan segera menjadi gerah. Rencana gempuran AS ini adalah balasan atas aksi teror brutal yang diperkirakan menewaskan 6.500 orang pada 11 September lalu itu. Ini adalah angka keseluruhan dari korban dua pesawat Boeing yang menabrakkan diri dan meruntuhkan menara kembar World Trade Center, satu pesawat Boeing yang menggebrak sayap barat gedung Pentagon, dan satu pesawat Boeing yang jatuh di Pennsylvania. Tak disangkal lagi, inilah tragedi terbesar bagi AS sejak Pearl Harbor digedor Jepang 60 tahun silam (baca TEMPO Edisi 17-23 September 2001). Maka, pernyataan perang yang dicanangkan Presiden AS George W. Bush di depan Kongres pada Kamis pekan lalu sungguh tidak tanggung-tanggung. Taliban yang berkuasa di Afghanistan diminta menyerahkan Osama bin Ladin. Bila tidak bersedia, mereka harus siap menanggung nasib yang sama dengan sang buruan. Selain itu, ancaman juga ditujukan kepada negara atau kelompok yang dianggap membantu gerakan Osama. Pemerintah Pakistan, yang selama ini menjadi pendukung utama Taliban, tampaknya jeri. Buktinya, Jenderal Pervez Musharraf telah meminta Taliban mengabulkan permintaan AS. Sikap pemerintah Pakistan ini membuat warga Pakistan yang bersimpati kepada Osama menjadi berang. Taliban sendiri sampai akhir pekan lalu memberikan reaksi ganda. Abdul Salam Zaif, Duta Besar Taliban untuk Pakistan, mempertanyakan bukti konkret yang telah dimiliki Amerika untuk menuduh Osama bin Ladin dan kelompok Al-Qaidah. Ia juga menyebut permintaan negara adikuasa tersebut sebagai penghinaan kepada Islam. Namun, dalam kesempatan yang sama, Abdul Salam Zaif menyebut Osama dipersilakan meninggalkan Afghanistan bila yang bersangkutan menginginkan hal itu. Apakah Taliban juga mulai terbungkus rasa kecut? Belum jelas benar. Yang pasti, puluhan ulama berpengaruh di Afghanistan pekan lalu sudah menyatakan sikap. Mereka meminta agar sebaiknya Osama pergi dari negara mereka. Namun, kata kunci tetap dalam genggaman Mullah Mohammad Omar, pemimpin tertinggi Taliban. Mengingat hubungan Omar dengan Osama sangat kental, bahkan sangat pribadi karena Omar menikahi salah satu putri Osama, putusan akhir masih sulit ditebak. Yang pasti, sikap puluhan ulama tersebut mencerminkan situasi nyata di Kabul, ibu kota Afghanistan. Menurut Mohamad Kosim, staf Kedutaan Indonesia di Kabul, sewaktu AS pertama kali mengeluarkan ancaman, penduduk kota tak merasa resah. Namun, saat AS mengumumkan pernyataan perang, situasi mulai kalang-kabut. Apalagi persiapan AS untuk menggempur tak tampak sebagai gertakan belaka: tiga kapal induk, 14 kapal perang, serta ratusan pesawat tempur. Sekalipun Menteri Luar Negeri AS Colin Powell sudah menyatakan warga sipil tak akan menjadi sasaran, rasa takut tentu sudah menjalar ke mana-mana. Warga yang memiliki cukup uang langsung memutuskan untuk mengungsi ke Pakistan, termasuk sebagian pemimpin Taliban. Sebaliknya, yang kantongnya kempis—dan ini yang menjadi bagian terbesar—tak punya pilihan selain pasrah di tempat. Mohamad Kosim adalah orang Indonesia terakhir yang meninggalkan Kabul. Ia pergi setelah menerima perintah dari Jack Said Gaffar, Duta Besar Indonesia untuk Pakistan. Kepergiannya ke tapal batas tak mudah. Jalanan rusak berat dengan dua tepi yang terdiri atas jurang yang terjal. Beruntung, Kosim masih bisa menyewa mobil. Warga asli yang mengungsi kebanyakan harus puas berdesakan di atas satu truk yang menampung 10 keluarga, lengkap dengan ternak mereka. Pemeriksaan ketat terjadi di beberapa titik, terutama di Polocharqi. Kosim bahkan sempat tertahan di Turkham, kota perbatasan. Paspor diplomatik miliknya toh mampu membawa Kosim dan sang istri—seorang warga Afghanistan—lolos dari perbatasan. Sementara itu, ratusan ribu warga asli terpaksa menginap di lapangan terbuka yang panas berdebu karena Taliban sudah mengeluarkan larangan bagi penduduk asli untuk keluar. Rasa takut yang melanda warga Kabul sangat kontras dengan keyakinan yang dimiliki Amerika. Soalnya, dukungan kepada Bush telah mengalir dari pelbagai jurusan. Sikap anggota NATO tak perlu diragukan lagi. Menurut artikel 5 pembentukan pakta pertahanan tersebut, satu serangan terhadap anggota harus dianggap sebagai serangan terhadap semua. AS juga mengantongi dukungan dari negara-negara yang selama ini boleh disebut ber-seberangan, seperti Rusia dan Cina. Namun, mana ada yang namanya dukungan gratis di zaman ini? Rusia secara tak langsung pasti meminta Amerika melunak terhadap aksi brutal Rusia di Chechnya. Apalagi kelompok muslim di Chechnya punya hubungan khusus dengan Taliban. Cina menginginkan AS berhenti main mata dengan Taiwan, Tibet, dan gerakan separatis muslim di Xinjiang. Musharraf di Pakistan, yang selama ini punya citra kurang sedap karena naik takhta melalui kudeta sekaligus punya hubungan dengan Taliban, bisa menagih bantuan keuangan untuk memperbaiki ekonomi mereka yang sungsang sumbal. "Barter" yang tak jauh berbeda juga di-lakukan Presiden Indonesia Megawati Sukarnoputri. Dengan menerima pemimpin dari sebuah negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia, Bush seolah mendapat legitimasi bahwa langkah yang diambilnya bukanlah wujud permusuhan terhadap Islam. Dan setelah mengeluarkan pernyataan bersama untuk melawan terorisme itu, Bush berjanji akan bekerja sama dengan Kongres untuk mengusahakan agar bantuan US$ 130 juta dicairkan. AS juga menyiapkan US$ 15 juta untuk membantu pembangunan wilayah Maluku dan Aceh. Jumlah itu masih akan ditambah US$ 10 juta bagi pelatihan polisi. Negara-negara Timur Tengah punya agenda yang berbeda. Secara bersama, mereka ingin sikap Amerika lebih adil dalam konflik Palestina dengan Israel. Selain itu, mereka tak ingin Amerika melakukan penyerangan yang membabi-buta. Presiden Mesir Hosni Mubarak menyatakan gempuran semacam itu justru akan kontraproduktif. Selain membuat warga sipil yang tak bersalah jadi korban, gerakan radikal anti-Amerika malah mendapat siraman bensin dalam menggelar teror mereka. Karena itu, Mubarak menyebut aksi AS sebaiknya tidak ditujukan kepada negara dan disertai bukti yang meyakinkan. Mubarak memang punya kepentingan pribadi. Ia tak ingin gerakan radikal di negaranya meningkat kadarnya bila serangan besar-besaran jadi digelar. Tegasnya, ia cemas ter-guling oleh kelompok radikal. Namun, ia dan juga puluhan kepala negara lain punya keprihatinan yang sama atas perkara bukti yang memberatkan Afghanistan. Memang harus diakui, perkara bukti ini masih menjadi problem pelik AS. Masalahnya, kerja penyidik federal Amerika, FBI, boleh dibilang kedodoran. Sebelumnya, FBI mengumumkan nama 19 orang tersangka pembajak, yang semuanya ikut tewas beserta aksi teror mereka. Ternyata, dari daftar pendek ini, ada beberapa nama yang masih segar bugar. Salim Alhazmi, yang diduga mengambil alih pesawat yang ditubrukkan ke Pentagon, ternyata masih hidup dan bekerja di pabrik petrokimia di Yanbu, Arab Saudi. Alhazmi menyatakan paspornya dicuri di Mesir tiga tahun lalu. Pemerintah Saudi juga menyebut tersangka Abdulazziz al-Umari masih hidup dan bekerja sebagai insinyur listrik di negara mereka. Rasa malu FBI juga berlipat ketika menyadari bahwa dua dari tersangka pembajak, Al Midhar dan Nawaq al-Hamzi, sudah masuk daftar pencarian sebelum teror Selasa Hitam terjadi. FBI mengetahui bahwa kedua orang ini berada di AS, tapi mereka selalu gagal mendeteksinya karena metode yang dilakukan adalah melakukan uji silang terhadap data kriminalitas. Bila nama mereka muncul dalam bentuk pelanggaran apa saja, agen federal bisa menjejaki. Namun, dua orang ini terbukti bisa menjauh dari keonaran hingga tanggal 11 September. Alhasil, mereka akhirnya melenggang tanpa kesulitan naik ke pesawat yang dihantamkan ke Pentagon. Sementara itu, pencarian terhadap jaringan tersangka telah mulai memakan korban. Seratus lima belas imigran keturunan Arab saat ini telah ditahan FBI untuk dimintai keterangan. Entah tuduhan ini kelak bisa dibuktikan atau tidak. Departemen Kehakiman Amerika kini tengah mengajukan draf undang-undang baru yang nantinya memperbolehkan kejaksaan mengurung pendatang asing yang dicurigai, lantas memulangkannya tanpa proses dengar pendapat. Bukan itu saja, Immigration and Naturalization Services (INS), yang bernaung di bawah Departemen Kehakiman AS, akan menerapkan aturan yang bisa menahan siapa pun yang tak punya izin sah di Amerika dalam waktu tak terbatas mengingat negara dalam "keadaan yang luar biasa". Sebelumnya, seseorang boleh ditahan paling lama 24 jam. Lewat masa itu, ia harus dilepas kecuali ada tuduhan yang diajukan kepadanya. Selain penyidikan pelaku, langkah penting lain yang tengah dijalankan AS adalah upaya memblokade aliran dana untuk kegiatan teror. Bank sentral Amerika, misalnya, telah membekukan nomor rekening bank di Swiss dan London yang digunakan sebagai jalur transaksi dari 19 tersangka. Aturan untuk men-cairkan uang pun akan diperketat, khususnya pada transaksi yang mencurigakan. Namun, cara ini diperkirakan tidak akan efektif. Pelaku teror bisa dengan mudah mengantongi uang dalam jumlah ribuan dolar di saku. Karena sumber uang ini kebanyakan dari bisnis yang sah, penggunaannya tidak akan mudah mengundang kecurigaan. Blokade dana ini sendiri dinilai tak akan banyak berpengaruh. Berkaca dari aksi teror tempo hari, biaya yang dibutuhkan untuk tindakan yang menggemparkan tersebut tergolong tak istimewa. Memang, ada ribuan dolar yang dikeluarkan untuk kursus pilot, tapi ongkos keseharian tergolong biasa. Dan bukankah senjata untuk membajak hanya pisau dan cutter yang paling-paling bernilai satu-dua dolar? PASCA-tragedi Selasa Hitam di New York juga melahirkan pelbagai spekulasi dan gosip serta perang informasi melalui dunia internet. Salah satu spekulasi yang muncul—di antara setumpuk gosip konyol—adalah dugaan motif ekonomi di balik teror. Kelompok Osama bin Ladin dicurigai menangguk keuntungan lewat jual-beli saham dengan mengantongi informasi akan terjadi kekalutan pascaserangan. Bekerja sama dengan otoritas pasar modal AS (Securities Exchange Commission), FBI tengah menyelidiki adanya penjualan saham-saham penerbangan, asuransi, dan perhotelan sebelum teror itu. FBI mencurigai, obral besar ini menunjukkan indikasi bahwa informasi penyerangan terhadap WTC sudah bocor kepada investor pasar modal. Spekulasi terbaru datang dari TV Al Manar yang bermarkas di Lebanon. Menurut stasiun televisi yang menyebut lembaganya media perlawanan anti-Zionis ini, sekitar 4.000 karyawan keturunan Yahudi yang berkantor di WTC ternyata bolos kerja saat serangan terjadi. Mengutip harian Al-Watan yang terbit di Yordania, mangkirnya mereka itu karena sudah mendapat bisikan dari intel Israel. Sampai sekarang, tak ada pernyataan bantahan dari pemerintah Israel. Lantas? Hasil pemantauan wartawan TEMPO di New York menunjukkan ada beberapa warga keturunan Yahudi yang juga menjadi korban, meski angka korban itu belum pasti hingga saat ini. Di saat desas-desus bersilang jalan menunggu tersibak kebenaran atau kebohongannya, saat ini warga Afghanistan punya penantian sendiri. Jadi diserang atau tidak? Sebelum satu bom pun dijatuhkan oleh Amerika, penderitaan rakyat Afghanistan saat ini sudah berlipat ganda: dari perlakuan rezim Taliban yang represif sampai ancaman kematian karena penyebab yang begitu purba, yaitu kelaparan. Dalam kondisi demikian, Amerika malah meminta Pakistan menghentikan bantuan pangan dan kebutuhan pokok lain kepada warga yang malang ini. Noam Chomsky, profesor linguistik di Massachusetts Institute of Technology, menganggap bahwa jika permintaan ini dipenuhi, itu sama saja dengan Amerika menuntut Pakistan membunuh jutaan orang yang tak ada hubungannya dengan aksi teror. "Ini sama sekali bukan balas dendam karena jauh tak bermoral," kata Chomsky dalam wawancara dengan Radio B92, Belgrade. Karena faktor semacam inilah banyak suara yang meminta AS lebih dulu mencari akar kebencian pada negaranya sebelum melanjutkan perannya sebagai koboi dunia. Riza Sihbudi, pengamat masalah Timur Tengah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menilai Amerika lebih baik saat ini melakukan pemikiran ulang terhadap kebijakan luar negerinya, terutama hubungan Amerika dengan negara Timur Tengah. Hubungan AS dan Timur Tengah yang pelik ini, bagi Riza Sihbudi, adalah salah satu alasan terpantiknya bara teror. Tampaknya, hampir semua pengamat setuju bahwa Israel memang menjadi pihak yang "menangguk" keuntungan setelah peristiwa ini. Adil Hamuda, pakar Timur Tengah dari Mesir, menganggap bahwa karena serangan itu terjadi pada simbol utama ekonomi dan militer AS, yang mudah dicurigai pertama kali adalah kelompok muslim radikal dan Arab. Pengamat Politik AS, Smita Notosusanto, mengingatkan bahwa ketika WTC diserang, Perdana Menteri Israel Ariel Sharon menyerang Palestina. "Dia telah melakukannya terus sejak April lalu, di wilayah-wilayah yang sebenarnya sudah dikembalikan ke Palestina," tutur Smita. Adakah harapan bahwa AS lebih berhitung dalam langkahnya? Tipis. Smita menilai langkah kebijakan luar negeri Amerika sepanjang sejarahnya selalu digerakkan karena faktor "kecelakaan". Contohnya Perang Vietnam, yang dampaknya masih terasa sampai sekarang. Ironisnya, "Amerika selalu mengulang kesalahan yang sama di Iran, Guatemala, Cile, dan masih banyak negara lain," kata Smita. Dalam menghadapi kasus Afghanistan, Smita yakin, kebijakan Amerika tak akan berubah. Menurut Smita, kelompok garis keras di pemerintahan AS akan memaksakan gempuran bersenjata besar-besaran. Kelompok ini tidak hanya berpijak pada ideologi, tapi juga pada bisnis. Mereka adalah anggota "segitiga besi", Departemen Pertahanan, Komisi Angkatan Bersenjata di Kongres, dan anggota Kongres yang mewakili negara bagian yang memiliki pabrik senjata. "Mereka akan terus memaksa pemerintah membeli alat-alat yang sebenarnya tidak diperlukan," kata Smita. Sayangnya, pilihan yang tersedia bagi Bush saat ini sungguh tak banyak. Mau maju perang, banyak ganjalan di jalan. Tapi tak berbuat sesuatu lebih salah lagi karena mereka selamanya tak akan merasa aman dari terorisme. Kunci utama yang harus dimilikinya saat ini adalah data intelijen yang kredibel agar pembalasannya tepat sasaran. Tanpa itu, AS hanya akan mengejar mambang dan siluman. Yusi Avianto Pareanom, Purwani D. Prabandari, Gita W.L., Ahmad Taufik (Peshawar dan Islamabad, Pakistan), Ahmad Fuadi (Washington, DC), Supriyono (New York), Zuhaid El-Qudsy (Kairo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus