DUA suguhan tari dipentaskan dalam Art Summit Indonesia III di tempat yang berbeda. Akram Khan dari Inggris berpentas di Gedung Kesenian Jakarta, 13-14 September lalu. Sedangkan Kim Bock Hee dari Korea Selatan bermain di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, 16-17 September. Keduanya merepresentasikan dua generasi yang menerabas modern dan kontemporer, serta Barat dan Timur, yang kini semakin kabur.
Akram Khan, 26 tahun, penata tari pendatang baru yang berdarah Bangladesh tapi lahir, besar, dan berkarir di London, tampil memukau. April lalu, ia mendapat penghargaan sebagai "Outstanding Newcomer" dari majalah Time Out, London. Ia tangkas dan cerdas. Ia bermain menjelajahi kemungkinan mengembangkan irama dan langkah tari kathak, dengan irama dan semangat ke-bebasan inovasi. Nakal dan berani, penjelajahan Akram luput dari batasan tradisi atau kontemporer, India ataupun Barat. Tak lagi relevan mempertanyakan asal ketika irama dan tubuh penari bisa tampil optimal.
Akram membuka pentasnya dengan duduk santai bertepuk tangan menjagai irama dasar permainan tabla (sepasang gendang tradisi India Utara) Vishnu Sahai, yang piawai dalam pusaran irama "sembilan-setengah". Gaya permainan Sahai yang lembut, tapi bisa tiba-tiba berubah menjadi keras dan tajam, membius sekaligus menyiapkan penonton ke nomor berikutnya.
Dalam Loose in Flight, Akram asyik menjelajahi permainan irama melalui liuk lentur, rentak dan gerak tubuh yang luwes, liat, dan ulet. Terkadang halus, lembut, melingkar; lain kali mengentak tegap, dan tegas dalam permainan irama yang rumit; ada kalanya jatuh bergulung dalam pose ganjilāmenantang dan jalang. Bebas, lepas, dan cerdas, Akram tak pernah kehilangan ketukan irama. Penjelajahan intens ini diiringi musik komponis muda Indonesia, Angie Atmajaya, yang mencoba bermain dengan struktur dasar irama kathak, sementara Akram bebas bermain di luar dan di dalam struktur musik yang diciptakan Angie.
Setelah jeda, dibantu dua penari, Akram tampil dalam Rush, sebuah karya abstrak yang bertolak dari struktur dasar koreografi irama sembilan-setengah dalam penjelajahan gerak, ruang, dan tenaga; yang diilhami dunia paragliders dan free-fall, sebuah kombinasi situasi gerak dengan kecepatan tinggi dengan posisi diam dingin, khas kathak. Kemungkinan dan kemusykilan menindih tuntutan keindahan.
Lain Eropa lain Asia. Ini terlihat dari suguhan Kim Bock Hee Dance Company dari Seoul, Korea. Sementara Akram Khan tampil meledak, Ms. Kim tertib, dingin, dan rapi dengan perhitungan koreografis yang teliti. Sementara Akram santai, abstrak, dan ceria, Ms. Kim mengabadikan cerita Koreana yang liris lembut. Sementara Akram menonjolkan identitas individual, Ms. Kim menghabiskan upaya bagi semangat Korea dalam karyanya.
Keduanya memang datang dari dua generasi yang berbeda. Ms. Kim menciptakan karya tari pertamanya (1971) ketika Akram belum berada di dunia. Atau memang ada kecenderungan nuansa yang berbeda? Mungkin juga latar Ms. Kim yang profesor tari di Hanyang University itu membuat koreografinya, Flower of Existence, the Flower of Vanity dan Marriage of Blood, akademis: lembut, cantik, bersih, putih, dan rapi. Kelekatan kepada kelembutan, ketegangan, dan rasa puitis ini barangkali memang khas Korea.
Yang menarik, kedua generasi mencoba memadu bekal tradisi yang diwarisi dengan isu zamannya: modernisme bagi Ms. Kim dan postmodernisme bagi Akram Khan. Keduanya menerabas batas-batas budaya dan geografis. Batas-batas itu dengan kemajuan pesat teknologi, komunikasi, transportasi, serta media elektronik memang semakin kabur.
Benarkah "teater imaji" telah berganti dengan "teater badani" seperti diungkapkan Klaus Witseling? Benar di Eropa, tapi sedikit lain di Asia. Penampilan Kim Bock Hee satu contohnya. Sedangkan dalam penampilan Pappa Tarahumara (Graha Bhakti Budaya, 28-29 Agustus 2001), saya melihat imaji dan tubuh penari itu sama pentingnya.
Satu hal pasti, dewasa ini perubahan berjalan sangat cepat. Tapi itu bukan berarti yang datang kemudian selalu tertinggal di belakang. Di samping Akram Khan, lihat misalnya Guangdong Modern Dance Company (Graha Bhakti Budaya, 1 September 2001), yang walau baru 10 tahun berkiprah di dunia tari kontemporer, tak kalah tampilan garap, isi, dan inovasinya. Nomor tunggal lelaki Guangdong, I want to Fly, yang cuma lima menit, tampil sangat meyakinkan secara teknis gerak, koreografi, dan dalam peng-hayatan. Tak aneh jika nomor ini memenangi kompetisi koreografi di Prancis.
Dalam tari kini, Barat dan Timur itu bukan lagi simbol tinggi dan rendah, mapan dan belum mapan, melainkan sebuah dialog antarnilai, penghargaan atas keragaman dalam kesetaraan.
Sal Murgiyanto, pengamat tari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini