Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diusir dari Sidang Mathla’ul Anwar
Saya mengalami perlakuan yang sangat menyakitkan saat mengikuti Rapat Kerja Nasional Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (PBMA) di Bandar Lampung, 28-30 Mei 2004. Saya tercantum sebagai utusan dari tim pendidikan PBMA dan termasuk dalam Komisi C yang membahas rekomendasi. Sebelum sidang dimulai, pimpinan sidang, yaitu H. Usep Fathuddin, M.P.S., terlebih dahulu membacakan nama-nama anggota komisi yang telah disusun oleh panitia. Setiap peserta yang namanya disebut mengacungkan tangan untuk menyatakan kehadirannya, termasuk saya. Ada beberapa hal yang dibahas oleh Komisi C, namun agenda terpenting adalah soal dukungan PBMA terhadap Jenderal TNI (Purn.) Wiranto sebagai calon Presiden RI. Untuk itu, Ketua Umum PBMA, Drs. H.M. Irsjad Djuwaeli, memberikan pengantar sekitar 10 menit. Setelah itu, Ketua Umum PBMA berbicara dan kemudian dibuka diskusi dengan moderator pimpinan sidang, Bapak Usep Fathuddin.
Saya mendapat kesempatan pertama untuk menanggapi pengantar Ketua Umum. Saya sampaikan apa keuntungan, kompensasi, juga risiko politik jika organisasi ini mendukung pencalonan Wiranto. Belum selesai saya berbicara, tiba-tiba wajah Ketua Umum PBMA memerah, sambil menunjuk ke arah saya, Ketua Umum PBMA ini bertanya dengan nada emosional, ”You pilih apa? You dari mana?” Saya jawab bahwa saya anggota tim pendidikan PBMA. ”You salah masuk, you keluar, jangan di sini!” Saya membela diri dan mengatakan bahwa nama saya ada dalam daftar peserta, tapi Ketua Umum dengan tetap emosional dan wajah memerah tetap mengusir saya dari ruangan. Saya sempat duduk sebentar menunggu reaksi, namun kembali Ketua Umum menyuruh saya keluar dari ruangan. Bapak Usep Fathuddin sebagai pimpinan sidang sama sekali tak berdaya dan tidak bereaksi apa-apa terhadap kejadian ini. Meskipun dia tahu bahwa saya adalah peserta yang sah di ruangan tersebut.
Peristiwa ini buat saya sangat menyakitkan dan menjadi catatan abadi betapa Ketua Umum PBMA itu begitu arogan dan sangat otoriter. Saya datang ke Lampung mengikuti rapat karena diundang oleh PBMA. Saya datang ke Lampung dengan biaya sendiri, menginap pun membayar hotel sendiri karena tempat yang disediakan oleh panitia tidak cukup. Namun saya diperlakukan seperti itu, diusir dari ruangan karena alasan yang tidak jelas. Sungguh, ini merupakan sesuatu yang sangat menyakitkan. Jika pengusiran saya karena dua poin pertanyaan di atas, hal ini sangat tidak masuk akal. Sebab, pertanyaan tersebut sangat sederhana dan sangat logis, tak ada sesuatu yang aneh.
Bahkan dalam acara pemandangan umum sebelumnya, banyak peserta yang mengajukan pernyataan senada. Saya menjadi tidak habis pikir, mengapa Ketua Umum begitu murkanya gara-gara pertanyaan sederhana tersebut. Bukankah tindakan semacam ini malah membuat orang lain curiga, jangan-jangan ada maksud pribadi di balik digalangnya dukungan warga Mathla’ul Anwar terhadap Jenderal Wiranto?
Mathla’ul Anwar adalah organisasi yang sudah cukup tua. Jika mekanisme pengelolaannya tetap seperti itu, arogan, tidak demokratis, serta tak mampu memberikan apresiasi terhadap pengorbanan orang lain, rasanya sangat sulit bagi Mathla’ul Anwar untuk menjadi organisasi yang maju dan disegani apalagi kalau karena sikap ketua umumnya.
Mohammad Zen
Ciputat, Jakarta
Jangan Remehkan Ibu Rumah Tangga
Jangan dikira mayoritas ibu rumah tangga hanya bisa menentukan pilihan calon presiden pada sosok yang dianggap memiliki kelebihan fisik tertentu. Bila benar-benar dicermati dan meluangkan waktu untuk bicara, maka akan dibuat satu peta politik yang cukup beragam.
Pada satu kesempatan berkumpul dengan ibu-ibu pengajian, cerita tentang pilihan calon presiden bergulir. Ibu Zaenal, rekan saya yang ketua pengajian, datang terlambat dan dengan terengah-engah menjelaskan bahwa baru saja mengikuti kampanye Megawati. Ibu-ibu lain serempak bersorak dan meledek. Maklum, sebelumnya si ibu adalah pendukung berat Wiranto. Ia pernah bilang, di tangan presiden militer dipastikan negara akan aman, tenteram, dan tertib.
Lalu kenapa rekan saya itu berubah pikiran? Rupanya ia kena pengaruh suaminya. Pak Zaenal, suami Ibu Zaenal, mengingatkan betapa tidak enaknya zaman Orde Baru dulu. Meski terlihat tenteram dan aman, itu cuma di permukaan. Kenyataannya, rakyat di bawah mendapat tekanan mahadahsyat, dan ketika reformasi bergulir, rakyat pula yang harus membayar lebih mahal.
Lalu saya tanya kenapa Ibu Zaenal kini mendukung Megawati. Alasannya ternyata sangat sederhana. ”Megawati itu kan ibu rumah tangga seperti saya, pasti dong ia doyan belanja dan penginnya beli dengan harga murah. Saya yakin pasti diusahakan agar harga sembako tidak naik. Buktinya, sewaktu kampanye di pasar beberapa waktu lalu, Megawati sempat belanja kacang yang harganya ditawar separuh harga,” kata rekan saya itu, yang kami sambut dengan tawa sambil mengiyakan.
Nah, cerita saya di atas adalah salah satu situasi dan kondisi yang dihadapi ibu-ibu sekarang. Pemilih perempuan, terutama ibu-ibu, memiliki karakteristik unik. Mereka sangat terpengaruh dengan lingkungan dan isu-isu yang beredar. Padahal jumlah pemilih perempuan jauh lebih banyak dari laki-laki. Seharusnyalah suara kami (ibu-ibu/perempuan) diperhitungkan. Bayangkan saja, sekarang saja Indonesia dipimpin seorang perempuan. Makanya, jangan remehkan kemampuan perempuan, terutama ibu rumah tangga.
RD. Tussy Atmadibrata
Jalan Cikini III No. 1, RT 11/RW 05
Cikini, Jakarta Pusat
Mencari Perkumpulan Anak TNI
Saya adalah anak anggota TNI AU, Letda Suwardi. Ayah pernah tugas di Medan, Kendari, Makassar, dan terakhir di Halim Perdana Kusuma, Jakarta, hingga meninggalnya pada 1971. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata di sebelah Kopral Harun, marinir yang dihukum gantung pemerintah Singapura.
Setelah Ayah meninggal, hidup saya tidak menentu. Ibu diusir dari rumah dinas (Kompleks AURI Halim, Jakarta), saya pun sempat hijrah dari kota ke kota, hingga pernah ketemu anak buah Ayah menjadi komandan pangkalan udara di Pacitan, Jawa Timur, dengan pangkat kapten.
Akhirnya saya mengikuti program pemerintah dengan menjadi transmigrasi di Kalimantan Timur. Setelah menjadi petani transmigrasi, saya mendengar bahwa ada wadah perkumpulan putra-putri TNI. Saya ingin mengetahui apakah ada perkumpulan itu, apa saja programnya, dan bagaimana syarat menjadi anggota.
E. Fadjar Suwardi M.
Blok LE 61 SP III Laburan Baru
Pasir Belengkong, Pasir
Kalimantan Timur
Keluhan Konsumen Daihatsu
Saya membeli mobil Daihatsu Taruna tahun 2002 dengan nomor mesin PE 000953 dari dealer Daihatsu Capella Medan, Sumatera Utara. Beberapa bulan setelah saya pakai, ada bunyi menderu di bagian gerdang, terutama pada kecepatan 80 kilometer per jam atau lebih.
Kasus ini saya sampaikan ke sales dealer pada Mei lalu. Kemudian saya disarankan memeriksakan ke bengkel resmi Daihatsu Capella. Teknisi bengkel mengatakan, ”Tidak apa-apa, enggak ada yang rusak!” Namun bunyi ini semakin kuat dan nyaring, tak hanya pada kecepatan 80 kilometer lagi, dalam kecepatan rendah pun juga sudah menderu. Teman yang menumpang mobil saya pernah menyentil, ”Eh, ini mobil Taruna atau Trado (truk besar)? Kok, suara gerdangnya bising sekali?”
Atas kejadian itu, saya mohon perhatian pihak Daihatsu Taruna.
Yunan Napitupulu
Jalan Pintu Air IV No. 67
Kwala Bekala , Medan
Kecewa terhadap Lippo Bukit Sentul
SAYA seorang pengagum Bapak Mochtar Riady dari Grup Lippo. Jangan heran jika saya gampang terkena bujuk rayu untuk membeli salah satu rumah di perumahan di Bukit Sentul, Jawa Barat. Rumah itu saya bayar tunai, dengan janji penyelesaiannya memakan waktu dua tahun.
Rupanya, janji hanyalah janji. Nama besar Grup Lippo pun bukanlah jaminan karena, sampai hari ini, setelah tiga setengah tahun saya menunggu, rumah tersebut belum juga dibangun. Bahkan saat ini ada ratusan rumah yang belum dibangun. Akibatnya, ribuan konsumen bernasib seperti saya.
Sudah berkali-kali masalah ini saya pertanyakan kepada Grup Lippo, dan hal ini juga dimuat di berbagai surat kabar, tetapi tidak ada jawaban dari pihak-pihak yang terkait. Lalu, ke mana lagi kami dapat mengadukan hak kami ini?
ROBBY
[email protected]
Ucapan K.H. Zainuddin Zazuli
Dalam Majalah TEMPO edisi 7-13 Juni 2004 lalu, terdapat tulisan berjudul Di Tengah Ragu Berharap Mukjizat. Di situ ada ucapan K.H. Zainuddin Zazuli dalam pertemuan kiai di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Beliau mengatakan bahwa santri yang tidak mendukung Hasyim Muzadi (K.H. Hasyim Muzadi) adalah murtad. Saya sebagai seorang santri sangat kecewa dengan ucapan itu, karena hal itu dapat menyesatkan para santri.
BUDI PRIYANTO
Mei Shan Rd. No. 31 Lane 70
Kaohsiung Hsien
Taiwan
Konversi Nilai Ujian Nasional
Kurang-lebih 99 persen materi dalam dunia pendidikan adalah eksakta (hitam-putih). Maksudnya, setiap pelajaran sekolah berisikan data-data obyektif, fakta-fakta yang sungguh, dan kebenaran-kebenaran yang mutlak dapat diterapkan dalam dunia. Sebagai contoh, ibu kota Indonesia adalah Jakarta, pemilu presiden putaran I adalah 5 Juli, rumus-rumus matematika dan fisika dapat diterapkan untuk membangun jembatan layang, dan sebagainya. Sisanya, 1 persen adalah kompromistis (abu-abu). Maksudnya, ada beberapa pelajaran sekolah yang sangat subyektif interpretasi dan penilaiannya. Sebagai contoh: peristiwa 13 Mei ada banyak versi, peristiwa G30S diinterpretasikan tergantung siapa penguasanya, atau pelajaran menggambar, dan sebagainya.
Intinya, karena 99 persen dunia pendidikan berhubungan dengan kebenaran, ia menjadi tempat meneliti untuk mencari data-data yang benar. Dunia pendidikan juga menjadi tempat riset untuk mengetahui fakta yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Sehingga, lembaga pendidikan menjadi salah satu tempat berkembangnya idealisme, tempat memupuk kecintaan akan kebenaran, tempat transparansi nilai. Jadi, bisa dikatakan, kalau mau mencari yang obyektif, yang murni, yang asli, yang sungguh-sungguh terjadi, hampir semuanya dapat kita temukan di dunia pendidikan.
Tapi, di Indonesia, di tahun 2004 ini, konsep konversi nilai (yang berbohong kepada siswa) meruntuhkan itu semua.
J. FIDE ANGGI
Kalideres, Jakarta Barat
Iklan Kampanye Megawati
PANITIA Pengawas Pemilu seharusnya menyemprit iklan kampanye Megawati di televisi. Dalam beberapa iklan yang ditayangkan, tampak jelas Megawati menggunakan fasilitas negara. Sebagian gambar-gambar iklan yang dimunculkan adalah ketika Megawati menjabat Presiden RI. Dalam iklan itu digambarkan bagaimana Megawati bertemu dengan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, peduli kepada petani, atau meresmikan pembangunan gedung, dan sebagainya. Apakah ini fair?
Dibandingkan dengan calon presiden lainnya, yang harus mengeluarkan anggaran jutaan rupiah untuk memproduksi iklan di televisi, Megawati cukup mengambil gambar-gambar tersebut dari dokumentasi negara secara gratis. Artinya, Megawati bisa berhemat jutaan rupiah untuk beriklan. Di samping itu, dia tak perlu repot-repot mengikuti arahan sutradara.
ISMAIL
Jakarta Pusat
Kursi Bus Dikontrakkan
Saya punya pengalaman tak mengenakkan ketika naik bus patas AC 63 jurusan Bekasi -Jakarta. Sore itu, sepulang dari kantor, saya naik dari Rumah Sakit St. Carolus, Jakarta Pusat. Ketika melihat kursi kosong di sebelah pengemudi, saya langsung duduk. Sebab, kursi lainnya penuh penumpang. Untuk sementara, saya lega karena tak harus berdiri hingga Bekasi. Tapi rasa lega itu lenyap seketika karena saya ditegur keras oleh pengemudi. ”Bu, kursi itu sudah ada yang mengontrak bulanan. Silakan berdiri.” Benarkah? Ketika saya ulangi pertanyaan itu kepada pengemudi, dia ngotot bahwa saya harus berdiri dari kursi itu karena pengontrak kursi segera naik dari Rawamangun, Jakarta Timur.
Dari pengalaman itu, saya ingin mempertanyakan kepada pengelola bus, apakah dibenarkan kursi bus dikontrakkan? Kursi itu berada di sebelah pengemudi, biasanya dipakai oleh kondektur bus. Lantas, bagaimana dengan penumpang yang naik belakangan, apakah punya hak menempati kursi itu?
WATI
Bekasi
Surat Terbuka untuk Deny J.A.
Bung Deny, saya menonton acara Election Watch di Metro TV, Kamis malam pekan lalu. Acara yang Anda pandu itu mengusung tema ”Si Kuda Hitam Amien Rais”. Tapi, sepanjang acara saya melihat Anda bersikap sangat tendensius. Anda jelas sekali, meski menggunakan kata-kata manis, berusaha menjelek-jelekkan Amien Rais. Hampir semua pertanyaan Anda diarahkan pada reformasi yang dianggap gagal. Secara langsung Anda menuduh Amien, yang dikenal sebagai ”Bapak Reformasi”, juga harus bertanggung jawab atas kegagalan itu. Sebuah logika yang sangat keliru. Sebab, bukankah selama lima tahun terakhir Amien tak masuk jajaran eksekutif, yang memiliki otoritas pemerintahan?
Tak cuma itu. Beberapa kutipan, hasil penelitian, dan wawancara dengan rakyat biasa juga ditampilkan. Anda memilih kutipan atau komentar dari ”pengamat politik” Saiful Mujani dan William Liddle, yang merupakan teman-teman Anda sendiri. Seperti biasa, Anda juga menampilkan hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia, institusi yang Anda nakhodai. Semua komentar, analisis, dan ”hasil survei” tersebut jelas tak menguntungkan Amien.
Hasil wawancara dengan rakyat biasa pun sama saja. Dari lima orang yang diwawancarai, dua narasumber pertama mendu-kung Amien. Tapi tak terlalu tegas. Sedangkan tiga narasumber terakhir jelas-jelas menyatakan menolak Amien. Dari segi jumlah, itu tak fair. Belum lagi penempatan sumber yang menolak Amien yang ditayangkan terakhir kali. Teori komunikasi memastikan informasi terakhirlah yang paling membekas.
Bung Deny, saya paham bahwa Anda dekat dengan Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY, salah seorang calon presiden. Anda juga sempat runtang-runtung dengan SBY hingga ke Tanah Suci. Persoalannya, mengapa sebagai ”pembawa acara” Anda tak independen. Mengapa Anda memanfaatkan frekuensi televisi, yang merupakan ranah publik, untuk kepentingan politik tertentu?
Tapi sudahlah. Akhirnya saya teringat pada Julian Benda, ahli politik klasik, yang menyebut selalu terjadi pengkhianatan kaum terpelajar. Tak seharusnya saya berduka, karena selalu ada ”pengkhianatan” di setiap rezim....
Eman Rahman
Perumahan Bumi Anggrek Blok M/155
Bekasi 17510
Keluhan Warga Ciputat
Sebagai warga negara, saya merasakan aparat pemerintah tidak memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi warganya. Buktinya, banyak jalan di pinggiran kota Jakarta dibiarkan macet setiap hari. Ini terjadi di kawasan Ciputat, Tangerang. Kemacetan di sana, terutama di dekat pasar, dibiarkan selama bertahun-tahun dan kini semakin menjadi-jadi. Bayangan, untuk melewati ruas jalan sepanjang setengah kilometer saja, orang bisa menghabiskan waktu sampai satu jam.
Masih di daerah Ciputat, belakangan terjadi pula kemacetan di depan Gedung Universitas Terbuka, Pondok Cabe. Gara-garanya, jalan di sana rusak cukup parah. Hal itu membuat kendaraan tidak bisa melewatinya dengan cepat, sehingga mengundang kemacetan hingga di depan lapangan udara Pelita.
Sudah lama warga Ciputat dan sekitarnya mengeluhkan semua itu. Tapi tidak pernah ada tanggapan dari pemerintah. Padahal, sebagai warga negara, kami selalu membayar pajak, termasuk pajak kendaraan bermotor. Saya berharap pemerintah Kabupaten Tangerang segera turun tangan.
Devi Damayanti
Pondok Petir, Pamulang
RALAT
Pada TEMPO Edisi 14-20 Juni 2004 terdapat kesalahan yang mengganggu. Dalam tulisan ”Saatnya Balas Dendam” (laporan olahraga) di halaman 81, terdapat kekeliruan data jumlah penduduk Italia. Yang benar jumlah penduduk Italia adalah 58.057.477 jiwa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo