Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang lelaki melangkah tenang. Jalan tanah berbatu di hadapannya, gonjong (rumah tradisional dengan atap seperti tanduk kerbau) dan rangkiang (bangunan untuk menyimpan padi) di samping kirinya. Tapi ia tampak bagai raja. Pecinya merah kuning, baju dan celananya merah menyala, kontras dengan sarung kuning yang meliliti pinggangnya. Tapi bukan itu yang paling menentukan. Di kanan, kiri, belakang, beberapa perempuan mengiringinya. Hijau, kuning, biru kostum mereka.
Lelaki dalam lukisan Mengantar Marapulai (2000) itu pengantin yang bersegera ke rumah mempelai perempuan. Sapuan kuas A.R. Nizar ini satu dari 118 karya perupa Minangkabau dalam pameran bertajuk Mempertimbangkan Tradisi: Kampung dan Rantau di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pekan lalu. Mereka datang dari Padang, Pekanbaru, Jambi, Lampung, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Mereka 65 perupa, termasuk yang mereguk sukses di tanah rantau seperti Yusra Martunus (Yogyakarta), Nuzurlis Koto (Surabaya), Indra Wilmar (Lampung), Yogiswara (Jambi), dan Amrizal (Bandung).
Mengantar Marapulai, karya perupa yang menetap di Padang itu, rekaman adat-istiadat lama yang bertahan menghadapi waktu dan ruang. Dilukis dalam gaya realis Wakidi?disebut-sebut mengawali teknik dan gaya baru dalam khazanah seni rupa Minang pada awal abad ke-19?lukisan ini seakan menunjukkan bahwa tradisi ini dibawa sampai ke tanah rantau. Pepatah-petitih di mano bumi dipijak, di sinan langiek dijunjuang, di mano nagari diunyi, di sinan adat dipakai (di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, di mana tempat didiami, di situ adat dipakai) merupakan ajaran baku dan pesan kepada calon perantau.
Corak realisme Wakidi juga kita temukan dalam Gadis Desa (2004) karya Jamaidi dan Yang Ditinggalkan (2004) karya Idran Wakidi. Mereka perupa separuh baya yang memilih berkarya di tanah kelahiran. Ini berbeda dengan perupa muda yang lahir pada era 1970-an dan 1980-an seperti Yusra Martunus, Stefan Buana, Wahyu Hidayat, Nico Ricardi, dan Jhoni Waldi.
Itulah generasi baru anak rantau yang hidup di dua dunia: gairah mencecap budaya lingkungan barunya, dan identitas kampung halaman. Adaptasi budaya membuat mereka melintasi batas tema, gaya, dan media lukis. Hasilnya karya kontemporer yang meracik persoalan kontemporer pula. Wahyu Hidayat menggarap Disorganized (2004) dari pelat kuningan. Relief-relief manusia ditekuk dalam kotak direntang ke bingkai belah ketupat dengan teralis. Bentuk manusia nyaris hilang dan berganti menjadi sejenis siput laut. Perupa kelahiran Padang, 31 Agustus 1978, ini menggambarkan konflik dan kekacauan dalam masyarakat.
Perupa muda ini rupanya tanggap menyaksikan kerusuhan di pelosok negeri. "Ada yang tak ingin kita hidup tenang," katanya. Sebagai urang awak, hatinya gundah saat tawuran antarkampung melanda salah satu desa di ranah Minang setahun silam. Kegelisahan melihat darah tumpah ia tuangkan lewat warna hitam pekat. Kerusuhan itu telah memenjarakan rasa aman masyarakat yang ia gambarkan lewat teralis yang menarik bidang relief. Ada kehendak melepas belenggu agar sanak kerabat di kampung tak tercengkeram ketakutan.
Dalam kondisi tertekan, mungkin juga rindu kampung halaman, kita biasanya membutuhkan sandaran untuk melepas beban. Setidaknya mencari tempat berbagi rasa. Mungkin juga perlu tempat mengadu. "Dan Tuhan tempat ternyaman untuk mengadu," kata Yusra Martunus. Perupa kelahiran Padang Panjang, 8 Oktober 1973, ini menggambarkan jalan pencarian Tuhan lewat 0324 (2004). Satu kunci pintu ditempatkan di tengah kanvas yang menggambarkan langit biru berawan. Finalis Indonesian Art Award ini mengajak penikmat karyanya merenung: siapa tahu Tuhan berkenan memberikan jalan keluar.
Pilihan Yusra pada tema religius sebenarnya berangkat dari kenangan masa kecil di kampung halaman. Kita tahu di Padang Panjang berdiri pesantren besar yang melahirkan ulama besar sejak abad ke-19. Suasana religius terbangun dengan sendirinya. Dan batin mereka yang pernah hidup di sana kerap merindukan kenangan masa lalu yang meneduhkan. Perupa yang memilih daerah Ketawang, Gamping, Yogyakarta, sebagai tempat berteduh sejak kuliah di Institut Seni Indonesia itu tak bisa melupakan masa kecilnya di kampung halaman.
Di Kota Gudeg itu tak mudah menemukan surau dengan air pancuran bambu tempat bersuci diri seperti di Padang Panjang. Namun hidup di kota pelajar adalah pilihan sadar. Pergaulan yang luas membuatnya lebih melek pada tradisi lain. "Setidaknya budaya luar menambah wawasan saya," katanya. Namun tradisi Minang tetap menjadi pijakan dan spirit karyanya. Adat adalah aturan hidup yang diciptakan leluhur mereka: Datuak Perpatieh Nan Sebatang dan Datuak Katumanggungan. Sumbernya ajaran agama yang tergambar dalam pepatah-petitih adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (adat berdasarkan syariat, syariat berlandaskan Al-Quran).
Ajaran yang universal itu menuntun terciptanya harmoni di antara sesama manusia ataupun dengan alam. Meski teguh memegang adat, mereka mudah beradaptasi dengan tradisi lain di tanah rantau. Begitu pula dengan alam yang mesti dijaga. Saat keseimbangan alam Minang goyah karena tersentuh industri, berteriaklah Nico Ricardi lewat Metamorfosa Belantara (2004). "Saya protes karena hutan dijarah tangan jahil," kata anak muda kelahiran Lok Solok, 3 Mei 1982, ini.
Nico menciptakan tangan bermotif lempengan baja yang dibelit kabel. Lima jari itu mencengkeram rumput seperti akar pohon menghunjam bumi. Lima jari yang lain menengadah ke atas seperti menggapai sesuatu. Dari ujung belitan kabel itu asap mengepul mengotori udara. Nico tak sudi alam Minang yang elok lumat tergerus arus industrialisasi dan kapitalisasi. Protesnya merupakan "bentuk kepedulian anak rantau pada tanah kelahirannya," kata Mamannoor, kritikus seni rupa dan kurator pameran.
Protes terhadap kekuatan modal yang membongkar tradisi juga dilakukan Evelyna Dianita lewat Bara Sa-Onggok Mai?? (2002). Gambaran tawar-menawar antara pedagang dan pembeli di pasar tradisional merupakan perlawanan atas maraknya plaza, mal, dan supermarket yang menggusur pasar tradisional di ranah Minang. Perupa kelahiran Bukit Tinggi, 13 Juli 1966, ini melukiskan interaksi manusia di tengah pasar yang lebih manusiawi. Pembeli sebagai raja mesti dilayani dan tak dibiarkan seperti dalam pusat perbelanjaan modern.
Suara hati mereka gambaran nyata betapa kampung halaman tetap merindukan. Perubahan yang terjadi tetap menjadi perhatian meski dari jauh. Tradisi merantau bagi urang awak bukanlah tujuan akhir, melainkan proses mendewasa?meski pada mulanya merantau lebih bermotif ekonomi. Karena itu, sejauh-jauh merantau, suruiknyo ka kubangan juo (kembalinya ke tanah asal juga). Namun kembali ke kampung halaman punya semantik baru. "Kembali tidak harus secara fisik, tapi hatinya tetap tertambat di tanah kelahiran," kata Yasraf Amir Piliang, putra Maninjau yang kini menjadi dosen Pascasarjana Seni dan Desain Institut Teknologi Bandung.
Dua dunia, para seniman rindu bertualang, rindu pulang.
Arif Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo