Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sebuah Jeda Tentang Benny

Ia mulai menembakkan bedil pada usia remaja. Sejarah mengantarkan hidupnya melewati pelbagai perang, operasi intelijen, penyamaran, diplomasi lintas negara, hingga permainan politik tingkat tinggi. Hampir tak pernah tersenyum, siapakah sesungguhnya Benny Moerdani?

6 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA mungkin lahir bersama bedil. Pada umur 13 tahun, Benny Moerdani berperang sebagai anggota Tentara Pelajar. Ia hampir tewas ketika itu: tembakan Belanda menghancurkan ujung senapannya-lalu serpihannya menghantam wajah remaja yang baru akil-balig itu hingga berlumuran darah.

Belum pernah berlatih terjun, Benny pernah melompat dari langit Pekanbaru untuk merebut ladang minyak Caltex yang dikuasai pemberontak Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Dalam penyerbuan yang lain di Padang, payungnya tak mengembang. Temali itu membelit kaki sehingga badannya membentur-bentur tubuh pesawat. Benny selamat dengan payung cadangan. Dengan kaki digips, ia memaksa ikut ke palagan.

Di Papua lain lagi. Melawan Belanda, tentara Indonesia membutuhkan pasukan perintis yang berani terjun menyiapkan pos bagi penyerbuan yang lebih besar. Tidak satu pun perwira tinggi mau ambil risiko. Medan Papua yang dikuasai pasukan Belanda teramat ganas: penuh rawa, ular, dan binatang buas lain.

Berpangkat kapten, usia Benny baru 29 tahun kala itu. Bersama 200-an serdadu, ia ambil risiko. Pada saat penerjunan, beberapa anggota pasukan tewas, sementara yang lain tercerai-berai. Benny sendiri tersangkut pohon setinggi 30 meter. Menghimpun kembali pasukannya, ia menyerbu Merauke. Atas jasanya, Benny menerima anugerah Bintang Sakti. Sebuah monumen dibangun di Merauke untuk memperingati penyerbuan itu.

Dari lapangan pertempuran terbuka, Benny masuk dunia intelijen. Dalam upaya membuka hubungan diplomatik dengan Malaysia setelah konfrontasi di era Sukarno, ia bertahun-tahun menyamar sebagai petugas tiket Garuda Indonesia di Bangkok. Tak ada yang tahu identitasnya, juga sejawatnya di maskapai itu. Lewat peran Benny-lah petinggi militer Indonesia-Ali Moertopo, Yoga Soegomo, dan Kemal Idris-menemui Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Rahman.

Dalam operasi pembebasan sandera pembajakan Garuda 206 Woyla di Bandara Don Muang, Bangkok, pada 1981, Benny berhasil menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki pasukan khusus antiteror yang patut dibanggakan.

Hidup bagai roller coaster, Benny pernah pula menjadi diplomat di Korea. Pergaulan Benny di negeri ginseng itu membawanya bertemu dengan Choi Gye-wol, pendiri Kodeco Energy, perusahaan eksplorasi minyak. Penelusuran koresponden Tempo di Korea menginformasikan, Choi sering mengajak Benny ke Jongno di pusat Kota Seoul. Choi-lah yang menghubungkan Benny dengan Presiden Park Jung-hee. Benny belakangan memuluskan Kodeco untuk mendapat konsesi kontrak penambangan minyak di Madura.

Sejarah hidup Benny tak selalu ditorehkan dengan tinta emas. Namanya kerap dikaitkan dengan sejumlah aksi pelanggaran hak asasi manusia pada 1980-an. Ia misalnya disebut-sebut dalam kasus Tanjung Priok, penembakan tentara terhadap demonstrasi kelompok Islam garis keras. Benny, yang Katolik, kerap digunjingkan mengerdilkan Islam lewat peristiwa itu.

Ia juga disebut-sebut dalam peristiwa penembakan misterius-pembunuhan besar-besaran terhadap kriminal kelas kambing. Dikabarkan Benny pernah datang ke Yogyakarta menemui Komandan Komando Distrik Militer 0734 Yogyakarta Muhamad Hasbi-komandan lapangan "petrus". Terhadap anak buahnya itu, Benny memuji, "Bagus. Lanjutkan."

Ben Mboi, mantan kolega Benny-dalam suatu tulisan untuk mengenang sepuluh tahun kepergian sang Jenderal-menyebutkan kematian Benny membawa untold and unsolved stories.

****

PEMBACA, sepuluh tahun sudah Benny Moerdani berpulang. Jenderal yang jarang tersenyum itu wafat pada 29 Agustus 2004 pukul 00.45 di Paviliun Kartika, Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Edisi khusus ini juga ditulis di sekitar hari TNI, 5 Oktober. Dalam beberapa tahun terakhir, pada hari TNI, kami menulis edisi khusus tentang militer Indonesia, di antaranya Jenderal Soedirman, Sarwo Edhie Wibowo, dan Ali Moertopo.

Seperti yang sudah-sudah, penggalian bahan dilakukan melalui serangkai diskusi. Bahan kasar itu kemudian diperdalam dengan mewawancarai sejumlah sumber di pelbagai pelosok.

Tentang keterlibatan Benny dalam bisnis kopi di Timor Timur untuk membiayai operasi militer di sana, kami mewawancarai Robby Sumampow alias Robby Kethek, pengusaha yang dikenal dekat dengan Benny. Seorang redaktur diterbangkan ke Singapura untuk menemui Robby.

Tentang peran Benny dalam peristiwa Tanjung Priok, kami merekonstruksi kisah 30 tahun silam itu dengan mewawancarai salah seorang anak Kartosoewirjo, pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Sejumlah veteran tentara pelajar di Solo juga diinterviu untuk menggali profil Benny pada masa muda.

Dari para sejawat lama itulah ditemukan cerita bahwa Benny bukan tentara yang tanpa cacat. Seorang bekas perwira Operasi Khusus, "pasukan" klandestin yang dibentuk Ali Moertopo, menyebutkan Benny kerap bergerak tanpa informasi awal yang memadai.

Di Papua, banyak serdadu Benny tewas karena salah mendarat di rawa-rawa. Kesalahan perhitungan juga terjadi di Timor Leste. "Benny tak tahu kondisi gunung-gunung di Timor Timur. Dari atas tak terlihat gerilyawan kiri bersembunyi. Akibatnya, begitu pasukan Benny turun, segera ditembaki oleh Fretilin," katanya.

Edisi khusus ini juga menggali konflik Benny dengan Panglima Angkatan Darat Ahmad Yani, atasannya. Yani-lah yang memindahkan Benny dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) ke Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Bagi Benny, mutasi itu seperti hukuman. Berpuluh tahun Benny tak mau mengenakan baret merah Kopassus, nama RPKAD belakangan.

Tapi justru di Kostrad-lah Benny bertemu dengan Ali Moertopo, yang mengajaknya bergabung dengan Operasi Khusus. Bersama Ali-lah Benny kemudian menggelar banyak operasi, yang satu di antaranya adalah infiltrasi ke Malaysia.

Pertemuan dengan Ali Moertopo juga "mempertemukan" Benny dengan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), lembaga pemikir yang didirikan Ali.

Didirikan pada 1971, CSIS berperan memberi masukan kepada Soeharto perihal isu ekonomi, politik, dan hubungan internasional. Pada bagian ini, kami menelusuri kaitan Benny dengan pendeta Katolik, Romo Josephus Gerardus Beek, yang disebut-sebut sangat antikomunis.

Dalam disertasinya berjudul Feeling Threatened: Muslim-Christian Relations in Indonesia's New Order, Mujiburrahman menyebut Beek sebagai rohaniwan yang membina aliansi Katolik-militer. Dalam konteks inilah nama Benny dibicarakan. Pelatihan-pelatihan Khasebul (Khalwat Sebulan) yang diselenggarakan Beek disebut-sebut bukan sekadar pelatihan rohani, melainkan juga intelijen-sesuatu yang disangkal para pendiri CSIS dan kalangan gereja Katolik.

Pembaca, dalam hiruk-pikuk politik pasca-pemilu yang tak mengenal kata surut, kami sejenak mengajak Anda "berhenti": menengok masa lalu yang kami harap bisa membuat Anda tak melulu berpikir tentang masa kini. Kali ini, "jeda" yang kami pilihkan adalah cerita tentang Benny Moerdani.

Selamat membaca. «


Tim Edisi Khusus Benny Moerdani
PENANGGUNG JAWAB: Seno Joko Suyono, Philipus Parera. PEMIMPIN PROYEK: Nurdin Kalim, Dody Hidayat, Jobpie Sugiharto, Kurniawan, Purwani Diyah Prabandari, Sukma N. Loppies. PENULIS: Abdul Manan, Agoeng Wijaya, Agung Sedayu, Agus Supriyanto, Akbar Tri Kurniawan, Ananda Wardhana Badudu, Angga Sukma Wijaya, Anton Septian, Arie Firdaus, Dody Hidayat, Erwin Prima Putra Z., Fery Firmansyah, Gabriel Wahyu Titiyoga, Heru Triyono, Ira Guslina Sufa, Isma Savitri, I Wayan Agus Purnomo, Jobpie Sugiharto, Kurniawan, Mahardika Satria Hadi, Maria Yuniar Ardhati, M. Reza Maulana, Mustafa Silalahi, Nurdin Kalim, Nunuy Nurhayati, Purwani Diyah Prabandari, Retno Endah Dianing Sari, Rusman Paraqbueq, Seno Joko Suyono, Sukma N. Loppies, Yuliawati. PENYUMBANG BAHAN: Abdul Manan, Agoeng Wijaya, Agung Sedayu, Agus Supriyanto, Akbar Tri Kurniawan, Ananda Wardhana Badudu, Angga Sukma Wijaya, Anton Septian, Arie Firdaus, Dody Hidayat, Erwin Prima Putra Z., Fery Firmansyah, Gabriel Wahyu Titiyoga, Heru Triyono, Ira Guslina Sufa, Isma Savitri, I Wayan Agus Purnomo, Jobpie Sugiharto, Kurniawan, Mahardika Satria Hadi, Maria Yuniar Ardhati, Muhammad Iqbal Muhtarom, M. Reza Maulana, Mustafa Silalahi, Nunuy Nurhayati, Nurdin Kalim, Purwani Diyah Prabandari, Retno Endah Dianing Sari, Rusman Paraqbueq, Seno Joko Suyono, Sukma N. Loppies, Yuliawati, Ahmad Rafiq (Solo), Akhyar H.M. Nur (Bima), Ika Ningtyas (Situbondo), Jerry Omona (Merauke), Muh. Syaifullah (Yogyakarta), Nofika Dian Nugroho (Ponorogo), Shinta Maharani (Yogyakarta), Sohirin (Semarang), Supriyantho Khafid (Mataram), Seulki Lee (Seoul). PENYUNTING: Arif Zulkifli, Bina Bektiati, Budi Setyarso, Hermien Y. Kleden, Idrus F. Shahab, L.R. Baskoro, Philipus Parera, Purwanto Setiadi, Qaris Tajudin, Seno Joko Suyono, Setri Yasra, Tulus Wijanarko, Yosep Suprayogi, Yos Rizal Suriaji. RISET: Evan Kusumah, Soleh, Danni Muhadiansyah, Driyandono BAHASA: Uu Suhardi, Sapto Nugroho, Iyan Bastian. FOTO: Jati Mahatmaji (koordinator), Ijar Karim, Nita Dian, Ratih P.N. DESAIN: Eko Punto Pambudi, Djunaedi, Gatot Pandego, Kendra H. Paramita, Rizal Zulfadly, Tri Watno Widodo, Yudha A.F.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus