Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menangkap Komandan Sendiri

Dari Solo, Benny menempuh pendidikan di Batujajar secara bertahap. Di situ dia menolak dilatih instruktur bule Idjon Djanbi. Ia terlibat penangkapan Komandan RPKAD, atasannya sendiri, Mayor Djaelani, yang dituduh hendak menggulingkan Nasution.

6 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inisial nama Komandan Korps Komando Angkatan Darat Mayor Mochammad Idjon Djanbi jadi gunjingan para prajurit yang tengah digodok menjadi anggota pasukan komando di Batujajar pada awal 1954. Para siswa militer itu mencurigai Djanbi sebagai mata-mata asing dengan menyebut inisialnya, MID, kependekan dari Militaire Inlichtingen Dienst, detasemen intelijen militer Belanda. Idjon Djanbi sendiri memang seorang bule. Ia bekas prajurit komando Belanda. Nama aslinya Rokus Bernardus Visser. Ia berganti nama setelah menikah dengan seorang perempuan Sunda.

Benny Moerdani, waktu itu 21 tahun, menolak dilatih Djanbi. Dari Solo, perjalanan Benny dari tentara pelajar menuju perwira cukup lapang. Mulai Januari 1951, ia menempuh pendidikan di Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat di Bandung. Pada April 1952, dia lulus sebagai perwira remaja. Setelah itu, ia menjalani pendidikan Sekolah Pelatih Infanteri. Dari sekolah ini, Benny digembleng sebagai calon instruktur pasukan komando di markas Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD), Batujajar, Bandung Barat. Di sinilah ia ditempa keras oleh Djanbi. Kerasnya latihan selama enam bulan membuat Benny dan kawan-kawan sering menggerundel di belakang Djanbi.

Aloysius Sugiyanto, angkatan pertama pendidikan komando, yang juga pernah dilatih Djanbi, menggambarkan kepada Tempo karakter Djanbi. "Orangnya sangat berdisiplin," kata Sugiyanto, kini 86 tahun. Penolakan para siswa mendapat angin. Ken Conboy dalam bukunya, Kopassus, mengatakan sejumlah pemimpin militer setuju melucuti kewenangan Djanbi, termasuk mengurangi porsi dalam melatih. Rencana ini urung terlaksana karena kapasitas penggantinya masih jauh di bawah Djanbi. Akhirnya, Djanbi boleh tetap menjadi Komandan KKAD dengan didampingi Mayor R.E. Djaelani dari Divisi Siliwangi sebagai wakilnya.

Enam bulan berlalu, 44 siswa dari 80 orang berhasil lulus. Benny salah seorang di antaranya. Tapi, sampai hari-hari selanjutnya, penolakan terhadap Djanbi tidak padam. Pada 25 Juli 1955, KKAD diganti namanya menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat atau RPKAD. Wakil Presiden Mohammad Hatta sendiri datang ke Batujajar meresmikan kelahiran RPKAD tersebut. Sejak itu pula baret hijau diganti dengan baret merah.

Kekuatan RPKAD setahun kemudian berlipat. Mereka mendapat tambahan 126 siswa yang lulus pendidikan. Merasa kemampuannya bertambah, kader senior mengusulkan RPKAD dipimpin pribumi. Para pemimpin militer di Jakarta setuju. Djanbi lantas ditawari jabatan yang jauh dari pelatihan komando. Ia tersinggung dan langsung minta pensiun. Akhirnya, ia menjadi kepala perkebunan di sekitar Cianjur, Jawa Barat. Mayor Djaelani didapuk menjadi Komandan RPKAD menggantikannya.

Sepeninggal Djanbi, RPKAD terseret ke dalam konflik petinggi Angkatan Darat. Peristiwa 17 Oktober 1952 menggoreskan luka di tubuh militer. Pada 17 Oktober itu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Kolonel Abdul Haris Nasution dan sejumlah perwira yang jengkel terhadap Sukarno menodongkan meriam ke Istana Negara. Akibatnya, mereka dicopot Presiden Sukarno. Salah seorang yang kabarnya memanas-manasi Sukarno agar memecat Nasution adalah Kolonel Zulkifli Lubis.

Kepala Staf Angkatan Darat kemudian dijabat Kolonel Bambang Sugeng. Pada Mei 1956, Bambang Sugeng meletakkan jabatannya. Pemerintah mengangkat Kolonel Bambang Utojo sebagai pengganti. Tapi ia ditolak para perwira, termasuk Zulkifli Lubis. "Mengapa saya menolak Bambang Utoyo, soalnya bukan karena Bambang Utoyo. Tapi karena kabinet Ali Sastroamidjojo. Terlalu mempolitisir keadaan," kata Zulkifli Lubis dalam wawancara dengan Tempo pada 1989. Pada pengujung Oktober 1956, pemerintah akhirnya menunjuk lagi Nasution sebagai KSAD.

Nasution resmi kembali menjabat pada 7 November 1956. Pangkatnya mayor jenderal. Kabar bahwa ia akan kembali ke pucuk Angkatan Darat tersebar sejak Agustus. Pada bulan itu pula TNI memutasi Zulkifli Lubis sebagai Panglima Tentara Teritorium I yang berkedudukan di Medan. Lubis melawan. Ia tak pernah muncul untuk dilantik. Ia malah merancang siasat menculik Nasution dan memaksa pemerintah mengganti pemimpin militer dan membubarkan parlemen.

Secara diam-diam Lubis menjalin kontak dengan perwira Divisi Siliwangi. Dari situ, Lubis berhasil membujuk Mayor Djaelani, Komandan RPKAD, untuk bergabung. Selain solidaritas, isu berkembang menjadi soal kesejahteraan prajurit. Perhatian pemerintah terhadap tentara dinilai merosot.

Kepada Tempo, Sugiyanto menceritakan bahwa dia adalah perwira kepercayaan Djaelani. "Selama untuk perbaikan bersama, saya dukung," ujarnya menjelaskan alasan mengapa ia bersama Djaelani. Sugiyanto mengisahkan ia sering diutus Djaelani mengikuti rapat merencanakan gerakan "penculikan Nasution". Rapat-rapat, menurut dia, memutuskan pasukan Siliwangi bakal mengawali pergerakan, baru kemudian didukung RPKAD.

Dalam rapat, diputuskan pasukan Siliwangi dan pasukan RPKAD akan bertemu. Hari-H pertemuan itu ditetapkan pada 16 November 1956. Titik temu pasukan disepakati di Kranji, Bekasi. Pada 16 November subuh, Mayor Djaelani kemudian menurut Ken Conboy membawa peleton Kompi A, yang sesungguhnya komandan kompinya adalah Benny. Benny Moerdani saat itu tak ada di Batujajar karena sakit. "Dia dirawat di rumah sakit Cimahi," kata Sugiyanto.

Di Kranji, sampai tengah hari, pasukan Siliwangi yang dinanti-nanti tak pernah muncul. Djaelani yang kecewa akhirnya membawa Prajurit RPKAD kembali ke Batujajar. Di Batujajar, Djaelani tetap setia pada rencana semula. Ia kembali merancang gerakan "kudeta". Tiga hari setelah pulang dari Kranji, Kolonel Zulkifli Lubis bahkan datang sendiri secara rahasia ke Batujajar meminta Djaelani dan RPKAD menajamkan rencana itu.

Pada 21 November, setelah kedatangan Kolonel Zulkifli Lubis ke Batujajar itu, terjadi keributan di Batujajar. Senapan menyalak bersahut-sahutan di markas Batujajar. Sekelompok sersan dari Kompi B mencari-cari Djaelani. Mereka ingin menangkap Djaelani dan perwira-perwira Kompi A yang terlibat plot "penculikan" Nasution itu. Kapten Soepomo, mantan anggota RPKAD dari Kompi A, juga datang mengendarai tank dari markas kavaleri di Bandung. Djaelani sendiri saat itu tidak berada di Batujajar. Ia sedang di Bandung untuk menghadiri acara di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat atau SSKAD.

Kepada Tempo, Sugiyanto menyebut Soepomo sebagai otak penangkapan Djaelani. Sang Kapten bekerja sama dengan para juniornya di RPKAD, termasuk Benny Moerdani. Saat kejadian itu, Benny baru saja kembali ke Batujajar setelah sekian lama dirawat di rumah sakit. "Sesungguhnya Soepomo memberikan komando kepada Benny untuk bergerak," ujar Sugiyanto. Benny kemudian bahkan menguber Djaelani ke acara SSKAD. Ia mengajak rekan-rekannya sesama alumnus sekolah pendidikan instruktur menyusul Djaelani.

Julius Pour menulis versi lain. Menurut Julius dalam bukunya, Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan, Kapten Soepomo memang datang naik tank untuk mencari Djaelani. Bennylah yang menghadang Soepomo di gerbang SSKAD. "Lebih baik Bapak pulang saja, daripada darah mengalir tanpa guna. Kita selesaikan saja ini," kata Benny. Soepomo dapat dibujuk.

Tapi sebenarnya, kata Sugiyanto, Benny sudah berencana menangkap Djaelani pada malam sebelum dia berangkat ke SSKAD. Benny, yang saat itu sudah di Batujajar, menawarkan diri mengawal kepergian Djaelani ke Bandung, tapi ditolak. "Benny ingin mengawal agar bisa menangkap Pak Djaelani," ujarnya.

Akhir nasib Djaelani sudah bisa diramal. Menurut Sugiyanto, ia akhirnya menyerahkan diri dan kariernya tamat. Ia kemudian ditahan di Salatiga. Semua perwira yang terlibat gerakan itu juga diperiksa dan dipensiunkan dari RPKAD. Sugiyanto satu-satunya perwira yang tak dipecat karena Wakil KSAD Gatot Soebroto turun tangan. Meski demikian, ia harus pindah ke kesatuan lain dengan lebih dulu dikurung selama enam bulan. "Benny berhasil menenangkan pasukan yang ngamuk di Batujajar. Tapi Benny juga tega menyerahkan teman-temanya sendiri," kata Sugiyanto

Hari itu juga Benny menaikkan kawan-kawannya sendiri yang dianggap terlibat gerakan ke truk dan menyerahkan mereka ke piket Garnisun Bandung. Benny kemudian bersama rekan-rekan lain yang tak terlibat aksi "penggulingan" Nasution pergi ke SSKAD Bandung. Rupanya, di sana sedang berlangsung acara yang dihadiri petinggi tentara. Benny gamang masuk karena menyadari ia masih perwira remaja. Kedatangan mereka rupanya mengundang curiga. Benny dan kawan-kawan segera dikepung pasukan dari kesatuan lain. "Kami datang hanya ingin menemui Pak Djaelani." Ia akhirnya diizinkan masuk ke SSKAD dan bertemu dengan Djaelani.

Benny segera menceritakan situasi peleton-peleton yang mengamuk di Batujajar. Benny, pada usianya yang masih 24 tahun saat itu, menyarankan kepada Mayor Djaelani agar situasi tersebut ditangani sendiri oleh RPKAD. "Kan, malu kalau harus minta bantuan pasukan lain," ujarnya. Djaelani tak bisa berkata-kata. Ia segera melepaskan pistolnya dan menyerahkannya kepada Benny. «

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus