Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Misi-misi Muskil Unsmiling General

Dunia Benny Moerdani adalah dunia keberanian dan ketegasan. Dia memulai karier militernya pada usia sangat muda. Benny telah menyandang senjata saat berusia 13 tahun. Di kala pendidikan komando, pada usia 20-an tahun, dia secara dingin "menangkap" komandannya sendiri yang terlibat dalam rencana penculikan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Mayor Jenderal A.H. Nasution.

Hidupnya kemudian berjalan dari satu operasi militer ke operasi militer lain, dari Operasi Naga di Irian Barat, penumpasan pemberontakan PRRI/Permesta, hingga konfrontasi Malaysia. Dalam memimpin pertempuran, unsmiling general alias jenderal yang irit senyum ini tidak berpikir tentang strategi secara sistematis. Baginya, medan tempur adalah masalah eksekusi.

6 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mata-mata di pertempuran Solo

Benny memulai karier militer sebagai tentara pelajar di Solo. Ia kerap disusupkan untuk mencuri dengar perbincangan tentara Belanda.

Ribuan nisan berjajar memenuhi Taman Pemakaman Umum Bonoloyo, Kadipiro, Banjarsari, Solo. Di kompleks pemakaman seluas 11 hektare itulah Raden Gerardus Moerdani Sosrodirdjo dan Jeanne Roech dimakamkan. Kedua orang tua Benny Moerdani itu dimakamkan berdampingan dengan tiga makam kerabatnya yang lain dalam satu kelompok makam keluarga, yang oleh masyarakat setempat disebut pamijen. Di batu nisan yang menancap di ketiga makam itu tertulis nama Bambang Moersito, Soeradji Hardjowinoto, dan Inah Hardjowinoto.

Beberapa meter dari pamijen tersebut, terdapat pamijen lain. Dari nama-nama yang tertulis di batu nisan, pamijen itu juga makam keluarga Moerdani. Beberapa di antaranya adalah Karel Roech, Josep Roech, Napoleon Roech, Wilhelm Alexander Roech, dan Welmina Roech. Di pamijen itu pula Sandy Moerdani dimakamkan. Sebuah tongkat dengan bendera merah tertancap di samping nisannya sebagai tanda ia seorang veteran perang.

Sandy adalah kakak kandung Benny. Ia meninggal di Jakarta, 20 Desember 1986, pada usia 58 tahun. Semasa perang kemerdekaan, Sandy pernah menjadi tentara pelajar dan bertempur melawan pasukan Belanda bersama Brigade V/Panembahan Senopati yang dipimpin Letnan Kolonel Slamet Riyadi. Semangat bertempurnya menular ke dua adiknya, Harry dan Benny.

"Harry dan Benny juga menjadi tentara pelajar, tapi mereka bergabung dengan Detasemen II Tentara Pelajar Brigade 17 yang dipimpin Mayor Achmadi," kata Aloysius Sugiyanto, bekas perwira menengah Badan Koordinasi Intelijen Negara, yang pernah menjadi ajudan Slamet Riyadi. Sayang, Tempo tak bisa mendapat cerita banyak dari Harry, yang kini bermukim di Jakarta. Lewat putrinya, Mutiara, Harry menyatakan menolak diwawancarai.

Benny ketika itu sebagai pupuk bawang (anak kecil) karena memang masih bocah. Nyawa Benny hampir hilang saat bertempur melawan Belanda yang menyerbu Solo pada 21 Desember 1948. Waktu itu, pasukan Tentara Pelajar sedang beristirahat di simpang empat Kampung Sekarpace, 400 meter ke arah barat dari tanggul Bengawan Solo, setelah berlari menghindari serangan Belanda yang membombardir Solo. Tiba-tiba sebuah Bren Carrier Belanda bertengger di atas tanggul dan langsung memuntahkan peluru. Satu peluru mengenai ujung senapan Benny. Serpihannya menyebar melukai wajahnya. Benny, yang waktu itu berumur 16 tahun, pingsan dan kemudian diselamatkan teman-temannya dari gempuran pesawat Belanda.

Lahir di Cepu, 2 Oktober 1932, lelaki bernama lengkap Leonardus Benjamin Moerdani ini adalah anak ketiga pasangan Raden Gerardus Moerdani Sosrodirdjo dan Jeanne Roech. Ketika menikah dengan Jeanne, guru taman kanak-kanak asal Magelang yang masih keturunan Jerman, Moerdani sudah punya tiga anak laki-laki. Dengan Jeanne, ia dikaruniai sepuluh anak, yakni Sandy, Harry, Benny, Sri Noerna, Anima, Biediati, Julia, Haroen Moerjanto, Moedjono, dan Bambang Moersito.

Maria Sri Noerna Sidharta, adik perempuan Benny, kepada Tempo pekan lalu mengatakan ayah mereka bekerja di Nederland Indische Spoorweg Maatschappij, perusahaan kereta api Hindia Belanda. Pekerjaan sang ayah tersebut membuat mereka harus berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Berawal dari Cepu, keluarga Moerdani pindah ke Semarang, Bojonegoro, lalu ke Solo. Di Solo, mereka tinggal di rumah dinas milik perusahaan kereta api, tak jauh dari stasiun.

Noerna, yang hanya berselisih dua tahun dengan Benny, bercerita bahwa ketika kecil Benny kerap menjailinya. "Dia nakal," ujar perempuan 80 tahun itu sambil tersenyum mengenang kelakuan sang kakak. Pernah suatu kali, Benny menaburkan bedak ke muka dan rambutnya. Noerna, yang tidak berani melawan, hanya bisa menangis. Biasanya Benny baru berhenti mengganggu setelah ayah mereka berteriak memarahinya.

Noerna-istri mendiang pematung Gregorius Sidharta Soegijo-kini tinggal bersama salah seorang putrinya di Solo. Ia ingat Benny sering mendapat hukuman dari ayahnya karena kejailannya. Pernah satu hari dia melihat Benny dipukul ayahnya dengan piring. Sayang, dia tidak ingat kesalahan yang diperbuat Benny waktu itu hingga menerima hukuman tersebut.

Gara-gara takut dimarahi sang ayah pula Benny sempat tak pulang ke rumah berbulan-bulan. Ini berawal ketika dia ikut kerumunan massa yang menyerang markas Kempeitai (polisi rahasia Jepang). Waktu itu usianya 13 tahun. "Saya kepepet dan ikut-ikutan nyerbu. Waktu keadaan reda, saya sadar bahwa saya ada di halaman markas itu, memegang senjata Arisaka, bedil buatan Jepang," kata Benny saat diwawancarai Tempo, Desember 1988.

Benny kemudian memilih ikut serombongan orang yang berbaris membawa senjata dan menginap di asrama. Sekitar enam bulan, Benny, yang waktu itu masih pelajar kelas I SMP Negeri IV di Banjarsari, ikut barisan pemuda tersebut. Selama itu pula ayahnya mencari anaknya yang "hilang". Melalui teman-temannya, sang ayah bisa menemukan Benny, lalu membujuknya agar pulang. "Setelah pulang, saya terus masuk Tentara Pelajar, yang waktu itu sudah terbentuk. Enam bulan sekolah, enam bulan dikirim ke front. Begitu terus sampai saya kelas I atau kelas II SMA," ujarnya.

Suhendro Sosrosuwarno, Komandan Kompi III Detasemen II Tentara Pelajar Brigade 17, mengenang Benny sebagai salah satu anak buahnya. Ketika serangan umum empat hari di Solo, 7-10 Agustus 1949, Suhendro, yang berpangkat kapten, menjadi Komandan Rayon I Sub Wehrkreise (SWK) 106 Arjuna yang dipimpin Mayor Achmadi. SWK 106 Arjuna sendiri terdiri atas empat rayon. Tiga rayon lain masing-masing dipimpin Letnan Satu Sumarto (Rayon II), Kapten Prakoso (Rayon III), dan Kapten A. Latif (Rayon IV), plus pasukan yang dipimpin Letnan Satu Hartono yang bergerilya di dalam Kota Solo.

Sebagai komandan rayon, Suhendro memiliki ratusan anak buah, yang terbagi dalam beberapa regu. Satu regu pasukan terdiri atas 30-50 anggota. Benny Moerdani tergabung dalam regu yang dipimpin Darmadi. Bersama pasukan Brigade V/Panembahan Senopati yang dipimpin Letkol Slamet Riyadi, mereka menyerang Belanda dari berbagai penjuru.

Saat Tempo menemui Suhendro di Solo, tak banyak yang bisa diingat dia tentang Benny. Usia Suhendro dengan Benny memang terpaut cukup jauh, sekitar tujuh tahun. "Saya justru sebaya dengan salah satu kakaknya, Harry Moerdani, yang juga aktif dalam perjuangan Tentara Pelajar di Solo," ujarnya. Benny, kata Suhendro, saat itu masih sangat muda, sekitar 17 tahun, dan masih duduk di kelas II SMA Negeri Margoyudan. "Tapi dia dikenal sebagai anak pemberani," ujar lelaki 89 tahun ini kala disambangi di rumahnya di Solo. Benny juga cukup fasih berbahasa Belanda. Tak aneh bila ia kerap disusupkan untuk mencuri dengar perbincangan tentara Belanda.

Karena keberaniannya pula Benny terpilih sebagai salah satu tentara perintis Batalion 120 di kesatuan Tentara Pelajar. Menurut Suhendro, tidak banyak anggotanya yang bisa masuk ke batalion tersebut. "Hanya orang-orang pilihan," katanya. Salah satu kelebihan batalion itu adalah kemampuan melakukan tembakan jitu. "Tembakan paling akurat adalah tembakan yang dilakukan dari jarak dekat," ujarnya. Itu sebabnya hanya tentara pemberani yang bisa masuk ke batalion yang bermarkas di sekitar Pasar Legi tersebut.

Kemauan Benny menjadi tentara memang sangat besar. Ketika perang berakhir, ia sempat mengirimkan surat pendaftaran untuk mengikut pendidikan militer di angkatan udara, laut, dan udara, setelah membaca iklan di koran Merdeka. Terbitnya Surat Keputusan Menteri Pertahanan Nomor 193/MP/50 tentang proses demobilisasi makin memberi peluang bagi Benny untuk berdinas di militer. Benny memilih tawaran melanjutkan pendidikan di Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat di Bandung. Berbeda dengan Benny, Sandy dan Harry memilih menjadi pebisnis. Terlebih ketika ayah mereka wafat di Yogyakarta, pada 1958.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus