Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"It’s cheap, Sir, cheap.…” Seorang pria kurus berjenggot dan memakai shirwal-qamis—pakaian khas pria Pakistan—berteriak kepada kami. Dia duduk bersila di lapaknya yang sempit di Pasar Karkhano, tak jauh dari Peshawar, Pakistan. Ia menjual berbagai jenis peralatan pertukangan. Saya hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Sore itu kami memang tidak berniat belanja, apalagi membeli peralatan pertukangan seperti itu. Hujan semakin deras. Kami berteduh, sambil memandang jalanan yang semakin becek.
Murah adalah nama tengah pasar yang juga dikenal dengan Bara Market ini. Kita bisa mendapatkan berbagai barang, terutama elektronik, dengan harga lebih murah dibanding semua pasar di Pakistan. Setidaknya saya pernah merasakan murahnya harga barang-barang di pasar yang riuh itu lima tahun lalu, ketika datang ke situ pertama kali. Saat itu, ada kebodohan yang saya lakukan: alat perekam kecil yang biasa saya gunakan untuk wawancara tertinggal di Tanah Air. Apa boleh buat, saya harus membelinya di Pakistan sebelum menyeberang ke Afganistan. Dengan hanya uang sekitar Rp 200 ribu saya mendapatkan alat perekam buatan Cina. Tak terlalu bagus, tapi oke.
Di toko itu juga dijual Sony Wega 21 inci dengan harga US$ 400—sesuatu yang di toko resmi harganya bisa mencapai US$ 440. Jika mujur kita bisa mendapatkan selisih harga hingga 50 persen. Tapi untuk mendapatkan harga seberuntung itu jangan berpikir mendapatkan layanan yang memuaskan seperti toko berpendingin dan layanan purnajual (garansi kerusakan).
Inilah pasar ”abu-abu”, dengan barang-barang gelap hasil selundupan di mana-mana. Tapi tak perlu khawatir ditangkap polisi akan menahan di saat kita menggotong kulkas buatan Rusia—yang mereknya tak terbaca—keluar dari pasar kumuh itu.
Pasar ini didirikan pada awal 1980-an ketika Uni Soviet baru menginvasi Afganistan dan pengungsi membanjiri wilayah Pakistan yang berbatasan dengan negeri malang itu. Duit CIA pun mengucur ke kawasan itu untuk membiayai para komandan mujahidin yang memang menjadikan Peshawar atau kota North West Frontier Province (NWFP) sebagai rumah kedua mereka. Dan uang itu rupanya tidak hanya dipakai untuk membeli senjata, tapi juga diputar. Merekalah penguasa perbatasan. Dari bisnis penyelundupan itu mereka memetik banyak keuntungan. Di negeri tak bertuan itu tak ada orang yang peduli dengan penyelundupan.
Barang-barang yang diselundupkan ke Afganistan umumnya berasal dari negeri-negeri tetangga, terutama Cina. Barang-barang elektronik bebas masuk tanpa pengawasan yang ketat. Ada juga yang diimpor secara legal, terutama di masa Taliban. Saat para militan itu berkuasa, ada peraturan kepabeanan yang sedikit ketat, meski unik. Pajak barang elektronik tidak diukur dari harganya, tapi beratnya. Misalnya, mereka mengutip US$ 5–10 sen untuk setiap kilogram televisi.
Dari Afganistan, barang-barang itu kemudian diselundupkan ke Pakistan lewat pegunungan. ”Mereka membawanya dengan keledai atau dipanggul sendiri,” kata Tariq Khan, warga Peshawar dari suku Pashtun yang mengaku berbisnis ekspor-impor legal ke Tajikistan, negeri tempat istri keduanya. Saat ini mereka juga menggunakan sepeda motor yang melintasi jalan-jalan tikus untuk menghindari polisi perbatasan Pakistan. Ada 100–150 kurir selundupan yang dalam bahasa Pashtun disebut gandamar (pembawa). Setiap hari para gandamar mempertaruhkan nyawa mereka membawa selundupan melalui jalan tikus.
Barang-barang seperti itulah yang kemudian memenuhi Karkhano. Menurut surat kabar Pakistan, The News, kini segala macam barang berkualitas rendah dari Cina juga ikut menyesaki pasar yang berdebu itu. Selimut, obat, biskuit, saus tomat, hingga pensil pun bisa kita dapatkan. Bahkan menurut The Daily Times, juga surat kabar Pakistan, sejumlah bantuan kemanusiaan dari lembaga asing dijual di sini. Semua dijual dengan harga miring dan tiada yang peduli.
Meski pasar itu terlihat kumuh dan becek, duit yang berputar cukup deras. Studi yang dilakukan Bank Dunia pada 1999 menunjukkan bahwa dalam setahun, televisi yang diselundupkan dari Afganistan dan dijual di Karkhano nilainya mencapai US$ 367 juta. Ada gula ada semut. Yang berbisnis seperti ini tentu bukan cuma para komandan mujahidin, tapi juga para pengungsi Afgan yang memiliki akses pada kekuasaan di Afganistan. ”Mereka kini menjadi penguasa perekonomian Peshawar,” kata Tariq. ”Kami yang berdagang secara legal tak mungkin bisa bersaing dengan mereka.” Ia berharap pemerintah Pakistan mau menertibkan hal itu, tapi dia juga sadar akan kesulitannya. ”Pasti ada gejolak, dan saya yakin pemerintah tidak mau mengambil risiko itu.”
Pemerintah Pakistan mungkin memang tak mau mengambil risiko itu, tapi mereka mungkin juga tahu hal itu sia-sia selama Afganistan masih menjadi negeri tak bertuan. Penyelundupan tetap akan terjadi selama negeri itu terus bergejolak, pengungsi dan pelintas batas masih ramai, dan kontrol pemerintah Afganistan amat lemah.
Harapan itu ada. Setidaknya itulah yang dilihat oleh Mayor Haseeb, komandan pos perbatasan Michni, melalui teropongnya di siang yang berkabut di Khyber Pass, Pegunungan Hindu Kush. ”Lihat truk-truk beterpal hitam yang antre di gerbang perbatasan itu,” katanya sambil menyerahkan teropongnya. ”Sejak perang usai, perdagangan resmi Pakistan-Afganistan semakin lancar. Semoga ini berlangsung selamanya.”
Qaris Tajudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo