Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Da Dili takht herauma cheh rayad krhm, Zma da khkule Pukhtunkhwa da ghre saroona.(Kulupakan takhta Delhi saat kuingat, puncak-puncak gunung di Pukhtunkhwa yang cantik)
Sajak yang amat populer di kalangan suku Pashtun itu digubah oleh Ahmad Shah Abdali, penyair Pashtun abad ke-11. Ada semangat ke-pashtun-an kental di dalamnya. Ia berbicara tentang Pukhtunkhwa atau wilayah Pashtun, yang terbentang dari Kabul di jantung Afganistan hingga Quetta di Pakistan; dari dataran tinggi di selatan Herat hingga aliran sungai Indus di dekat Peshawar.
Ya, Pashtun yang kaya, luas dan makmur. Meliputi Afganistan dan Pakisan, dengan pegunungan, lembah subur, dan sungai-sungai besar.
Tapi Pashtun bukan cuma itu. Penyair lainnya, Khushal Khan Khattak, bercerita tentang Pashtun yang terjajah di abad ke-17. Khattak bergerilya di Pegunungan Hindu Kush yang dingin sampai akhirnya penguasa Moghul, Aurangzeb, memenjarakannya. Sebagaimana rekan-rekan sesama Pashtun, Khattak membayangkan sebuah negara berdaulat di atas bentangan tanah Pukhtunkhwa. Terpisah dari orang-orang Tajik dan Parsi di utara serta orang-orang Punjabi (Pakistan) di selatan.
Identitas Pashtun memang sudah tertanam lama. Mereka bahkan telah memiliki bendera untuk negeri impian itu: berwarna dasar merah dan hitam, dengan lingkaran bergambar dua puncak gunung hijau bersalju dan matahari mengintip di tengahnya. Di atas lingkaran itu ada tulisan ”Allahu Akbar” dan di bawahnya ”Pashtunistan”. Keduanya ditulis dengan huruf Arab-Urdu.
Bendera itu pertama kali saya lihat di sebuah markas seorang war lord, pemimpin lokal, di luar kota Ahmadabad, Afganistan, lima tahun silam. Namanya Haji Zaman. Ia seorang nasionalis Pashtun yang taat pada loya jirga (permusyawaratan suku-suku) dan Raja Zhahir Shah—saat itu berada di pengasingan setelah diturunkan komunis—meski banyak orang yang meragukan ketulusannya berjuang. ”Dia itu pembegal,” kata Fairuz Khan, pemandu saya saat itu, berbisik. ”Dia mencuri sapi dan ternak lainnya dari rakyat. Alasannya adalah untuk membiayai perjuangan.”
Nasionalisme, romantisisme, atau pemanfaatan keduanya, tak banyak yang peduli. Pashtunistan lebih mirip fatamorgana daripada cita-cita. ”Kami selalu mendengar tentang hal itu, tapi siapa bisa mendirikannya?” kata Tariq Khan, pengungsi Pashtun yang makmur di Peshawar, Pakistan. Ia menceritakan nasib sukunya yang terombang-ambing itu sambil menawarkan makanan penutup yang amat legit di restoran hotel bintang lima yang benar-benar mewah.
Tapi ia benar. Mendirikan Pashtunistan bukan cuma berarti harus berperang dengan Pakistan dan Afganistan, tapi juga menyatukan seluruh Pashtun. Dan itulah yang paling mustahil.
Di masa lalu, mereka telah membuang banyak kesempatan. Sepanjang sejarah, tak banyak waktu yang dapat dimanfaatkan Pashtun untuk bersatu dan berada di bawah satu bendera. Kekaisaran Afgan pertama didirikan pada awal abad ke-18, tepatnya pada 1747, oleh Ahmad Shah Durrani. Ia adalah raja pertama yang berhasil menyatukan Pashtun dan mendirikan Afganistan yang saat itu wilayahnya sebagian besar adalah tanah Pashtun.
Afganistan memang tak bisa dipisahkan dari Pashtun. Kata Afgan sendiri diyakini berasal dari bahasa Pashtun: Apagan, yang artinya berani. Ini sebenarnya gelar Raja Shapur I yang pada abad ke-3 pernah menguasai sebagian tanah Afganistan. Pashtun lalu mengadopsinya jadi nama suku mereka setelah Islam datang ke kawasan itu pada abad ke-10. Setidaknya, demikianlah yang diceritakan dalam kitab geografi berbahasa Arab, Hudud al-Alam min al-Mashriq ila al-Maghrib (Batas-batas Dunia dari Timur ke Barat).
Namun, kekuasaan Dinasti Durrani (dan kemudian Dinasti Barakzai) tak berlangsung lama. Inggris yang sudah menguasai India (yang di dalamnya termasuk Pakistan) berusaha melebarkan sayapnya ke utara. Mereka merangsek maju melewati Sungai Indus dan Pegunungan Hindu Kush. Pada 1893, akhirnya disepakati pembagian wilayah Pashtun menjadi dua bagian yang dipisahkan oleh Durand Line, tapal batas sepanjang 2.600 kilometer yang disepakati antara Raja Abdur Rahman dari Afganistan dan Sir Mortimer Durand dari Inggris. Pembagian inilah yang kemudian membangkitkan cita-cita lama untuk membentuk Pashtunistan, terutama di wilayah Pashtun di Pakistan.
Pashtun memang memiliki segalanya untuk menjadi bangsa yang kuat. Sumber daya manusianya melimpah: 40 juta orang. Di Afganistan mereka meliputi 42 persen dari total penduduk, di Pakistan 15 persen. Mereka pandai berperang. Dulu Timur Lenkh—kemudian Inggris—mendirikan benteng-benteng yang melindunginya dari serangan Pashtun yang tak mengenal waktu.
”Kejantanan dan keterusterangan adalah sifat mereka yang menonjol,” kata Qamar-uz-Zaman dari Institute of Regional Studies, lembaga think-tank yang berpusat di Islamabad dan didirikan oleh sejumlah jenderal yang loyal pada Presiden Musharraf.
Pashtun sangat independen. Itulah yang membuat Pakistan memberlakukan aturan spesial di kantong-kantong mereka—wilayah otonomi khusus yang dikenal sebagai Tribal Area. Di daerah yang berbatasan langsung dengan Afganistan ini, seorang kepala suku lebih disegani daripada wakil pemerintah. Sesuai dengan adat, pria boleh menenteng senjata ke mana-mana. Toko dan bengkel senjata bisa kita temui di pinggir jalanan yang becek. Ya, Tribal Area merupakan wild west-nya Pakistan.
Dari atmosfer seperti itu, lahirlah jago-jago tembak Pashtun. ”Mereka adalah sniper terbaik,” kata Mayor Haseeb, komandan Michni Post yang mengawasi perbatasan Pakistan-Afganistan dan jalur Khyber Pass yang mengulari Pegunungan Hindu Kush. ”Dengan senjata yang baik, mereka dapat menembak kaleng dari jarak 500 meter.”
Mayor Haseeb juga memiliki resimen khusus yang terdiri dari orang-orang Pashtun. ”Anggotanya dibolehkan berambut panjang, sampai setengkuk,” katanya. Memanjangkan rambut adalah tradisi khas para pejuang Pashtun. Lima tahun lalu, di sebuah losmen kumuh di Ahmadabad, saya pernah melihat satu grup gerilyawan berambut panjang yang hanya turun gunung seminggu sekali. Tapi resimen Pashtun yang diceritakan Mayor Haseeb itu bukan dibentuk karena mereka berambut panjang atau jago menembak, melainkan ”karena orang Pashtun hanya bisa diatur oleh orang Pashtun sendiri”.
Orang Pashtun juga amat loyal kepada adat dan keyakinannya, misalnya Pashtun Wali. Itulah kode etik yang dibuat sebelum kedatangan Islam, tapi pengaruhnya berlanjut hingga kini. Pashtun Wali menyuruh mereka jadi tuan rumah yang baik. Demi tamu, mereka tidak akan ragu mengorbankan nyawa sendiri. Banyak yang yakin itulah yang mereka lakukan saat melindungi Usamah bin Ladin pada 2001. Taliban yang Pashtun itu merasa wajib melindungi orang yang paling diburu oleh Amerika Serikat.
Pesan Pushtun Wali ini terpantul dengan jelas di sebuah dinding beton, di perbatasan Provinsi Punjab dan NWFP. ”Welcome to Land of Hospitality”. Menjamu tamu dengan amat baik adalah salah satu hal menonjol dari suku ini.
Keteguhan yang sama mereka berlakukan setelah Islam datang. Kini orang Pashtun dikenal lebih militan dibanding suku-suku lain. ”Begitu kita menyeberang Sungai Indus, kita akan melihat manusia yang berbeda,” kata Qamar-uz-Zaman dari IRS. Saat itu kami berada di dalam mobil yang akan menyeberangi jembatan Sungai Indus, batas provinsi NWFP. ”Prianya memakai sorban dan perempuannya amat jarang kita jumpai di jalanan. Kalaupun ada, mereka memakai burqa.”
Pashtun memelihara tradisi yang bagus, sekaligus menjebak. Keberanian dan independensi membuat mereka tak pernah selesai berperang. Mereka susah diatur dalam satu kepemimpinan kolektif. ”Hal ini diperparah oleh kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah,” kata Qamar. Tingkat buta huruf mencapai 64 persen (88 persen pada perempuan). Kalaupun bersekolah, mereka lebih senang pergi ke madrasah-madrasah yang diasuh oleh mullah-mullah militan. Militansi, kebodohan, dan kemiskinan adalah resep efektif bagi konflik tiada henti.
Di saat seperti ini, mereka membutuhkan pemimpin kuat yang memiliki visi yang baik. Sayangnya, mereka juga tak memiliki itu. Meski Afganistan saat ini dipimpin oleh Karzai yang berasal dari Pashtun, tak banyak yang menaatinya sepenuh hati. Mereka lebih terobsesi untuk memiliki pemimpin seperti Ahmad Shah Masoud yang tewas pada 2001 oleh bom dari anak buah Usamah. Singa dari Lembah Pandsyir itu hingga kini dikenang sebagai pemimpin yang sebenarnya. Fotonya dapat dijumpai di setiap sudut kota-kota Pashtun seperti Jalalabad dan Kabul.
Tak ada jaminan memang, kehadiran pemimpin seperti Masoud mampu menyatukan mereka. Empat abad lalu pemimpin sekaliber Khushal Khan Khattak sudah mengeluhkan susahnya menyatukan potensi Pashtun dalam puisinya:
”Mereka mahir bermain pedang Tapi kurang bijak bermain akal Kalau mereka saling sokong Raja-raja akan berlutut dan memohon”
Qaris Tajudin (Peshawar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo