Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggapan untuk Goenawan Mohamad
Saya ingin memberikan komentar atas Catatan Pinggir dari Saudara Goenawan Mohamad dalam Tempo edisi 16–22 Juli 2007, halaman 14, berjudul ”Mereka”. Beberapa hal yang dikatakan tentang Paus Benediktus XVI sama sekali tidak benar; secara total salah.
Pertama, tidak benar bahwa selama Juli ini Paus Benediktus mengeluarkan pernyataan yang terkait dengan apa yang dirumuskan dalam dokumen ”Dominus Iesus”. Yang benar ialah pada 7 Juli 2007 Paus telah mengeluarkan dokumen ”Summerum Ponlificum”, yang isinya memberlakukan kembali buku perayaan Ekaristi dari Paus Pius V yang diedit ulang dan dipromulgasikan oleh Paus Yohanes XXIII pada 1962.
Dalam dokumen ini sama sekali tidak ditemukan ekspresi Extra Ecclesiam nulla salus, di luar Gereja tidak ada keselamatan, atau hal-hal yang tertulis di dalam ”Dominus Iesus”. Masuk akal jika tidak ditemukan, karena dokumen ini melulu untuk keperluan ibadat umat Katolik di seluruh dunia. Kesan saya, Anda tidak membaca dokumen terbaru ini. Hanya stereotipe.
Kedua, pada 10 Juli 2007, Komisi untuk Ajaran Iman yang diketuai Kardinal Yoseph Levada telah mengeluarkan dokumen ”Jawaban-jawaban atas Pertanyaan-pertanyaan perihal Beberapa Aspek Ajaran tentang Gereja”. Dokumen ini telah menimbulkan keluhan dari beberapa pemimpin Protestan. Kalau tentang hal ini yang Anda dengar atau baca, maka saya dapat mengerti. Tetapi Anda salah karena Anda tidak bisa membedakan antara Paus Benediktus XVI dan Kardinal Levada.
Dalam siaran pers sekretaris komisi di atas pada 11 Juli 2007 dijelaskan tujuan dokumen ini untuk meluruskan pendapat yang tidak sesuai dengan ajaran Konsili Vatikan kedua dari para teolog Katolik yang meragukan eksistensi historis Gereja Katolik. Dalam dokumen ini tidak ada sedikit pun seruan untuk menutup kegiatan ekumene. Bahkan justru mempersiapkan umat Katolik untuk itu. Silakan baca dengan hati terbuka dan tenang.
Ketiga, mengenai dokumen ”Dominus Iesus” yang Anda singgung, kalau Anda baca secara teliti dan dengan hati terbuka dari halaman pertama sampai terakhir, pasti Anda tidak akan menemukan ungkapan Extra Ecclesiam nulla salus atau seruan untuk menghentikan kegiatan ekumene atau dialog dengan agama-agama lain. Bahkan pada nomor 20–22 Anda akan menemukan anjuran untuk berekumene dan berdialog dengan agama-agama lain. Sebab di luar gereja juga ditemukan unsur-unsur pengudusan dan kebenaran.
Akhirnya, Paus Benediktus XVI sampai sekarang masih tetap meningkatkan usaha-usaha ekumene dan dialog dengan agama lain. Juga, dua dokumen terakhir yang saya sebutkan tadi menganjurkan untuk tetap melakukan hal yang sama. Semua itu dituntut oleh semangat pembaruan Konsili Vatikan kedua. Kebebasan berefleksi dan menulis Anda amat saya hargai, namun saya juga percaya kebenaran dan kredibilitas suatu tulisan tentang fakta yang harus dijunjung tinggi, untuk tidak dikatakan sebagai kebohongan. Di negara kita sering diteriakkan: fakta diputarbalikkan. Itu juga wajah muram zaman ini.
Hilarius Janggat, OFMCap
Mahasiswa Pascasarjana Teologi Sistemik Universitas Gregoriana, Roma, Italia
E-mail:[email protected]
Tanggapan tentang Kepemilikan Saham ST Telemedia
Saya ingin menanggapi artikel yang dimuat di majalah Tempo edisi 23–29 Juli 2007 yang berjudul ”Jangan Hanya Jadi Gebetan”. Dalam kesempatan ini saya ingin meluruskan kesalahan fakta terkait kepemilikan saham ST Telemedia di Indosat.
ST Telemedia mengakuisisi sekitar 40 persen saham di Indosat pada program privatisasi 2002. Saat ini, saham Indosat dipegang oleh Asia Mobile Holdings (AMH) yang dimiliki oleh ST Telemedia (75 persen) dan Qatar Telecom (25 persen) yang merupakan salah satu operator telekomunikasi terbesar di Timur Tengah.
Sisa 60 persen saham Indosat ada di tangan pemerintah Indonesia, institusi, dan investor dari banyak negara, seperti Indonesia, Singapura, Malaysia, Hong Kong, Eropa, dan Amerika Serikat. Sekitar 40 persen saham Indosat yang dipegang oleh AMH bukan saham mayoritas. Karena itu, ST Telemedia tidak memegang kendali mayoritas di Indosat.
Melinda Tan
Director Corporate Communication
Singapore Technologies Telemedia
—Terima kasih atas koreksi Anda. —Redaksi
Purnajual Printer HP Mengecewakan
Pada 2 Agustus 2006, kami membeli printer HP Officejet 7210. Kami membeli produk tersebut dengan harapan produk tersebut dapat terpakai dengan sangat memuaskan, baik dalam pemakaian produk maupun pelayanan purnajual.
Apalagi, dalam pandangan kami, HP mempunyai nama besar dalam produk elektronik, khususnya percetakan. Terlebih lagi HP memberikan garansi satu tahun atas produk yang dijualnya. Kami yakin HP tidak akan mengecewakan dalam pemberian pelayanan purnajual.
Namun, pada 6 Juli 2007, produk HP Officejet 7210 yang telah kami beli mengalami kerusakan, sehingga produk tersebut tidak dapat dioperasikan. Atas kerusakan itu, pada 6 Juli 2007 kami membawa HP Officejet 7210 tersebut ke HP Service Center di lantai 25 Menara Bank Danamon l, Jakarta Selatan.
Selanjutnya, oleh petugas HP Service Center kami hanya diberi lembar Equipment Service Request No. IDID-001-1408975. Isinya tentang keterangan beberapa kerusakan komponen dan janji akan mengganti printer kami dengan yang baru.
Sampai surat ini dibuat pada 25 Juli 2007, kami belum mendapatkan realisasi apa pun dari HP Service Center. Padahal, sebelumnya, kami telah beberapa kali menghubungi HP Service Center mengenai keberadaan HP Officejet 7210 kami. Terus terang, kami merasa kecewa.
PT Quantum Futures
Jakarta
Tanggapan Telkom
Menanggapi surat pembaca Bapak Jujur Prananto dengan alamat Harjamukti, Cimanggis, Depok, yang dimuat majalah Tempo edisi 23-29 Juli 2007, halaman 8, berjudul Kepada Telkom dan Rita Hariyani, dengan ini ada yang perlu dijelaskan. Pertama, kami atas nama manajemen Telkom Divre II Jakarta menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan layanan Telkom yang bapak rasakan.
Dapat kami jelaskan bahwa manajemen Telkom telah menghubungi Bapak Jujur Prananto sekaligus menjelaskan prosedur pembelian nomor telepon kepada pelanggan baru. Telkom dimungkinkan menjual kembali nomor telepon eks cabutan setelah masa waktu tertentu, yaitu tiga bulan. Bapak Jujur Prananto bisa memahami penjelasan yang disampaikan petugas layanan pelanggan kami.
Demikian disampaikan, atas perhatian dan kepercayaan kepada Telkom, kami ucapkan terima kasih.
Retno Dyah A.
Manajer Divisi Komunikasi Divre II Telkom, Jakarta
Koreksi Tulisan Tempo
Membaca artikel majalah Tempo edisi 16-22 Juli 2007, halaman 46-47, tentang susu jagung Lima Sekawan, ada yang perlu dikoreksi, terutama tentang salah urut cara pembuatan susu jagung.
Pada gambar nomor 1 ditulis ”Memilih dan mencuci jagung” dan nomor 2 ditulis ”Merebus jagung sampai matang”. Seharusnya, gambar nomor 1 ditulis ”memilih dan mencuci jagung” dan nomor 2 adalah mencuci, bukan ”merebus jagung”. Semoga kritik ini menjadikan Tempo semakin teliti.
Nur Aristianti
[email protected]
— Terima kasih atas koreksinya. —Redaksi
Bagasi Hilang di Pesawat
Pada 11 Juli malam saya terbang menggunakan kelas bisnis British Airways BA-15 dari London Heathrow ke Bandara Changi, Singapura. Dari situ saya menyambung lagi dengan Singapore Airlines SQ-968 dari ke Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Masih dengan kelas yang sama.
Waktu itu, saya ada menitipkan bagasi berupa tas koper besar hard case berisi pakaian dan dua buah proyektor digital multimeda infokus. Semuanya saya check-in dengan prioritas karena akan saya gunakan dalam rapat di London.
Sampai di Bandara Soekarno-Hatta Kamis malam 12 Juli, bagasi check-in tidak ditemukan. Bahkan meskipun sudah ditunggu sampai bagasi penumpang terakhir habis di conveyor belt, juga belum terlihat. Laporan kehilangan bagasi sudah saya sampaikan ke staf Singapore Airlines dengan bukti property irregularity report terlampir. Saya mohon diurus karena barang yang ada di dalamnya sangat diperlukan untuk pekerjaan di kantor.
Sunggguh mengherankan apabila bagasi sebesar itu dengan identitas yang sangat jelas belum bisa ditemukan. Ini menimbulkan pertanyaan bagi pengguna jasa penerbangan, seberapa serius maskapai ini mengelola bagasi penumpang.
Glorious Edwin Dewayana
Jalan M. Saidi 74, Pesanggrahan
Jakarta Selatan
Citibank Mengecewakan
Pada awal Februari lalu, saya ditawari aplikasi kartu kredit Citibank oleh staf penjualnya bernama Johan. Karena tertarik, saya serahkan kopi KTP dan kartu kredit saya lainnya (HSBC dan BCA). Pada pertengahan Maret, saya menerima selembar kartu kredit visa Citibank dalam amplop tertutup. Disebutkan juga, PIN dikirim kemudian.
Amplop berisi PIN telepon itu saya terima pada 1 April. Esok harinya, datang lagi amplop PIN kartu saya. Pada 10 April, saya dikirimi lagi tagihan iuran tahunan, sekitar Rp 200 ribu. Karena lebih mahal ketimbang iuran tahunan kartu kredit saya lainnya, saya berniat membatalkannya.
Saya kemudian menelepon Citibank dan baru tersambung 26 April. Petugasnya, Becky, menyarankan saya tak menutup kartu, tapi pindah produk yang bebas iuran tahunan. Syaratnya, harus ada satu transaksi rutin yang diselesaikan melalui Citibank setiap bulannya. Saya setuju. Kartu visa yang sudah dikirim ke saya itu segera dipotong, dan Citibank saya izinkan membayarkan tagihan Xplor saya. Kira-kira dua minggu kemudian, saya menerima Clear Card, dengan pemberitahuan PIN dikirim kemudian.
Pada awal Juni, saya menelepon Citibank untuk mengaktifkan Clear Card dan membayar tagihan Xplor. Yang mengejutkan, tagihan saya mencapai Rp 3 juta. Padahal kartu itu baru mau diaktifkan. Dan sejak itu, saya sering menerima telepon dari Citibank yang mengingatkan untuk melunasi tagihan kartu visa saya. Kaget juga karena kartu itu sudah dipotong. Apalagi tak selembar tagihan pun saya terima untuk menjelaskan hal itu. Lucunya, ketika saya menanyakan kejelasan balik, mereka buru-buru menutup telepon.
Pada 25 Juni, saya akhirnya ke Citibank dan diterima Joko Oentoro, petugas layanan pelanggan yang menyambungkan saya ke beberapa petugas lain yang menangani. Tapi tetap saja saya tidak mendapat kejelasan mengapa kartu yang tak pernah diaktifkan dan kartu yang sudah dipotong bisa melakukan transaksi sendiri. Sebaliknya, Citibank malah minta melunasi tagihan itu, tanpa bisa menjawab pertanyaan saya.
Lebih konyol lagi, ketika saya menanyakan lembar tagihan yang harusnya dikirimkan Citibank, saya malah disarankan membuka situs http://www.citibank.com. Padahal seharusnya ini kan kewajiban Citibank mengirimkan lembar penagihan rutin tiap bulannya. Lucunya, ketika mereka menunjukkan itu kepada saya, di situ tertera tagihan itu untuk kartu yang belum diaktifkan. Bahkan nomor PIN-nya pun masih dalam amplop yang tersegel hingga hari ini.
Bagaimana mungkin bank sekelas Citibank punya manajemen sesemrawut ini? Masak, tidak ada akses apa pun bagi pelanggan yang dirugikan untuk menyelesaikan masalahnya.
Andari S.E.
Sunter Garden Blok D8 No 1
Podomoro, Jakarta Utara
Soedradjad dan Likuidasi Bank
Saya ingin menanggapi komentar mantan Gubernur Bank Indonesia, Soedradjad Djiwandono, pada majalah Tempo Edisi Khusus 10 Tahun Krisis Ekonomi, 23-29 Juli 2007. Di situ dinyatakan bahwa penutupan/likuidasi 16 bank pada 1 November 1997 merupakan syarat prioritas utang IMF, rush besar-besaran yang dilakukan oleh nasabah adalah akibat politisasi adanya keterkaitan dengan masalah Cendana dengan BI dan Departemen Keuangan, dan likuidasi tersebut akan diikuti dengan likuidasi bank-bank lain.
Menurut saya, lebih baik permasalahannya tidak usah dijustifikasi atau dipelintir dengan alasan-alasan yang dibuat terkesan politis dan ilmiah. Saya kira orang awam saja tahu bahwa kalau bank dilikuidasi, tanpa penjelasan apa pun dari BI/pemerintah, uangnya yang disimpan di bank bersangkutan akan turut lenyap, sehingga berdampak pada rush besar-besaran.
Sebenarnya masalah dan kata kuncinya sangat sederhana, dan itu yang dilakukan oleh BI/pemerintah kemudian—walaupun sangat terlambat—yakni jika sebelum likuidasi tersebut BI/pemerintah memberi tahu para nasabah dan masyarakat pada umumnya bahwa dana mereka yang disimpan di perbankan akan dijamin sepenuhnya oleh BI/pemerintah, walaupun seluruh bank dilikuidasi, saya hakulyakin masyarakat tidak akan menarik dananya dan tidak akan terjadi rush.
Karena itu, ke depan seyogianya mengikuti kata bijak yang mengatakan ”berpikir dahulu sebelum bertindak”, bukan ”bertindak dahulu kemudian berpikir”.
Nasir Adenan
[email protected]
Plagiat
Untuk kepentingan penyusunan proposal tesis, saya mengumpulkan sejumlah buku tentang budaya organisasi maupun kerja. Salah satu yang saya pilih adalah buku tulisan Sunarto SE, MM yang berjudul Perilaku Organisasi. Buku itu dicetak CV Grafika Indah Yogyakarta dan diterbitkan Penerbit AMUS Yogyakarta pada 2004. Buku itu saya beli di toko Bursa Mahasiswa, kampus USU Medan.
Secara keseluruhan, bahasa yang digunakan dalam buku itu enak dan mudah dimengerti. Namun saya terkejut manakala saya melihat beberapa poin yang ingin saya kutip dalam buku itu sama persis dengan buku berjudul Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi dan Aplikasi karangan Stephen P. Robbins dan dialihbahasakan oleh Dr. Hadyana Pujaatmaka. Buku itu diterbitkan PT Prenhallindo, Jakarta, 1996, dan merupakan terjemahan resmi dari edisi bahasa Inggris yang diterbitkan oleh Prentice-Hall Inc., copyright © 1996.
Yang membuat saya kaget, begitu banyak kesamaan dalam kalimatnya. Betul-betul sama persis, sampai titik komanya. Terutama bab 12: Budaya Organisasi, sama dengan bab 17: Budaya Organisasi yang ditulis Stephen P. Robbins. Begitu pula dengan bab 11 adalah salinan langsung bab 16 buku Stephen P. Robbins.
Ini jelas memalukan. Apalagi di buku Sunarto tak sekali pun disebut bahwa buku itu terjemahan atau saduran. Bahkan, kalaupun kutipan, hampir di seluruh isi satu bab, Sunarto tak menyebut sumbernya. Yang lebih mengejutkan, Pak Sunarto ternyata dosen yang juga Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta.
Nina Zuliani
Kompleks RS Sri Pamela
PTP Nusantara III,
Tebing Tinggi
Kepada Pemilik Kijang BK 1224 FH
Pada Kamis, 12 Juli 2007, saya mengalami kecelakaan di Jalan Sisingamangaraja, Medan. Sebuah mobil Kijang BK 1224 FH menabrak bagian belakang mobil saya, Kijang BK 126 CN. Peristiwa itu berlangsung sekitar pukul 17.00, tepat di putaran Jalan Singamangaraja antara Simpang Limun dengan Jalan Alfalah.
Ketika itu mobil saya sedang berhenti menunggu lalu lintas lengang, sehingga saya bisa memutar. Akibat tabrakan itu, bumper kiri belakang mobil saya rusak, terutama tulang bumper dan tanduknya. Ada juga kerusakan kecil pada bodi belakang. Pada awalnya, pengemudi mobil BK 1224 FH itu menunjukkan tanggung jawabnya. Ia bersedia ikut kami ke bengkel di Jalan Alfalah untuk meminta perbaikan.
Sayangnya, bengkel itu tak memiliki suku cadang yang kami butuhkan. Akhirnya kami ke toko lain di Jalan Semarang, Medan. Pengemudi itu memang membelikan ”tanduk bumper”. Namun tiba-tiba ia melarikan diri dan belum sekali pun menghubungi kami. Padahal ia sudah menyanggupi memperbaiki kondisi mobil kami seperti semula. Akibatnya, sudah jelas kami yang menderita. Kami berharap yang bersangkutan bersedia bertanggung jawab. Jika tidak, kami memilih memproses masalah ini menurut hukum.
Legimun Sentono
Medan
Ralat
Pada edisi 23-29 Juli 2007, rubrik Seni Rupa halaman 158-159, ”Hardjija tanpa Kata Sifat”, seharusnya menampilkan foto karya cetak nukilan kayu Hardjija. Atas kesalahan ini, kami memohon maaf.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo