Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sebuah Peta, Sekeping Cermin Buat Kemanusiaan

Draf awal pemetaan gen manusia selesai dibuat. Bagaimana ini semua akan mempengaruhi hidup manusia? Bagaimana kita bisa mendefinisikan makna baru tentang manusia itu sendiri?

9 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua pekan silam, para ilmuwan dari Human Genome Project (HGP), yang didanai oleh pemerintah Amerika Serikat dan Inggris, mengumumkan sukses menyusun draf lengkap pertama dari kode genetis—atau genome—manusia. Pada hari yang sama, para periset dari Celera, perusahaan swasta multi-miliaran dolar, mengumumkan hal serupa.

Seperti di era Marcopolo atau Columbus, penaklukan ke wilayah baru itu telah memicu persaingan yang ketat dan menegangkan. Baku sikut berlangsung selama dua tahun terakhir antara Francis Collins dari HGP dan J. Craig Venter dari Celera. Namun, pengumuman dua pekan silam itu ditandai dengan rujuk antara keduanya. Setelah lomba yang sering diwarnai caci maki itu, mereka berdua keluar sebagai pemenang, dengan kemungkinan menjadi kandidat pemenang Nobel Kedokteran tahun ini.

Penyusunan genome manusia memang dipercaya merupakan langkah besar dalam bidang biologi dan kedokteran. Meski begitu, langkah pertama dalam bidang ini sebenarnya telah lama diayun oleh seorang pendeta bernama Gregor Mendel.

Pada pertangahan abad ke-19, Mendel mengungkap salah satu rahasia besar kehidupan, bahwa ciri-ciri makhluk hidup diturunkan dari induk kepada anaknya. Mendel menunjukkan bahwa informasi biologis yang diwarisi oleh seseorang dari orang tuanya datang melalui semacam paket-paket yang khas dan awet sehingga bisa diteruskan dari satu makhluk ke makhluk lain selama beberapa generasi.

Paket itu kini dikenal sebagai gen, yang merupakan intisari kehidupan. Karena strukturnya yang khas, DNA, yakni zat kimia yang membentuk gen itu, dapat merekam informasi yang sangat banyak dan bisa menggandakan secara tepat informasi yang tersimpan di dalamnya.

Baik Celera maupun HGP kini mengklaim bahwa mereka setidaknya telah memiliki draf kasar informasi semua DNA dalam sebuah sel manusia—genome manusia. Atlas genetis sekitar 30 spesies (kebanyakan bakteri) telah pula ada dalam bank data mereka. Dan sekitar 100 spesies lagi tengah dijelajahi rahasianya.

Betapapun mencengangkan, memiliki daftar lengkap dari gen-gen dalam makhluk hidup itu hanyalah sebuah awal. Eric Lander, salah satu pemimpin HGP, seperti ahli kimia menemukan tabel periodik dari atom-atom kimia. Secara teoretis, sangat mungkin menurunkan seluruh pengetahuan kimia dari sifat-sifat atom yang digambarkan dalam tabel periodik. Namun, dalam praktek, sedikit lebih sulit. Kasus yang sama berlaku untuk biologi. Genome adalah informasi. Namun, agar bermakna dan berguna, informasi tadi harus diubah menjadi pengetahuan.

Bagaimanapun, tak bisa dimungkiri bahwa genomik—ilmu tentang genome—bakal menyeret ilmu biologi, kedokteran, pertanian, industri, dan bahkan filsafat ke wilayah baru yang tak pernah dikunjungi.

Dalam bidang kedokteran, peta genetis manusia ataupun spesies lain bakal mentransformasikan cara-cara pengobatan. Para ilmuwan bisa menemukan obat yang tak memiliki efek samping dan bekerja seketika; mereka juga bisa memperluas daftar penyakit yang bisa disembuhkan, dan menyempurnakan proses diagnosis. Rekayasa biologi akan mentransformasi pertanian dengan mengingkatkan nilai gizi tanaman serta memudahkan manusia membudidayakan tanaman itu. Bahkan, industri akan diuntungkan karena mikroba-mikroba baru bisa diciptakan untuk memproduksi bahan kimia yang sekarang mustahil atau terlalu mahal untuk dibuat. Dan pada tahap yang lebih tinggi, pengetahuan biologis yang dibangkitkan oleh adanya peta ini akan meningkatkan pemahaman tentang apa sebenarnya artinya menjadi manusia.

Teknologi baru ini menciptakan kemungkinan luar biasa yang mungkin membuat kita justru patut merenung. Menciptakan tiruan diri kita bukan lagi hal yang mustahil. Namun, yang dalam jangka pendek mungkin lebih mengkhawatirkan adalah hal itu memungkinkan biologi, seperti bubuk mesiu di masa lalu, menjadi senjata pemusnah massal. Dengan mengetahui genome manusia dan genome beberapa mikroba pemicu penyakit, para diktator dan tiran yang haus kekuasaan akan mampu menciptakan lebih banyak mikroba yang kian sulit ditangkal oleh kekebalan manusia.

Bagaimanapun, sebagian besar kekhawatiran lebih berkaitan dengan rekayasa gen manusia di dalam sel telur dan sperma, atau dalam telur yang sudah dibuahi. Rekayasa seperti ini bisa saja dilakukan berdasar motif yang masuk akal dan secara moral bisa diterima—yakni mencegah munculnya penyakit sejak si bayi dalam kandungan. Tapi, mungkin ada motif yang oleh sebagian orang masih diragukan, seperti memperlambat proses penuaan. Juga motif lain lagi, yang bagi sementara orang sangat mengganggu: membuat anak yang lebih cerdas, cantik, atau tampan. Sangat mungkin pula, suatu ketika orang tua bisa memesan agar anak mereka dilengkapi dengan kemampuan-kemampuan yang saat ini dipandang berada di luar kemanusiaan.

Dengan bioteknologi itu, di masa depan kita bahkan bisa menyaksikan makhluk hidup yang sama sekali buatan. Kita tak hanya bisa menciptakan varietas baru, tapi bahkan spesies baru yang kini tak dikenal. Ini semua akan memicu perubahan cara berpikir. Pulang kerja, seorang ayah kelak bisa membawa oleh-oleh untuk anak mereka makhluk hidup, bahkan manusia, tidak sekadar barang elektronik yang betapapun canggihnya tetap merupakan barang mati.

Sampai di situ, orang mungkin akan peduli bahwa manusia tak boleh menerobos batas-batas alami. Tapi, ”alamiah” adalah istilah yang kabur, dan tanpa batasan. Manusia telah jauh meninggalkan alam: bedah jantung bukanlah hal yang alamiah, demikian pula memakan beras dari varietas padi terbaru. Jika menciptakan varietas baru bisa dibenarkan secara moral, kenapa tidak menciptakan spesies baru? Jika lembaga-lembaga pemerintah mendukung eugenika dalam ”menciptakan generasi yang baik”, kenapa memiliki keinginan memperoleh anak yang sehat lagi tampan menjadi gangguan?

Betapapun menakjubkan, kehidupan—dan gen—tentu saja lebih dari sekadar mesin pemroses informasi. Dan dalam perlombaan mimpi tiada habis yang dipicu oleh gairah akan petualangan, mungkin pula oleh nafsu akan penaklukan, dan selebihnya ketakutan, salah satu pernyataan penting manusia tetap berlaku: apakah semua itu membuat manusia lebih bahagia?

Farid Gaban

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus