Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sebuah sitar di tengah orkes... sebuah sitar di tengah orkes ...

Pemetik sitar ravi shankar dari india, muncul sebagai solis bersama orkes philharmonic di new york. sekilas tentang ravi shankar, maestro sitar yang tak ada tolok bandingnya. (sel)

13 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA itu seperti berasal dari dunia lain. Gemerincing, tajam mendenting, mengalir dan terhempas dari jeram khayali -- yang entah di mana. Ada asap dupa. Rangkaian kembang dan permata. Keluh dan dendang. Mimpi-mimpi marijuana. Bagi kalangan yang kurang akrab dengan musik India, Ravi Shankar mungkin tak lebih dari seorang tokoh 1960-an, yang sedang beringsut surut dari panggung sejarah. Empat malam di akhir April lalu, maestro sitar yang tak ada tolok bandingnya itu muncul sebagai solis bersama Orkes Philharmonic New York pimpinan Zubin Mehta. Ia tetap mengagumkan. Tanpa canggung sedikit pun, Ravi Shankar yang sudah bersitar-sitar hampir ke seluruh pelosok jagat mengambil tempatnya di tengah setting orkes Barat yang formal itu. Ia menghidangkan Raga Malla, alias Untaian Raga. Raga ialah salah satu acuan dalam musik India. Jumlahnya ribuan. Dalam waktu bersamaan, perusahaan rekaman Deutsche Gramophon di Jerman menerbitkan piringan hitam, LP Ravi Shankar terbaru. Didampingi oleh Alla Rakha, penabuh tabla (sebangsa ketipung) yang sudah belasan tahun menyertainya ke mana-mana. Ravi mengisi ph itu dengan Jogeshwari, sebuah raga dengan warna tradisional yang pekat. Sementara itu sebuah penerbitan Amerika bersiap-siap memasarkan paket "perkenalan dengan musik India". Sasarannya ialah para siswa pemula, dan kaum awam yang merasa tertarik. Paket ini terdiri dari sebuah buku 76 halaman berjudul Mempelajari Musik India, dan tiga kaset berisi 'petuah' Ravi Shankar. Kaset tersebut merekam pelajaran yang diberikan Ravi pada City College New York. Puncak kegiatan pesitar ini menjelang tengah tahun 1981 agaknya ialah penampilannya di Carnegie Hall, New York. Dalam acara 30 Mei lalu itu, Ravi memperdengarkan serangkaian resitasi. Rangkaian acara tersebut seolah 'pekan perayaan' menyambut ulang tahun ke-61 pesitar dan komponis terkemuka India ini -- Ravi Shankar dilahirkan 7 April 1920. Untuk waktu yang panjang ia bagaikan simbol 'lumpur dan mutiara' yang muncul dari pertemuan kutub kebudayaan Timur dan Barat. Di kalangan pemusik 'puritan' India, nama Ravi tak seberapa disukai. "Di sana saya pernah dinamakan perusak," ujarnya beberapa tahun silam. "Soalnya, mereka mencampuradukkan identitas saya sebagai pemain dan komponis." Sebagai seorang komponis, Ravi mengaku "telah mencoba segalanya." Bahkan musik elektronik dan media avant-garde. Tapi sebagai seorang pesitar, "percayalah," katanya meyakinkan, "saya menjadi lebih klasik dan lebih ortodoks, melindungi dengan cemburu warisan kebudayaan yang telah saya pelajari." Sitar adalah instrumen musik khas yang berasal dari India bagian utara. Umurnya ditaksir paling tidak 700 tahun. Ditilik dari nama dan bentuk, alat ini banyak berpengaruh pada instrumen yang kini kita kenal sebagai gitar. Tentu saja sitar jauh lebih kompleks. Dilengkapi dengan dawai utama dan dawai pelengkap, instrumen baheula ini mampu menghasilkan dengung dan denting warna nada yang khas dan kaya. Ravi Shankar mulai akrab dengan alat musik ini melalui Ustaz Alauddin Khan dari Maihar, 1938. Tapi jauh sebelum itu ia sudah bersentuhan dengan kebudayaan Barat, dan pengaruhnya terasa kuat pada jejak karirnya kemudian. Pada umur 10 tahun Ravi Shankar menginjakkan kakinya di Paris, 'mekah' kebudayaan dunia masa itu. Ia melawat ke sana dalam rombongan tari Uday Shankar, kakak kandungnya sendiri. Selama delapan tahun selanjutnya Ravi menetap di Paris. "Banyak musisi Barat terkemuka berkunjung ke rumah kami ketika itu," ujar Ravi mengenang masa kanaknya. "Eunesco, Segovia, I oscanini, Paderewski," sambungnya sekedar menyebut beberapa nama. "Sungguh fantastis." Dari Alauddin Khan, Ravi ternyatatak hanya menerima latihan sitar. Tetapi juga tuntunan batin, yang memmemberi arah pada perkembangan kepribadiannya di kemudian hari. Sebagai pemetik sitar, Ravi tampil pertama kali di depan umum 25 tahun lalu. Ketika itu belum seorang pun berbicara mengenai hippies. Tapi pada saat kaum remaja Barat tergila-gila kepada India, sekitar tahun 1960-an, Ravi satu-satunya pemusik India yang dikenal dan dikagumi Barat. Ia segera menjadi idola. Ravi sendiri tampaknya tidak keberatan. Ia bahkan mengambil George Harrison -- salah seorang dari The Beatles -- sebagai murid. Muncul dalam pertunjukan bersama di Woodstock dan beberapa festival lain, Ravi seperti mengukuhkan kedudukannya sebagai 'anggota kehormatan' keluarga hippies. Setelah masa itu berlalu, Ravi tampak tak bersenang hati. "Banyak di antara mereka tidak benar-benar tertarik pada musik sitar," ujarnya mengenai anak-anak muda yang berada di sekitarnya, "tetapi pada suasana di mana mereka dapat saling berpelukan, mengisap ganja dan fly -- alasan yang tidak saya sukai selama mereka mendengarkan suara sitar." Ia kembali menggiatkan eksperimennya di luar tradisi improvisasi yang bertolak dari musik India. Ia bahkan meninggalkan sekolah musik yang didirikannya di Los Angeles. Ia menggubah sejumlah komposisi untuk orkes India dan Barat, menulis musik untuk film, berduet dengan Yehudi Menuhin. Tahun 1970 Ravi menggubah dan memainkan konser sitarnya yang pertama, bersama Orkes Simfoni London di bawah pimpinan Andre Previn. PUBLIK Jakarta sempat menyaksikan Ravi Shankar muncul di Teater Arena TIM, 23 Oktober 1976. Kebetulan ia, bersama penabuh tabla Alla Rakha dan pemain tampoura Kamala Chakarawati dalam perjalanan libur menuju Bali. "Saya sudah mendengar musik Bali sejak lama, sekarang saya akan menyaksikan sendiri di tempatnya," kata Ravi setelah memukau penontonnya. "Dulu," katanya, "semua pemusik Barat yang pernah datang ke rumah kami selain menyatakan kagum terhadap musik India, juga berpendapat musik itu terlalu monoton." Ravi lalu berpikir. "Saya mulai menggubah musik yang-menjembatani musik kami dan musik mereka," katanya. Ia mendirikan All-Indian Orchestra sebagai salah satu usaha. Dan dalam penampilannya bersama Orkes Philharmonic New York dan Zubin Mehta April lalu itu, banyak pengamat cenderung melihatnya dari segi usaha 'penjembatanan' tadi. Seperti diketahui, Zubin Mehta adalah seorang Parsi kelahiran Bombay. Ayah Zubin, Mehli, dikenang sebagai pemimpin orkes Barat pertama di kota itu. Tapi "ini bukan pertemuan Timur dan Barat," ujar Mehta menjelang pertunjukan. "Ini adalah dua bagian India yang dipersatukan." Namun ia mengaku, bahwa konser sitar pertama Ravi Shankar memberi keyakinan padanya bahwa Timur dan Barat bisa bertem u di dalam musik. Sejak beberapa tahun lalu, Mehta juga memperkenalkan Ravi dengan pemusik-pemusik jazz di sekitar Los Angeles. Berbicara mengenai dunianya, Ravi Shankar menyebut musik klasik India sebagai tradisi yang hidup. "Tapi perubahan datang begitu cepat," katanya, "musically and politically". Dan ia mengeluh, "saya sendiri kadang-kadang khawatir. " Sementara itu ia mulai membina generasi penerus. Di samping Ravi Shankar, terdapat juga guru musik lain yang sangat diperhitungkan di India, seperti Ali Akbar Khan dan Vilayat Khan. "Kami sudah mempunyai sekelompok pemusik muda yang sungguh-sungguh mencengangkan," ujar Ravi. Ia sendiri mendirikan Institut Riset untuk Musik dan Seni Pertunjukan di Benares. Lembaga ini lebih bersifat wadah festival, ketimbang sebuah sekolah formal

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus