Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sebuah Tumbal Bernama AMIN

Setahun kemudian, AMIN tetap menjadi istilah yang misterius kini. Banyak orang kecil telah menjadi korban karena tuduhan keterlibatan di dalamnya.

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepi menyergap musala kecil Almuhajirin, di Maseng, Bogor. Sudah beberapa bulan terakhir tempat ibadah ini tak lagi bergairah. ’’Anak-anak tetangga tak mau lagi belajar mengaji setelah peristiwa itu,” kata Edi Rochadi. Mati pula kegiatan di dapur kecil dekat musala, tempat dulu orang menggoreng keripik pisang untuk dijual.

Rochadi adalah salah seorang anggota pengajian yang ditangkap tahun lalu, bersama tiga rekan lainnya. Menurut polisi, mereka terlibat dalam sebuah organisasi Angkatan Mujahiddin Islam Nusantara (AMIN), yang bermarkas di musala itu, dan berdosa melakukan serangkaian teror. Pria yang menggantungkan hidup dari upah memperbaiki alat-alat elektronik ini harus mendekam 9 bulan dalam tahanan, dan mengikuti 17 persidangan yang melelahkan sebelum akhirnya bebas. Dalam persidangan terakhir, 4 Januari lalu, hakim memutuskan mereka ’’bebas murni”. Artinya, semua tuduhan tak terbukti.

Namun, mimpi buruk belum sama sekali hilang. Kegiatan musala dihentikannya. ’’Kami merasa semua orang menuding kalau kami melakukan pengajian lagi,” kata Rochadi.

Tak ada ganti rugi bagi Rochadi dan kawan-kawan. Tak ada rehabilitasi. Dan tak ada perhatian yang begitu besar dari media massa terhadap persidangannya; tidak seperti terhadap penangkapan mereka April tahun silam.

Adalah Kapolri waktu itu, Jenderal Roesmanhadi, yang pertama kali mengungkap AMIN. Pengungkapan itu datang dari pengakuan dua tersangka pelaku perampokan Bank BCA, April 1999. AMIN, menurut Roesmanhadi, merencanakan perampokan sekitar 20 bank untuk membiayai pendirian Negara Islam. Beberapa hari setelah itu, sebuah ledakan bom merusakkan lantai dasar Masjid Istiqlal Jakarta. Kelompok AMIN lagi-lagi dituding di belakang kasus itu.

Polisi menyeret 13 tersangka dan Edi Rochadi adalah salah satunya—musala kecilnya disebut sebagai markas gerakan, suatu tuduhan yang jelas serampangan. ’’Saya mendengar nama AMIN dari polisi yang menghardik saya dengan sebutan itu di pemeriksaan,” kata Rochadi. Lebih dari segalanya, polisi tak pernah bisa menangkap Amir alias Edi Rianto (semua pesakitan polisi harus memakai alias) yang dituding sebagai pemimpin AMIN.

Para tersangka yang akhirnya dijatuhi hukuman penjara hanya tiga orang: Rozak, Mustakim, dan Hendra. Ketiganya tertangkap basah di tempat kejadian dan harus meringkuk di penjara selama 5 tahun. Menurut polisi, AMIN kemudian tercerai-berai setelah itu.Tapi tidak mati. Pekan lalu, Kapolri yang lain, Letjen Rusdihardjo, mengumumkan kebangkitan AMIN dengan mengutip pengakuan Achmad Tazul Arifin—salah satu tersangka dalam pembacokan Matori Abdul Djalil. Menurut dia, motif gerakan ini sama dengan yang lalu: melakukan teror dalam rangka mendirikan Negara Islam.

Dan kembali, Rochadi-Rochadi yang kecil dan hidup sederhana sedang dikorbankan entah untuk kepentingan siapa.

Kelik M. Nugroho, Darmawan Sepriyossa, Wenseslaus Manggut


Mereka yang Dijadikan Kambing Hitam
KasusPlaza Hayam Wuruk, Jakarta (15 April 1999)Pengeboman Masjid Istiqlal (19 April 1999)Pembacokan Matori (5 Maret 2000)
Tersangka PelakuIkhwan, Naiman, Edi Taufik, Suhendi, dan Edi Rochadi (kelompok AMIN) Rozak dan Mustakim(pelaku yang tertangkap basah)Edi Rianto dkk. (tersangka lama, anggota AMIN) Tujuh tersangka baru(pengamen jalanan)Achmad Tazul Arifin (Sabar), Zulfikar, dan Assadullah (anggota AMIN)
Motif* Kriminal (perampokan)Adu domba antar-umat beragamaBelum jelas
KorbanSejumlah ruangan di Plaza Hayam Wuruk hancurSejumlah ruangan hancur dan kerugian sekitar Rp 3 miliar, lima orang luka-lukaMatori luka-luka
Status Akhir
*Menurut Polisi
Edi Rochadi bebas
Rozak, Mustakim, dan Hendra dipenjara
Anggota AMIN tidak disebut-sebut lagi. Para pengamen tetap diadili.Masih dalam proses

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus