Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sejumlah Cacat dalam Skenario

Dalam kasus Matori, polisi sangat menyandarkan diri pada pengakuan tersangka Achmad Tazul Arifin dan ''temuan" barang bukti yang untuk banyak hal meragukan.

26 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Peristiwa Pembacokan

Senjata yang digunakan
Tersangka Arifin menyiratkan bahwa dia dan rekan-rekannya adalah sekelompok teroris yang ganas: meledakkan Masjid Istiqlal, merampok bank, dan membunuh satpamnya. Arifin juga mengatakan sudah sejak awal berniat membunuh Matori. Tapi kenapa teroris ini—jika benar mereka teroris Islam—justru membacok dengan parang, sementara mereka membawa pistol FN 46? Pembacokan itu lebih mirip upaya memberikan efek teror ketimbang membunuh. Motif perampokan bisa diabaikan.

Korban: Matori

Ketokohan dan kegiatan politik
Dia Ketua Umum PKB, sebuah partai besar.
Dia sendiri seorang Wakil Ketua MPR. Penyerangan terhadap orang sekaliber dia bisa bermotif memberikan efek teror berskala nasional. Bisa juga itu untuk menakut-nakuti kelompoknya: dia dikenal sebagai politisi sipil yang dekat dengan Jenderal Agus Wirahadikusumah. Matori dianggap sebagai salah satu arsitek mutasi besar-besaran di tubuh militer belakangan ini.

Sikap Matori
Matori langsung memaafkan orang-orang yang mau membunuhnya ini dan tampak enggan—baik kepada polisi maupun kepada TEMPO—membicarakan motif penyerangan terhadap dirinya.

Para Tersangka

Penangkapan
Dalam konferensi pers, Arifin tampak lancar ketika memberikan pengakuan. Namun, sejenak dia bingung ketika ditanya bagaimana dia ditangkap. Dia menengok ke arah polisi, dan polisilah yang menjawab pertanyaan itu. Benarkah dia orang yang bersama Sarmo mendatangi Matori? Meski tak ada saksi yang menggugurkan kemungkinan itu, tidak ada pula saksi yang mendukungnya. Sarmo sudah tewas dan Arifin bisa mengatakan apa saja.

Istri Arifin
Kepada TEMPO, istri Arifin mengaku dia dan anak-anaknya diinapkan ke sebuah hotel di Ancol pada malam penangkapan Arifin. Esok harinya dia diboyong ke Polda untuk meneken suatu berkas.

Keterlibatan dalam AMIN
Arifin mengaku anggota AMIN. Kelompok itu, kata dia, bubar setelah dikejar-kejar polisi menyusul peledakan Istiqlal dan perampokan BCA. Dia mengaku ''mengungsi" ke Semarang selama empat bulan. Seorang kerabat dekatnya mengatakan Arifin tak pernah meninggalkan keluarganya selama itu.

Nama-nama
Nama Sabar dan Zulfikar muncul dari analisis terhadap penyeranta (pager) yang ditemukan di tempat kejadian. Achmad Tazul Arifin dan Muhammad Ichwan tidak pernah dikenal dalam lingkungan keluarganya sebagai Sabar dan Zulfikar. Demikian pula tersangka lain yang kini buron: Ahmad Riyadi tak pernah dikenal lingkungannya sebagai Assadullah. Tidakkah ini hanya dicocok-cocokkan dengan pesan dalam penyeranta itu dan untuk memberikan kesan ''orang-orang Islam radikal"?

Sebaran
Ketiga tokoh yang diduga terlibat tinggal di pojok-pojok Jakarta yang berbeda: Arifin di Tangerang, Muhammad Ichwan di Tanahabang, dan Ahmad Riyadi di Bogor.

Sangkalan keluarga
Arifin menyebut Muhammad Ichwan dan Ahmad Riyadi sebagai guru mengajinya. Namun, baik keluarga Ichwan maupun Ahmad Riyadi tak mengenalnya.

Pesantren
Menurut Arifin, Zulfikar memiliki pesantren. TEMPO, yang mendatangi rumahnya, menemukan sebuah keluarga penjual pisang goreng, tak jauh dari sebuah posko PDI Perjuangan, yang terlalu miskin untuk memiliki pesantren.

Barang Bukti

pager
Herry, pemilik warung di dekat rumah Panglima Kodam Jaya Mayjen Ryamizard Ryacudu, masih di kompleks yang sama dengan rumah Matori, mengaku menyimpan penyeranta milik tersangka yang jatuh ketika mereka dikejar massa. Dia kemudian menyerahkannya kepada polisi. Namun, agak aneh, dia mengaku menerima telepon dari Pratu Sukirno, penjaga rumah Pangdam, untuk ''mengamankan" penyeranta tadi.

Saat diperiksa polisi, Sukirno didampingi Kapendam Jaya Letkol D.J. Nachrowi, Asintel Letkol Karseno, dan Wakil Inspektorat Letkol Rusmin. Ini mengisyaratkan adanya sesuatu yang ''lebih dari biasa". Namun, polisi tak pernah menyinggungnya lagi.

Pistol FN 46
Kapolda Metro Jaya Nurfaizi, dalam wawancaranya dengan SCTV, menyatakan bahwa pistol tipe FN 46 itu memang senjata organik TNI, tapi sudah hilang sejak 1976. Senjata itu dicuri seorang ''oknum".

Senjata di rumah Arifin
Polisi mengaku menemukan senjata rakitan di rumah Arifin, setelah mengungsikan istri dan anak Arifin ke sebuah hotel. Istri Arifin yakin tak pernah ada barang itu sebelumnya.

Granat di rumah Riyadi
Dua kali polisi menggeledah rumah Ahmad Riyadi, termasuk mengaduk-aduk sebuah kamar penyimpan barang bekas seluas 2 x 3 meter persegi. Agak janggal: baru pada penggeledahan kedua, polisi berhasil menemukan granat itu bersama detonator dan sejumlah peta operasi militer di kamar itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus