Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah audit hukum terhadap berbagai yayasan Presiden Soeharto agaknya membuatnya dicopot dari kursi jaksa agung. Berdasarkan hasil audit hukumyang dilakukan BPKP atas permintaan Soedjonoitu, jaksa agung menetapkan Presiden Soeharto sebagai tersangka kasus korupsi. Dan hasil inilah yang ia serahkan kepada Presiden Habibie pada 15 Juni 1998. Lima jam setelah peristiwa itu, Soedjono harus menyerahkan pula jabatannya.
Pencopotan jaksa agung yang menelisik KKN para elite birokrasi hanyalah satu sisi Kejaksaan Agung. Lembaga ini memang kaya dengan kisah-kisah kontroversial. Tudingan korupsi dan suap, misalnya, telah melekat dan mencoreng-moreng institusi peradilan itu selama sekian tahun. Soedjono sendiri bukan tanpa tudingan tidak bersih. Ia dikabarkan punya rumah mewah di Australia, sebagai hasil "damai" dengan para pencari perkara. "Orang boleh bilang apa saja. Lagi pula, nama saya memang masih laku dijual sampai hari ini. Soal kekayaan? "Saya siap diaudit kapan saja. Itu sudah saya bilang sejak masih jadi pejabat," ujarnya kepada wartawan TEMPO, Edy Budiarso, yang mewawancarainya di Jakarta, pekan silam.
Pria kelahiran Pamekasan, Madura, 4 Juni 1939, ini memulai karir dari bawah. Pilihannya menjadi jaksa banyak dipengaruhi pandangan tradisional tentang jabatan jaksa di kalangan masyarakat Madura. Di kampung halamannya, orang-orang menaruh hormat yang dalam kepada para jaksa. "Bahkan, orang-orang Arab sebagai kaum keturunan Nabi selalu menundukkan kepala jika berpapasan dengan jaksa," tuturnya. Setelah lulus studi di Fakultas Hukum Universitas Airlangga pada 1964, Soedjono menetapkan pilihan: mendaftar sebagai jaksa.
Jabatan itu tidak langsung memberinya kemapanan ekonomi. Ia beruntung ditopang Siti Sharah, asal Tasikmalaya, yang mahir berjual-beli rumah. "Dari istri, saya belajar bisnis," tuturnya kepada TEMPO. Suatu ketika, pada 1970-an, tatkala menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Singaraja, Bali, ia tak punya ongkos berdinas ke Jakarta. Soedjono lalu teringat "ilmu bisnis" dari sang istri. Ia berhasil menjual 250 ekor sapi jatah Kajari untuk ongkos. "Sekalian mengisi kas Kajari," ujar Soedjono sembari tertawa lebar.
Pria yang gemar bicara blak-blakan ini banyak berpindah tempat sebelum "menetap" di Kejaksaan Agung dan memimpin lembaga itu hingga Juni 1998. Kini, Soedjono kembali berpraktek sebagai ahli hukum di kantor konsultan hukum milik Basuki Dwi Nugroho (37), anak sulungnya yang meniru jejak sang ayah sebagai ahli hukum.
Di sela-sela kegiatan kantor, ia memberikan kesempatan sebuah wawancara khusus kepada TEMPO.
Petikannya:
Anda pernah merekomendasikan Soeharto sebagai tersangka dalam kasus korupsi sehingga ia bisa diperiksa Kejaksaan Agung. Bisa Anda jelaskan posisi hukumnya?
Kasus Pak Harto tadinya masih dalam penyelidikan. Tapi, berdasarkan hasil audit hukum, saya menyimpulkan kasusnya bisa ditingkatkan ke tahap penyidikan.
Bisa dirinci hasil audit hukum tersebut?
Audit hukum itu dilakukan ketika kasus Pak Harto masih dalam penyelidikan. Jadi, audit ini diperlukan untuk mencari ada-tidaknya perbuatan melawan hukum. Yayasan Supersemar, misalnya, yang diperuntukkan bagi pendidikan mahasiswa, telah dipakai untuk kepentingan pribadi Bob Hasan, Grup Citra Marga Nusapala Persada milik Tutut Soeharto, dan lain-lain. Ini tindakan melawan hukum, sehingga bisa ditingkatkan ke penyidikan.
Anak Anda melakukan audit itu. Mengapa tidak meminta orang lain?
Ada orang lain dari BPKP yang ikut mengaudit. Begini. Waktu itu, jaksa-jaksa di Kejaksaan Agung termasuk saya tidak mengerti apa itu audit hukum (legal audit). Kebetulan, anak saya akuntan. Jadi, saya panggil dia untuk mem-brief para jaksa tentang apa itu audit hukum. Pekerjaan itu selesai dalam waktu delapan hari. Tetapi, begitu dia rampung dengan para jaksa, saya juga selesai sebagai jaksa agung, ha-ha-ha. Jadi, saya masih berutang bayaran kepada anak sayasebagai akuntan profesionalsampai hari ini.
Bukankah ada auditor pemerintah seperti BPKP atau BPK yang dapat Anda gunakan?
Saya memang masih percaya pada lembaga-lembaga ini. Maka, ketika audit itu dilakukan, saya ajak serta auditor dari BPKP. Namanya Iwan. Saya minta agar Ketua BPKP memberikan izin tertulis kepada Iwan. Ketua BPKP setuju. Hal ini membuat saya menjadi berani. Kepada Iwan, saya katakan: "Kamu datang ke kejaksaan atas nama Ketua BKPK. Jadi, kamu harus bisa membuat keputusan, mau terus atau tidak." Dia memutuskan terus. Jadi, mereka melakukan audit itu.
Apakah ada kerja sama antara Kejaksaan Agung dan BPKP?
Kami punya semacam keputusan bersama. Yakni, jika suatu kasus korupsi diketahui pertama kali oleh kejaksaan, BPKP ikut serta. Sebaliknya, jika BPKP yang pertama kali mengungkap, kejaksaan akan diajak serta. Hal itu kami lakukan untuk menghindari benturan.
Apakah menetapkan Soeharto sebagai tersangka berdasarkan hasil audit itu tidak melanggar asas praduga tak bersalah?
Kalau jaksa dan polisi menggunakan asas praduga tak bersalah, ya, mereka tidak akan pernah menangkap orang. Praduga tak bersalah itu hanya ada di hakim. Ini yang keliru dipahami oleh masyarakat selama ini. Jadi, jangan ngawur menggunakan asas praduga tak bersalah.
Bukankah asas itu digunakan untuk membela hak asasi seseorang yang belum terbukti bersalah?
Yang menentukan bersalah-tidaknya terdakwa kan hakim di pengadilan. Yang penting, penyidik tidak melanggar hak asasi manusia serta didampingi pengacara jika sedang melakukan pemeriksaan. Dalam kasus Soeharto, penyidikan belum dimulai, karena saya baru menyatakan dia sebagai tersangka. Tapi, begitu saya menyerahkan hasil audit hukum kepada Habibie, saya berhenti sebagai jaksa agung.
Katanya ada hubungan antara soal audit itu dan pencopotan Anda. Bagaimana cerita detailnya?
Saya menghadap Pak Habibie pukul 10.00 WIB, Senin, 15 Juni 1998, untuk menyerahkan hasil final audit. Habibie meminta saya kembali menghadap pada pukul tiga sore. Pukul 13.00 WIB, saya meluncur lagi ke Istana. Di sana sudah ada Letjen Andi Muhammad Ghalib. Dari situ, saya tahu bahwa saya mau diganti.
Siapa yang memberi tahu Anda?
Malam itu saya mengadakan rapat bersama Pak Hartarto di rumahnya. Rencananya, Jenderal Wiranto mau datang, tapi tidak jadi. Ketika Hartarto melihat hasil audit itu, ia mengatakan, wah, ini gawat. Saya bilang, biarlah. Paling-paling saya dipecat. Pak Hartarto bilang, kalau kamu dipecat, saya juga mundur. Pagi harinya, saya menghadap. Siang harinya, saya dipecat. Tetapi saya bilang kepada Pak Hartarto, kesepakatan semalam batalAnda tidak usah mundur. (Ketika dikonfirmasi, mantan menteri Hartarto membenarkan bahwa pada tanggal itu, ia banyak bertemu orang. Tetapi, ia sudah lupa detail pembicaraannyaRed.)
Apa yang dikatakan Habibie ketika mencopot Anda?
Katanya begini: "Pak Jaksa Agung, saya berterima kasih selama ini saya telah dibantu. Ini Pak Ghalib, pengganti Bapak, tolong dibantu. Bapak akan saya tempatkan di negara di Eropa Barat." Pada waktu itu, Habibie juga bilang akan memberi saya Bintang Adi Pratama. Waktu itu saya katakan, tidak usah, Pak. Saja juga tidak tahu ada bisikan dari mana sehingga kedua-duanya saya tolak.
Anda merasa dongkol?
Ada sedikit kecewa. Sebenarnya saya sudah ingin mundur, tapi keluarga mengatakan jangan mundur dalam masa-masa seperti itu. Alasan saya, tuntutan reformasi ketika itu besar sekali. Saya khawatir, jika kejaksaan tidak mampu memenuhi tuntutan masyarakat selepas reformasi, bisa-bisa saya dijatuhkan oleh mahasiswa.
Benarkah Anda dicopot karena Presiden Habibie masuk dalam daftar pejabat yang terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme?
Betul. Ada indikasi Habibie terlibat dalam penjualan pasir dari Batam ke Singapura. Kasus itu ditemukan oleh Kajati Riau. Baru-baru ini kan ada kapal Belanda yang juga ditangkap Angkatan Laut karena membawa pasir ke Singapura. Itu salah satu kapal yang disewa Habibie atau keluarganya. (Ketika dikonfirmasi, pengacara keluarga Habibie, Jhon Pieter Nazar, membantah: "Thareq Habibie memang pernah menyewa kapal Amsterdam yang sekarang ditahan di Batam untuk mengangkut pasir ke Malaysia. Tapi itu sudah lama. Kapal itu dikontrak selama setahun, dari 1998 sampai 1999. Jadi, sudah tidak ada hubungan lagi sekarang.")
Versi lain menyebutkan, Habibie memberhentikan Anda karena justru dianggap kurang bersih.
Orang boleh dan bisa bilang apa saja. Bahkan, mereka dapat mencatut nama saya. Kan sampai sekarang nama saya masih laku. Saya juga sudah bilang kepada Habibie untuk mengaudit kekayaan sayajika saya memang dianggap tidak bersih.
Semasa menjabat jaksa agung, Anda pernah melontarkan ide agar koruptor masuk televisi. Dari mana ide ini muncul?
Saya sebetulnya hanya melanjutkan ide almarhum Soekarton Marmoesoedjonoyang pernah beliau lontarkan lebih dari 10 tahun lalu.
Anda juga mengusulkan kepada Habibie agar lembaga kejaksaan sebaiknya independen. Bisa dijelaskan?
Ide saya, kejaksaan sebaiknya bertanggung jawab kepada DPR, bukan kepada presiden. Dengan begitu, jaksa bisa menyeret siapa sajatermasuk menteri dan presiden. Tetapi, ide itu ditolak. Ide saya yang diterima lewat tawar-menawar adalah adalah soal amnesti dan abolisi kepada tahanan politik. Sebab, penahanan mereka pada dasarnya tidak sesuai dengan tuntutan reformasi. Keputusan inilah yang membebaskan Sri Bintang Pamungkas (Ketua Umum Partai Uni Demokrasi Indonesia) dan Muchtar Pakpahan (Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) dari penjara.
Anda menyebut soal tawar-menawar. Ini antara siapa dan siapa?
Saya dan Habibie. Ceritanya begini. Setelah Habibie mendapat usulan saya, ia menawarapakah tanggal pembebasan bisa diundurkan? Saya bilang tidak, karena pembebasan ini penting dilakukan pada saat itu juga. Malamnya, Muladi (ketika itu Menteri Kehakiman) masih berusaha menawar: "Djon, apa keputusan ini tidak bisa ditawar lagi?" Saya tetap bilang tidak. Maka, malam itu juga mereka dibebaskan.
Mengingat begitu banyak kritik terhadap kinerja kejaksaan yang diwarnai suap dan korupsi selama ini, apakah ide kejaksaan yang independen bisa diterapkan?
Ini yang membuat saya kecewa. Dalam kasus Soeharto, misalnya, saya kasihan pada Marzuki Darusman, yang harus bekerja dengan tim yang tidak sejalan. Tim Sebelas (tim pemeriksa korupsi, kolusi, dan nepotisme Soeharto) yang dipimpin Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Ramelan, S.H. itulah yang mengeluarkan beleid Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) kasus Soeharto, kasus BRI, Djoko Ramiadji. Juga Ismudjoko (pejabat jaksa agung sebelum Marzuki Darusman). Mereka seharusnya mundur kalau punya moral. Nyatanya, orang-orang ini terus berkantor di Kejaksaan Agung, sampai hari ini.
Kalau soal SP3 Soeharto, kan sudah dicabut Marzuki Darusman?
Tapi SP3 yang dikeluarkan Kejaksaan Agung kan tidak hanya kasus Soeharto. Sekarang ini kejaksaan sudah terlalu banyak mengeluarkan SP3, dari kasus Djoko Ramiadji, Sofjan Wanandi, hingga kasus BRI. Hal-hal ini yang tidak diketahui oleh publik. Lantas, bagaimana pertanggungjawaban kejaksaan terhadap masyarakat?
Apakah Anda sendiri pernah disuap atau diperas selama di kejaksaan?
Ada saja yang mencoba. Sekali waktu, seorang ibu yang anaknya sedang beperkara di Kejakgung menemui saya. Dia publik figur yang terkenal, tapi saya tidak enak menyebut namanya. Ia datang bersama seorang jaksa senior yang sudah pensiun.
Siapa jaksa itu?
Sudahlah, dia seorang jaksa yang sakti betul, yang tidak pernah pindah dari Jakarta. Langsung saya katakan kepada mereka berdua: "Ibu, hukuman di pengadilan untuk putra Ibu itu lebih ringan ketimbang pengadilan rakyat." Maka, pergilah si Ibu.
Apa penghasilan jaksa jauh dari cukup sehingga perlu menerima suap untuk menambal ekonomi?
Cukup itu kan relatif. Waktu saya pertama kali menjadi jaksa pada 1964, gaji saya Rp 11 ribu, ditambah baju dinas dari pemerintah. Uang itu bisa saya kirimkan ke kampung halaman untuk beli motor Yamaha. Kalau menginap di hotelbintang lima sekalipunpemerintah akan bayar. Jaksa sekarang tidak bisa seenak jaksa zaman dulu. Tapi, ide menaikkan gaji para jaksa juga bukan jaminan hilangnya korupsi.
Mengapa demikian?
Korupsi di kejaksaan sudah berlangsung lama, dan ini ditumbuhkan oleh budaya materialistis. Zaman saya dulu, orang sudah merasa cukup dengan radio dua band, yang bisa dipakai mendengarkan siaran radio Australia.
Itu kan dulu. Sekarang, katanya, Anda kaya sekali sampai punya rumah di Sydney segala. Padahal, Anda kan "cuma" jaksa?
Sydney? Kalaupun ke Australia, saya paling-paling pergi ke Melbourne. Itu tidak benar. Saya tidak punya rumah di bagian Australia mana pun. Kalau sampai ada, silakan, rumah itu untuk Anda saja.
Apakah Anda sering berada pada posisi yang "basah" selama di Kejakgung?
Sebagai jaksa agung muda pengawasan dan wakil jaksa agung sebelum menjadi jaksa agung, saya tidak duduk pada posisi operasional untuk menangani kasus-kasus korupsi. Tugas saya memeriksa jaksa-jaksa yang nakal. Waktu saya memeriksa, ada jaksa yang nakal. Saya serahkan saja mereka kepada polisi. Ini terjadi di Banjarmasin, Serang, Bekasi. Hal ini tidak pernah saya tutup-tutupi. Biarin sajalah.
Selama Anda menangani kasus Soeharto, apakah pernah diajak "berdamai" saja oleh pihak tertentu?
Tidak ada. Pada waktu itu, angin reformasi masih kuat sekali. Jadi, bisa saja mereka belum berani. Kalau saya sampai tergoda ajakan "damai", tentu tidak akan saya ungkap kasus-kasus seperi jalan tol, BRI, Kemayoran. LSM Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara (Gempita), misalnya, sudah berkali-kali protes soal kasus BRI, tapi tidak pernah didengar Kejaksaan Agung. Yang terjadi justru keluarnya banyak sekali SP3.
Apakah betul Kejaksaan Agung kewalahan karena terlalu banyak kasus, sehingga kasus itu cenderung di-SP3-kan saja?
Memang, kasusnya seabrek-abrek. Tetapi lebih baik diselesaikan sekarang. Kenapa? Saya khawatir kasus-kasus ini akan meledak di kemudian hari. Jadi, sebaiknya dibuka kembali dan dibedah sebelum terlambat, dan agar kejaksaan tidak hanya menjadi titipan kepentingan.
Apa hal yang amat mengganjal dalam kinerja lembaga kejaksaan, sepengetahuan Anda?
Penanganan kasus-kasus korupsi, terutama. Satu contoh, masalah BLBI. Saya dulu kerap diprotes karena Kejaksaan Agung memanggil banyak pemilik bank, yang meneken sana-sini sebagai jaminan mengembalikan uang. Padahal, saya pernah mengusulkan harus ada juru taksir dan auditor yang menghitung nilai aset yang dijaminankan sebelum urusan teken-meneken dilakukan. Hasilnya? Ternyata aset mereka busuk semua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo