Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANPA jadwal, Kepala Staf Presiden Luhut Binsar Panjaitan menghadap Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantornya, Jalan Medan Merdeka Utara, Senin dua pekan lalu. Ia didampingi kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Darmawan Prasodjo, untuk menjelaskan pembentukan Kantor Staf oleh Presiden Joko Widodo.
Seorang pejabat Istana mengatakan pertemuan selama 45 menit itu awalnya berlangsung hangat. Suasana berubah ketika Kalla tiba-tiba menyinggung Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi yang dibentuk pemerintah periode pertama Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut dia, Kalla mengatakan lembaga itu tidak bisa bekerja efektif dan akhirnya dibubarkan.
Kalla, yang merupakan wakil presiden pendamping Yudhoyono pada 2004-2009, tidak membantah kabar bahwa ia menyampaikan kritik terhadap pembentukan Kantor Staf Presiden dengan menyinggung lembaga serupa di masa lalu. "Lembaga itu memang tidak jalan waktu itu," katanya kepada Tempo di kantornya, Kamis pekan lalu. Luhut membenarkan, ia menyampaikan penjelasan secara detail kepada Kalla tentang lembaga yang dipimpinnya. "Itu sudah clear," ujarnya.
Pembentukan Kantor Staf Presiden memang menjadi "barang panas" di Istana. Kalla mengaku tidak diajak bicara Presiden dalam penyusunan Unit Staf Kepresidenan dan Kantor Staf Presiden, meski hal itu disangkal Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto. Menurut dia, perluasan wewenang Kantor Staf Presiden dibahas dalam beberapa kali rapat terbatas yang dihadiri Presiden dan Wakil Presiden. "Pak JK biasa saja, tidak ada keberatan," katanya.
Sejumlah orang dekat Kalla mengatakan, sebenarnya, api muncul sejak kelahiran Unit Staf Kepresidenan, yang berbarengan dengan pengukuhan Luhut, pada 31 Desember 2014. Waktu itu, Kalla kaget melihat Luhut mengenakan setelan jas hitam lengkap dengan peci pada pelantikan Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Madya Ade Supandi. Kalla menanyakan kepada Jokowi, tapi tak mendapat jawaban yang memuaskan.
Presiden Jokowi tak mau menjelaskan secara rinci perihal pelantikan Luhut yang tidak diketahui Kalla dan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. "Saya juga enggak tahu siapa saja yang mau dilantik. Kan, banyak orangnya," ujarnya kepada Tempo, akhir Januari lalu.
Menurut orang dekatnya, semula Kalla tak terlalu mempersoalkan pembentukan Kantor Staf itu. Sebab, selain belum efektif, wewenangnya sebatas memberikan masukan kepada Presiden dan Wakil Presiden. Organisasinya juga direncanakan ramping, yakni berupa kepala staf selevel menteri dibantu maksimal tiga asisten berpangkat eselon I-B plus 15 tenaga profesional.
Kalla berkeberatan ketika diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2015 tentang Kantor Staf Presiden. Bukan hanya kewenangannya, organisasinya juga lebih gendut. Luhut memiliki lima deputi yang setara dengan eselon I-A dan boleh menunjuk maksimal tiga anggota staf khusus dengan pangkat eselon I-B. Sedangkan setiap deputi bisa memiliki 10-15 tenaga ahli.
Kalla juga memandang Kantor Staf Presiden bisa ikut mengendalikan dan mengelola program pemerintah. Fungsi itu, menyitir konstitusi, semestinya hanya bisa dilakukan pembantu presiden, yakni wakil presiden, menteri koordinator, atau menteri.
Dia menyebut pasal 9 dalam peraturan presiden itu yang menyebutkan Kepala Staf Presiden dapat membentuk tim khusus lintas kementerian/lembaga serta menggunakan jasa konsultan dari luar pemerintahan. "Mereka semestinya hanya memberi masukan kepada Presiden dan Wakil Presiden, tak boleh eksekusi," kata Kalla. "Bisa tumpang-tindih kewenangan dengan menteri."
Luhut langsung menangkis. Menurut dia, Kantor Staf Presiden merupakan alat Presiden untuk mengawasi pelaksanaan tugas-tugas pokoknya. Dia tak sependapat jika wewenang lembaganya disebut memunculkan gesekan dengan unit lain, seperti Sekretariat Negara, Sekretariat Kabinet, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. "Kami saling koordinasi, tak ada tumpang-tindih seperti dibilang orang," ujarnya.
Kalla mengatakan memang belum terlihat timbulnya masalah dengan kehadiran lembaga baru ini. "Baru saja kerja. Kita lihat," ujarnya. Tapi ia memastikan sedang berupaya meminta Presiden Jokowi merevisi wewenang Kantor Staf Presiden.
BUKAN hanya soal Kantor Staf Presiden, Kalla ternyata menyimpan kegundahan lain. Sudah sekitar lima bulan bersama Jokowi di Istana, dia tak dilibatkan dalam penentuan petinggi-petinggi badan usaha milik negara. Presiden memegang kendali penuh soal itu bersama Menteri BUMN Rini Mariani Soemarno. "Ya, dari Bu Rini langsung ke Presiden," ujarnya.
Memang tak ada aturan baku bahwa wakil presiden harus dimintai pendapat mengenai pengisian pejabat-pejabat itu. Tapi, jamaknya, Kalla menuturkan, termasuk dalam pemerintahan terdahulu, wakil presiden dimintai masukan dan usulan direksi dan komisaris perusahaan-perusahaan pelat merah. "Itu hak prerogatif presidenlah," kata Kalla.
Pihak Istana memilih irit komentar mengenai Kalla yang disapih untuk cawe-cawe urusan direksi BUMN. Baik Andi maupun Menteri Sekretaris Negara Pratikno kompak mengatakan, "Tidak tahu soal itu."
Kebetulan hubungan Kalla dengan Rini tak bagus-bagus amat. Ketika penentuan calon anggota kabinet pada Oktober tahun lalu, Kalla menjagokan Sofyan Djalil menjadi Menteri BUMN. Padahal Megawati berkeras Rini harus menempati posisi itu. Menurut orang dekat Kalla, Rini dinilai terlalu mempengaruhi Jokowi karena hubungan mereka selama menjadi anggota Tim Sebelas dan berlanjut ke Tim Transisi Pemerintahan Jokowi-Kalla.
Di sisi lain, hubungan Rini dengan Luhut baik-baik saja. "Hubungan Pak JK dengan Luhut tidak jauh, tapi juga tidak dekat," kata anggota staf khusus Kalla, Alwi Hamu, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Belakangan, Jokowi terlihat berseberangan dengan sekondannya. Dalam wacana remisi atawa pengurangan hukuman narapidana perkara korupsi yang dilontarkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly, sikap Presiden Jokowi tegas menolak. "Agar Kemenkumham memenuhi rasa keadilan masyarakat," ujarnya.
Namun Kalla berpendapat lumrah jika terpidana kasus korupsi mendapat pengurangan hukuman. Remisi adalah hadiah bagi pesakitan yang sudah berperilaku baik selama menjalani hukuman. "Misalnya, dia patuh kepada petugas atau menyelenggarakan pelatihan bagi narapidana lain," katanya. "Pendapat saya tak bertentangan dengan Presiden."
Pecah kongsi pun tegas terlihat dalam pencalonan Budi Gunawan menjadi Kepala Kepolisian RI, Januari lalu. Presiden Jokowi tak lagi menyokong dia setelah ajudan Megawati ketika menjabat presiden itu dijadikan tersangka kasus gratifikasi dan suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam wawancara dengan Tempo pada akhir Januari, dia mengatakan seharusnya Dewan Perwakilan Rakyat tak memproses Budi yang berstatus tersangka. "Kan, begitu logikanya," ujar Jokowi.
Adapun Kalla terang-terangan memihak Budi. Dia mempersoalkan mengapa status itu muncul setelah Budi menjadi calon Kepala Polri. Dia menolak itu disebut sebagai bukti berseberangan dengan Jokowi karena masalah beres ketika pelantikan Budi dibatalkan demi menyetop kontroversi di masyarakat. "Ah, itu masa lalu," katanya.
Kalla bersama Megawati dan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh memang getol menyokong Budi. Maka muncullah julukan KMP buat mereka, yakni Kalla, Mega, dan Paloh. Sebutan itu sebelumnya milik partai-partai nonpemerintah yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih, yakni Partai Golkar, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan kubu Djan Faridz.
Mereka berkolaborasi lagi di tengah konflik internal Golkar antara kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Mereka menyokong Agung, yang sejak awal mendukung Jokowi-Kalla. "Ini akan memperkuat pemerintah," ujar pelaksana tugas Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, Kamis pekan lalu. Kalla menganggap keputusan Yasonna sudah benar karena memang kubu Agung yang sah.
Kubu Ical, panggilan Aburizal, menuding Kalla "ikut main" sehingga Yasonna, yang juga kader PDI Perjuangan, mengeluarkan surat yang berpihak pada kubu Agung. "Jokowi tak tahu Yasonna memutuskan seperti itu," kata Ketua Fraksi Golkar di DPR, Ade Komaruddin. Yasonna mengakui melapor ke Jokowi setelah menerbitkan surat. Kelompok Aburizal berkiblat ke Luhut, yang juga mantan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Golkar.
Luhut membela Aburizal dalam perebutan posisi ketua umum melawan Surya Paloh dalam Musyawarah Nasional Golkar 2009 di Riau. Sedangkan Kalla mendukung Surya. Aburizal menang dan Luhut pun menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan. Lalu Surya mendirikan Partai NasDem.
Luhut mengundurkan diri dari kepengurusan dalam masa kampanye pemilihan presiden pada Juni tahun lalu karena mendukung Jokowi. Sedangkan Golkar di bawah Aburizal ke Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Belakangan, Aburizal kembali merapat ke Luhut. Sebelum bertemu dengan Jokowi di Istana pada Januari lalu, dia bersilaturahmi ke kantor Luhut di Bina Graha, bekas tempat Presiden Soeharto bekerja.
Menurut seorang politikus senior Golkar kubu Aburizal, bosnya mengadu ke Luhut ketika Yasonna menerbitkan surat dukungan kepada Agung pada 10 Maret lalu. Luhut kemudian menyampaikan kepada Jokowi agar Yasonna jangan mengesahkan kepengurusan Agung.
Luhut mengakui kerap berkomunikasi dengan Aburizal. Namun, menurut dia, Presiden tak pernah mengintervensi masalah Golkar. "Paling Presiden monitor-monitor perkembangan," ujarnya. Dia juga membantah anggapan bahwa Kantor Staf Presiden dirancang menjadi tameng Jokowi menghadapi rival politik. "Tidak ada bumper-bumperan."
Jobpie Sugiharto, Ananda Teresia, Tika Primandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo