Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilihan umum legislatif Israel pada Selasa pekan lalu terhitung bersejarah. Untuk pertama kalinya empat partai yang mewakili warga Arab Palestina di Israel membentuk koalisi, Joint List. Keempatnya adalah Raam, Partai Persatuan Arab; Ta'al, Gerakan Arab untuk Pembaruan; Balad, Dewan Demokrasi Nasional; dan Partai Arab-Yahudi, Hadash. Mereka berlatar ideologi berbeda, dari Raam yang islamis, Ta'al dan Balad sekuler, hingga Hadash yang komunis.
Partai-partai kecil yang anggotanya pernah tak bertegur sapa itu sepakat berbagi kursi karena sejak Maret 2014 ambang batas suara partai untuk masuk Knesset, parlemen, naik dari 2 persen menjadi 3,25 persen. "Komunitas Arab di Israel ingin bersatu agar bisa lebih mempengaruhi dan menantang pemerintahan Netanyahu yang rasis serta membuat kebijakan yang hanya mengutamakan Yahudi," kata Masud Ganaim, anggota Dewan Partai Raam, seperti diaporkan Al Jazeera America, Januari lalu. Populasi warga Arab berjumlah 1,7 juta jiwa atau 20 persen dari sekitar 8 juta jiwa penduduk Israel.
Hasil exit poll pemilu, menurut Haaretz pada Rabu pekan lalu, Joint List meraup 14 kursi Knesset, termasuk tiga besar pendulang kursi Knesset. Peringkat pertama adalah Likud, partai Benjamin Netanyahu, yang mendapat 30 kursi. Zionist Union pimpinan Isaac Herzog berada di urutan kedua dengan 24 kursi.
Amal Jamal, profesor ilmu politik Universitas Tel Aviv, mengatakan warga Arab Israel tahun ini lebih antusias menggunakan hak pilih karena merasa realitas di Israel bisa berubah bersama Joint List pimpinan Ayman Odeh. "Persatuan Arab bisa mengubah peta politik Israel. Karena itu, ada optimisme," ujarnya seperti dikutip The New York Times, Ahad pekan lalu. Secara keseluruhan pemilih Israel yang menggunakan suaranya mencapai 71,8 persen—dibanding 67,8 persen pada pemilu 2013.
Odeh, pengacara berusia 40 tahun, tadinya bukan figur terkenal meski pernah menjadi anggota Dewan Kota Haifa dari Partai Hadash. Simpati mengalir untuknya setelah Avigdor Lieberman, Menteri Luar Negeri Israel yang ultranasionalis, menyudutkan Odeh dalam sebuah debat televisi. "Kenapa kamu datang ke studio ini, bukan ke Gaza atau Ramallah? Kamu tidak diinginkan di sini, kamu warga Palestina," kata Lieberman. Odeh menjawab dengan tenang, "Saya bagian alami dari lingkungan dan bentang alam di sini." Dia sesungguhnya menyindir Lieberman, yang berimigrasi dari Moldova, negara pecahan Uni Soviet.
Mohammed Yehya, warga Arab Israel, misalnya, mengatakan seluruh keluarganya bakal mendukung Odeh. Padahal selama ini mereka tak pernah ikut pemilu karena tak mempercayai Knesset. Pada pemilu legislatif 2013, hanya 55 persen warga Arab Israel yang menggunakan hak suara. Sekarang, Yehya berujar, "Kami ingin berpengaruh dalam politik dan diperlakukan seperti Yahudi."
Dalam pemilu Israel, rakyat memilih calon anggota legislatif dari partai untuk duduk di Knesset. Selanjutnya pemimpin partai terbesarlah yang mendapat mandat dari presiden untuk membentuk pemerintahan. Tahun ini ada 10 partai bersaing, berebut total 120 kursi. Butuh koalisi untuk mencapai mayoritas 61 kursi. Karena itu, meski Netanyahu dan pendukungnya bersorak-sorai mengklaim menang, dia harus memperhitungkan Joint List, yang bakal memiliki posisi kuat untuk ikut menentukan pemerintahan berikutnya. Netanyahu menyadari hal ini hingga memperingatkan pendukungnya pada hari pemilu. "Rezim 'kanan' dalam bahaya. Pemilih Arab datang dalam jumlah besar ke tempat pemungutan suara," kata pria yang biasa disapa Bibi itu melalui video di Facebook.
Juru bicara Joint List sekaligus calon legislator, Yousef Jabareen, menegaskan kubunya tak akan mendukung Netanyahu. "Kami akan melakukan yang terbaik untuk mencegah Netanyahu tetap berkuasa," ujarnya seperti ditulis International Business Times, Senin pekan lalu.
Namun itu bukan berarti Joint List bisa langsung mendukung kubu Herzog seperti isyarat Ganaim, "Kami sedang mempertimbangkan itu." Menurut Lisa Goldman, Direktur Israel-Palestine Initiative di New America Foundation, partai Yahudi arus utama memandang koalisi dengan Arab adalah tabu. "Karena mereka (Arab) bukan Zionis," katanya kepada Al Jazeera America.
Maka Joint List menjadi kartu liar. Haneen Zoabi, politikus perempuan calon anggota legislatif Joint List, memberi sinyal opsi ketiga: menjadi oposisi. Dia telah menyiapkan tuntutannya kepada pemerintahan Israel, protes 50 undang-undang rasis yang menguntungkan warga Yahudi dalam kepemilikan tanah, perumahan, dan akses pendidikan. "Kami harus membuat Israel lebih bertanggung jawab karena menolak perjanjian adil dengan Palestina dan menjadi negara apartheid," ujarnya kepada IB Times.
Atmi Pertiwi (Haaretz, IB Times, CNN, Foreign Policy, The New York Times, Al Jazeera America)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo