Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Secarik Kertas di Saku Pak Joni

ENAM bulan berlalu sejak bah menggempur Nanggroe Aceh Darussalam. Terseok, tersengal-sengal, provinsi itu berusaha bangkit. Jalan tembus dibangun, jembatan putus dijahit.

Desa-desa miskin ditinggalkan penduduknya, pusat pengungsian riuh oleh orang yang mencari hangat dan sepiring nasi. Ada yang sudah bisa tertawa, banyak pula yang belum bisa melupakan nestapa itu.

Wartawan Tempo Arif Zulkifli dan fotografer Bernard Chaniago menyusuri kawasan yang guyah sepanjang pantai barat Aceh: dari Ibu Kota Banda Aceh hingga Singkil di perbatasan Sumatera Utara. Andari Karina Anom melengkapinya dengan sejumlah riset di Jakarta.

Hidup hanya menunda kekalahan, kata Chairil Anwar. Di Aceh, orang-orang berusaha tidak menyerah.

27 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA bulan lamanya potongan surat kabar itu didekap Joni Adil di saku kemejanya. Berpindah dari satu baju ke baju lain, dari satu hari ke hari berikutnya. Digunting dari sebuah surat kabar nasional, kertas itu memuat pernyataan Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar, "Korban Tsunami Boleh Bangun Rumah di Pantai". Ada koyak pada garis lipatan kertas yang tak lagi berwarna putih itu.

Joni, 64 tahun, mempercayai warta itu. Ia membawa potongan kertas itu ke mana pun pergi. Dari rumah anaknya di Kampung Gampa, Meulaboh, hingga ke bekas rumahnya di pantai yang lantak oleh tsunami. "Ini pegangan saya," katanya lirih. Ia ingin membangun kembali rumahnya yang kini tinggal lantai. Tapi ia tak punya uang.

Di atas tanah bekas lahannya, lelaki itu mengumpulkan sisa bahan bangunan: beberapa batu bata, seng bekas, potongan kayu, dan sedikit pasir. Sebagai pensiunan pegawai perkebunan, Joni mendapat Rp 950 ribu per bulan. Tapi sepertiga dari gajinya itu dipakai mencicil rumah yang kini tak bersisa. "Cicilannya masih satu tahun lagi," katanya.

Enam anaknya yang sebelumnya nelayan kini menggantungkan diri pada gaji Joni Adil. Setelah kapal mereka pecah oleh bah, anak-anak itu tak lagi punya pekerjaan tetap. Mereka selamat karena berada di laut ketika bencana itu datang. Istri Joni wafat tiga tahun lalu.

Joni sendiri tak punya kegiatan. Setiap hari ia mengayuh sepeda enam kilometer dari rumah anaknya ke bibir pantai Meulaboh. Di bekas rumah itu ia membangun tenda—enam kayu bekas yang dipacakkan untuk mengikat kain gombal penadah panas.

Ada tikar lusuh sebagai alas tidur. Juga serombeng gelas kaleng, beberapa sendok, dan sebiji radio mini. "Radio itu dari anak saya yang sempat bekerja sebagai relawan LSM asing."

Lebih dari 50 tahun Joni menghuni rumah itu. Seraya berjalan tertunduk, ia menunjuk bekas-bekas ruang yang pernah ia huni. "Ini kamar saya, itu kamar anak-anak," katanya tersenyum. "Di sana dulu anak-anak nonton TV."

Soal rencana pemerintah membangun kembali kawasan itu, Joni hanya bisa menggeleng. Katanya, tak pernah ada pengukuran ulang tanah, apalagi mendengar janji pemerintah membangun kembali kawasan itu. "Apa pun yang terjadi, saya tak akan meninggalkan tanah ini," katanya. "Ini milik saya, ini sejarah saya…."

* * *

ENAM bulan tsunami berlalu. Aceh berbenah, tertatih, terungguh-inggih. "Banyak orang datang ke sini, tapi pembangunan tak ada," kata pengemudi mobil yang menjemput saya di Bandara Sultan Iskandar Muda.

Tak banyak yang berubah dari Aceh setelah gempa 8,9 skala Richter, 26 Desember. Di Ibu Kota Banda Aceh, gunungan sampah dan jenazah memang sudah tak ada. Tapi di jalan-jalan belum tampak bangunan permanen didirikan.

Sisa-sisa tragedi belum sepenuhnya hilang. Pembangkit listrik tenaga uap terapung, seberat 450 ton, yang terdampar di pusat Kota Banda Aceh, masih terbengkalai di sana. Sebuah kapal pengangkut batu bara yang nyangsang di perkampungan nelayan di Lhok Nga juga belum disingkirkan. "Itu kapal Singapura, mungkin bulan depan diambil pemiliknya," kata seorang penduduk.

Selasa tiga pekan lalu adalah awal perjalanan kami menyusuri kawasan tsunami: dari Banda Aceh ke tenggara melewati Lamno, Calang, Blangpidie, Tapak Tuan, hingga Singkil di tapal batas Sumatera Utara. Menyusuri jalan darat hampir 1.000 km, melintasi jalan rusak, jembatan putus, hutan terbakar, sungai, dan bukit yang kemiringannya meremas jantung.

Melewati delapan kabupaten, 26 kecamatan, dan puluhan desa. Lahan dan kebun lengang ditinggalkan pemiliknya, tanah-tanah terkelupas oleh air, desa-desa seketika kehilangan penduduk. "Kalian yakin menembus pantai barat dengan mobil ini?" begitu kawan-kawan di Banda Aceh meragukan Toyota Kijang yang kami pakai untuk menembus kawasan tsunami.

Idealnya, jalur itu memang diterabas dengan kendaraan bertenaga empat roda. Yang lain malah menyarankan membawa dua mobil: satu untuk dikendarai, yang lain untuk menarik jika mogok atau terperosok. Tapi Razali, sopir yang mobilnya kami sewa, yakin luar biasa. Ia mempertaruhkan jam terbangnya membawa wartawan meliput konflik Aceh.

Kurang dari 24 jam setelah kekhawatiran itu, semuanya terbukti. Siang itu, di balik kemudi, Razali kehilangan senyumnya. Di depan kami terhampar jalan 500 meter yang cair oleh lumpur. Sejak dari Lamno, orang-orang sudah memberi isyarat agar tidak melewati jalan itu jika hujan baru turun. Tapi waktu tak bisa menunggu, dan inilah akibatnya: mobil terperosok hingga hampir seluruh ban terbenam.

Beruntung sebelum menyeberangi hilir Sungai Krueng Inom, selepas Lamno, saya berkenalan dengan Andreas Reisinger. Ia pemuda tegap asal Austria yang bekerja untuk Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional. Sudah empat setengah bulan ia di Aceh.

Siang itu, sambil menunggu tronton yang akan menyeberangkan penumpang melintasi sungai selebar 30 meter, kami bercakap-cakap. Hujan turun. Gerimis mempercepat kelam. Angin yang menerpa tenda-tenda pengungsi menghasil- kan suara kepak yang ritmik dan teratur.

Di warung berdinding kayu, sambil menyantap durian Lamno yang legit, saya meminta izin Andreas agar kami boleh berjalan di depannya. Ia malah menawarkan mobil kami berjalan di tengah, di antara dua mobil besar berwarna putih yang membawa rombongan mereka.

Di Peusangon, di jalan yang durjana itu, perkenalan dengan Andreas terbukti banyak gunanya. Dengan Ford dua kabin, ia sepenuhnya menguasai lapangan. Mobilnya menari, meliuk-liuk, menyeret kendaraan yang terperosok. Mula-mula sebuah L-300, kendaraan umum yang membawa penumpang dari Lamno ke Calang. Lalu ia menarik mobil kami hingga ke ujung. Razali kembali menemukan senyumnya: gigi putih menyeringai dari balik misainya yang lebat.

Jalan terburuk memang Lamno-Calang. Jarak kedua kota ini sebetulnya hanya sekitar 100 km. Tapi buruknya medan membuat waktu tempuh melorot hingga lima-enam jam. Jalan aspal sebelum tsunami hampir sepenuhnya sudah terkelupas. Berpuluh jembatan hilang atau terlempar dari tempatnya. Hutan bakau, yang dipercaya bisa menahan laju air, terbukti tak mampu menghalau bah. Di sisi jalan, rimbun mangrove malah tercongkel hingga akarnya.

Jalan buruk lain ditemukan di dekat Suak Seumaseh, sebelum Meulaboh. Di sini jalur sepanjang 300 meter terletak di sisi sungai. Ini jalan alternatif setelah jembatan yang sebelumnya ada terpental entah ke mana. Jika air pasang, dipastikan kawasan itu akan menjadi bagian dari kali. Jika surut, kita akan menemukan kubangan setinggi paha.

Hampir seluruh jalan di pantai barat Aceh—terutama jalur Banda Aceh-Lamno-Calang—dibangun TNI selama dua bulan pertama setelah tsunami. Ribuan tentara dari Marinir dan Batalion Zeni Tempur berbagai kesatuan bekerja siang-malam menghubungkan desa-desa di jalur sepanjang 180 km. Semua tentara bekerja dari pukul 8.00 pagi hingga 10.00 malam. "Adik sekarang bisa melihat pipi kami berdaging. Dulu kami semua tirus," kata Afrizal, tentara yang malam itu menemui saya di Calang.

Dengan perlengkapan seadanya, mereka membuat jalan-jalan baru: di atas rawa, di padang tandus, di atas bekas sawah dan kebun. Jika jalan lama terlalu hancur, mereka memapas bukit membuat jalur baru yang terjal. Batu dikumpulkan dari sungai-sungai terdekat. Jembatan balley dibawa dari markas kesatuan atau bantuan dari lembaga asing atau nasional. Semua serba minim. "Bahkan paku kami kumpulkan dari sisa puing bangunan yang dilanda tsunami," Afrizal mengenang. Ia menyedot rokoknya dalam-dalam. Bau laut meruap. Langit bersih di atas kami, memberi kesempatan kepada gugusan bintang memamerkan kerlipnya.

* * *

DI PENGHUJUNG Krueng Sabe, sore terang sungguh. Lahan berhektare-hektare di kiri-kanan jalan tak bersuara. Beberapa tenda pengungsi kosong ditinggalkan penghuninya—menyisakan desir angin dan suasana suwung. "Mereka pindah ke desa sana," kata satu dari tiga perempuan pengendara sepeda yang melintas di jalan raya.

Masih tampak bekas pasir yang diangkut bah di atas kebun dan ladang penduduk. Di atasnya, tumbuh bunga rumput dan rimbun putri malu.

Sepi di luar, sepi menekan-mendesak Lurus kaku pepohonan. Tak bergerak Sampai ke puncak.

Desa terpencil menjadi begitu kecil. Tak ada yang bisa diharapkan pada kawasan yang tak terjangkau bantuan. Orang-orang mengungsi, mencari hangat dan makan pagi, ke tempat-tempat ramai. Pusat pengungsian memang tempat yang sedih namun menyediakan banyak hal: makanan, air bersih, sekolah sementara, pusat-pusat pelatihan, dan juga pekerjaan. Tak cuma dari dusun. Untuk mencari hidup, "imigran" dari kota pun mendatangi tempat-tempat pengungsian.

Mari lihat pengalaman Erza Aulia, bekas mahasiswa Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Orang tua Erza berasal dari Leupung, Aceh Besar, tapi sejak kecil ia sudah merantau ke Banda.

Ketika gelombang datang, hampir semua warga Leupung tewas. Keluarga Erza juga. Anak muda itu hidup sebatang kara. Ketika di Banda, ia membuka kedai kopi. Tapi dampak tsunami melantakkan usahanya itu, termasuk kesempatannya untuk tetap kuliah.

Kini Erza kembali ke kampung halamannya. Di Leupung, Erza bekerja dalam program Cash for Work, sebuah aktivitas yang dikelola Badan AS untuk Pembangunan Internasional (USAID). Ini program yang mengumpulkan penduduk lokal untuk membersihkan lahan. Sehari mereka digaji Rp 37.500—dipotong Rp 2.500 jika makan siang dari dapur umum.

Di sepanjang jalur Lhok Nga hingga Lamno, program ini mudah ditemukan. Puluhan, bahkan ratusan, orang berseragam kuning atau oranye terserak di ta-nah terbuka. Senja itu Erza menyorongkan gerobak yang memuat batu besar. Tangannya tak kekar, meski tampak jelas urat mengular di dekat sikunya.

Ada saja cara orang mencari pekerjaan. Di Meulaboh, di bekas rongsokan tsunami, setiap hari sekitar 20 pengumpul besi bekas berkerumun di belakang traktor milik Badan Pembangunan PBB (UNDP). Setiap kali traktor melaju, setiap kali juga mereka menunduk-nunduk memungut potongan logam.

Besi-besi itu dikumpulkan dan dijual ke Medan dengan harga Rp 700 per kilo. Sehari rata-rata seorang pemulung mendapat 50 kilo. "Tapi nggak tentu. Kadang-kadang cuma dapat sedikit," kata seorang di antara mereka.

Tak jauh dari sana, belasan orang lainnya menjala ikan di kubangan legam—legokan 100 meter persegi yang diciptakan tsunami. Ikan dan udang hidup di sini. "Lumayan untuk mengisi waktu," kata Zul, pekerja LSM lokal yang siang itu berlumur lumpur sambil menenteng ember berisi ikan kecil.

Di Ulee Lhee, Banda Aceh, Juanda, 36 tahun, punya kesibukan lain lagi. Selain menjadi penjaga malam di sebuah proyek pengadaan air bersih milik pemerintah Kuwait, ia kini menjadi petani semangka. Di lahan remuk-redam itu, semangka memang tumbuh subur: liar dan tak jelas dari mana asalnya. Juanda—duda setelah ditinggal mati istri dan tiga anaknya—memagar sedikit tanah dan memindahkan semangka liar itu ke sana. "Supaya tak terpijak orang," katanya.

* * *

EKONOMI pesisir sejatinya memang tak mudah dipatahkan—bahkan oleh humbalang air yang menewaskan lebih dari 200 ribu orang pada akhir Desember lalu. Setelah lewat enam bulan, sebagian kota di pesisir Aceh mulai menggeliat. Calang adalah contoh ekstrem.

Ibu kota Kabupaten Aceh Jaya ini kehilangan hampir seluruh penduduknya. Posisi kota yang menjorok ke laut menyebabkan gelombang datang dari tiga sisi. Tak ada bangunan tersisa.

Kini Calang menjadi kota baru: sederhana tapi mulai menunjukkan degupnya. Bangunan-bangunan tidak permanen bercat putih tumbuh di sepanjang jalan utama dan di bekas rumah penduduk. Sebagian besar bangunan ini didirikan relawan.

Pasar meriah: hampir semua barang bisa ditemukan. Dari restoran sederhana, jasa fotokopi, warung telekomunikasi berbasis satelit, hingga pedagang pompa air. Bupati, pengadilan, polisi, dan berbagai departemen sudah memiliki kantor berwujud rumah petak dari kayu, meski belum semuanya berfungsi. Telepon seluler memperoleh sinyal, meski terkadang hilang, terutama jika TNI meningkatkan frekuensi radionya jika sedang memburu gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Pebisnis gabungan antara pendatang—dari Banda Aceh, bahkan dari luar Nanggroe—dan penduduk lokal yang selamat. Pedagang lokal umumnya cepat membangun kembali usaha mereka dari sisa tabungan. Afrizal, seorang pemuda Calang yang berada di Banda Aceh ketika gelombang datang, cepat menyewa tanah untuk dijadikan tempat usaha.

Dia membayar Rp 500 ribu untuk sepetak lahan sekitar 100 meter persegi selama setahun. Rumahnya sendiri tak bisa dibangun lagi karena terlalu dekat dengan pantai. Dari tabungannya yang tersisa, ia membeli mesin fotokopi bekas seharga Rp 16 juta dan pelbagai alat kantor.

Pengungsi bukan tak ada. Sebagian besar dari mereka menempati tenda darurat di bukit-bukit. Tenda-tenda relawan asing berukuran besar dan bersih dibangun di kaki-kaki gunung.

Geliat Calang banyak disebabkan oleh besarnya perhatian LSM nasional dan internasional. Puluhan lembaga kini menjalankan proyeknya di sini. Dari menyediakan layanan kesehatan, air bersih, pendidikan, hingga pemberdayaan birokrasi daerah.

Menurut Sri Purbo Sudarmo, konsultan USAID, kota ini satu-satunya kawasan tsunami yang sudah punya pendapatan asli daerah. Meski tak besar, pemerintah kabupaten kini mendapat duit dari pajak usaha sarang burung walet yang dikelola penduduk. "Saya rasa komunitas burung walet boleh berbangga. Mereka turut membangun Calang, meski cuma dari ludahnya," Purbo bergurau.

Selama masa tanggap darurat, kerja LSM asing dikoordinasikan oleh pemerintah. Tapi, dengan birokrasi yang lumpuh, umumnya pekerja asing bekerja sendiri-sendiri. Di sini gesekan antar-LSM tak terhindarkan.

Mari kita dengarkan kisah Bachtiar, site manager perusahaan mobil terkemuka Rolls Royce. Selepas masa tanggap darurat, perusahaannya membangun sebuah puskesmas di atas lahan bekas rumah sakit di mulut jalan Kota Calang.

Bekerja sama dengan sebuah bank dan sebuah LSM kesehatan, mereka mendatangkan bangunan separuh jadi dari Singapura. Sedikit lebih luas dari lapangan voli, rumah besi mirip kontainer itu dirakit di tempat dan rampung dalam tiga pekan. Ditambah sebuah paviliun untuk dapur, ruang cuci, enam kamar untuk menginap dokter, jadilah ia sebuah puskesmas modern. Kamar-kamarnya berpendingin udara. Dokter dan perawatnya bersih dan ciamik.

Ketika puskesmas hampir jadi, gerutu datang dari relawan PBB. Bachtiar dianggap tidak berkoordinasi dengan badan dunia itu. "Kata mereka, saya nggak pernah datang rapat," kata pria berbadan gempal itu. Tapi Bachtiar tak peduli. Menurut dia, PBB bukanlah koordinator pembangunan kembali Kota Calang. Katanya, yang penting dia sudah mendapat izin dari bupati dan DPRD setempat. Tak terjadi bentrok terbuka, memang. Tapi sempat muncul suasana tak enak.

* * *

KOORDINASI memang problem utama pembangunan kembali Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam masa tanggap darurat, tongkat komando diacungkan dari Jakarta—dipimpin Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Alwi Shihab. Setelah tiga bulan lewat, dibentuk Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias, yang dipimpin bekas Menteri Pertambangan Kuntoro Mangkusubroto.

Dasar pembangunan kembali Aceh adalah cetak biru, rencana pembangunan yang dibuat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Tapi Kuntoro tak melihat dokumen itu sebagai benda mati. Idenya mulia: ia ingin semua proyek dikomunikasikan dengan publik terlebih dulu agar tak terjadi masalah di kemudian hari.

Ada rencana, setiap bangunan yang berdiri di Aceh tidak dikerjakan oleh kontraktor luar, tetapi oleh masyarakat Aceh sendiri. "Kita ingin masyarakat terlibat langsung," kata Sudirman Said, Deputi Bidang Komunikasi dan Informasi BRR.

Tapi pembangunan yang partisipatif membutuhkan waktu, dan itulah soalnya. Hingga saat ini belum jelas hendak dijadikan apa kawasan yang tertampar tsunami. Kalaupun ada, bangunan umumnya adalah bedeng sementara yang siap digusur sekali waktu.

Beberapa aktivis LSM yang saya temui di Calang mengatakan BRR terlalu Banda Aceh-sentris. Berpusat di ibu kota provinsi, badan ini dianggap tidak peka terhadap aspirasi daerah. "BRR terlalu percaya pada orang-orang yang datang membawa proposal ke Banda," kata seseorang dari USAID.

Itulah sebabnya, sulit membayangkan rekonstruksi—deru pembangunan, traktor berseliweran, rumah-rumah permanen dibangun—terjadi dalam enam bulan ke depan. Bahkan pengukuran kembali tanah penduduk—syarat mutlak bagi didirikannya bangunan baru—belum dilakukan tuntas. Ada memang LSM asing yang membantu penduduk mengukur tanah, tapi sertifikat legal tetap menunggu Badan Pertanahan Nasional (BPN).

* * *

TAK biasanya Razali, sopir kami, tak bisa dikendalikan. Biasanya setiap permintaan berhenti untuk memotret selalu dipenuhinya. Kali ini ia tancap gas. Di Tapak Tuan, di sebuah jembatan patah—obyek foto yang sebetulnya menarik—ia tetap saja ngebut.

Dari Jakarta, saya sudah mendengar jalur yang kami lewati adalah daerah GAM. Razali menyadari itu. Di sepotong jalan tembus dengan hutan lebat di kiri dan kanannya, ia melaju meski sebatang pohon tumbang hingga menutupi sebagian badan jalan. "Sekali kita berhenti, mereka keluar dan urusan jadi panjang," katanya.

Keamanan adalah persoalan lain Aceh pasca-tsunami. GAM memang sudah terdesak ke hutan-hutan setelah TNI meningkatkan operasinya. Dicabutnya status darurat militer nyatanya tidak mengurangi ketegangan.

Intensitas keamanan—untuk menandai besar-kecilnya ancaman gerilyawan—mudah diidentifikasi dengan melihat perilaku polisi dan tentara. Jika aparat menenteng M-16 atau AK-47 bahkan sambil menyeruput kopi, bisa dipastikan keamanan di sana masih buruk.

Di Lamno, keadaan itu terasa. "Tadi malam baru saja ada kontak senjata," kata seorang pedagang buah di pusat kota. Pada bulan pertama tsunami, di Lamno sempat diberlakukan jam malam. Dua pekan lalu Eva Young, relawan Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, ditembak orang tak dikenal.

Di Calang lain lagi. Meski tentara banyak, umumnya mereka lebih rileks: mereka bebas berkeliling tanpa membawa senapan. Di Tapak Tuan, pos pemeriksaan Brimob dan TNI bisa ditemukan hampir setiap satu kilometer. Tak seperti kawasan lain, pos-pos di sini lebih tertutup—papan kayu disusun hingga menutupi wajah aparat yang berjaga.

* * *

KEAMANAN tak pulih, kesempatan tak banyak, tapi orang-orang tak ingin menyerah. Di bawah matahari Meulaboh, di dekat sebuah perigi tua, Joni Adil du-duk. Di dekat sumur itu terdapat sebuah penyaring air sederhana: jeriken yang diisi sabut dan pasir. "Dulu sumur ini bersih, sekarang sudah teraduk air tsunami," tuturnya.

Ia menunggu, entah apa, sambil membersihkan lantai rumahnya yang tanpa dinding. Ke arah laut kepalanya berpaling. Matanya yang keruh seperti mengutip sepotong sajak Hartojo Andangdjaja:

Ladang-ladang tidak berbunga Orang-orang lemah dan mereka Hanya bicara lewat caya mata: — ke manakah engkau, saudara jalan sudah begini jauhnya.

Arif Zulkifli (Nanggroe Aceh Darussalam)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus