Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Serambi Menjadi Mekah?

27 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Otto Syamsuddin Ishak
  • Direktur Program Imparsial dan aktif di Aceh Working Group

    Aceh terus-menerus mengalami gelombang reislamisasi yang tak kunjung usai. Nurdin Ar-Raniry, ulama asing dari Gujarat, melakukan reislamisasi Aceh dengan pendekatan politik. Ketika ia menjadi ulama-istana Sultan Iskandar Tsani, Nurdin memfatwakan ajaran tarekat Hamzah Fansuri berbasis pada wahdatul wujud (kesatuan wujud) sehingga sesat. Ia pun membasmi ulama dan membakar alkitab yang dianggap pro-Hamzah. Ia mendakwahkan ajarannya sendiri yang disebutnya wahdatul shuhud (kesatuan penyaksian). Reislamisasi Nurdin adalah reortodoksi religiositas orang Aceh.

    Pada masa kolonial, aktor reislamisasi Aceh adalah Snouck Hurgronye. Cendekiawan istana kolonial ini melakukan reislamisasi setelah mendefinisikan religiositas orang Aceh bercampur mistik dan membahayakan kekuasaan kolonial. Negara harus mengatur religiositas. Islam—spirit, ibadah, kepemimpinan, dan harta bendanya—menjadi bagian dari sistem birokrasi kolonial. Monumen birokrasi itu adalah Kantoor voor Inlandsche zaken, yang kemudian menjadi cikal-bakal Departemen Agama RI. Reislamisasi Snouck menjadi bermakna restrukturalisasi religiositas orang Aceh.

    Gelombang besar reislamisasi Aceh yang ketiga terjadi sepanjang konteks politik keindonesiaan. Islam sebagai identitas keacehan menjadi bagian utama dalam trilogi kompensasi politik rekonsiliasi Aceh-Indonesia pascagerakan separatisme DI/TII Daud Beureueh pada masa orde Soekarno. Trilogi yang bermuatan—agama, adat, dan pendidikan—yang dikenal sebagai keistimewaan Aceh. Namun hal itu tak pernah terumuskan dengan baik dalam mindset orang Aceh sehingga tidak menjiwai dinamika pembangunan.

    Ketika masuk ke konteks politik Orde Soeharto 1970-an—yang merupakan rezim birokratik-militer—adalah sangat fobi terhadap Islam. Di sisi lain, orang Aceh mulai tersadar untuk merumuskan kembali trilogi keacehan itu. Akibatnya, sebagaimana yang dilaporkan oleh Tim Kell, orang Aceh sudah dilihat sebagai pemberontak.

    Tindakan orang Aceh bertentangan dengan agenda politik yang sedang membangun identitas nasional yang baru—dengan menghapus identitas lokal, dan khususnya spirit keislaman. Ulama Aceh, mau tidak mau, terserap ke dalam arus Golkarisasi secara politik. Mereka juga tersita untuk memikirkan keselarasan Islam dengan Pancasila. Shock therapy militer menjungkir "karamah" ulama, dan mendesakkan identitas keacehan ke alam bawah sadar orang Aceh. Reislamisasi Aceh adalah mengorientasikan spirit keislaman ala Aceh untuk kepentingan nasional dengan memusnahkan trilogi keacehan.

    Orde Soeharto jatuh, identitas keacehan yang didorong ke alam bawah sadar pun rupanya telah mengkristal. Akibatnya, apa yang telah dicapai dalam operasi militer terdekonstruksi dengan sendirinya. Orde transisi Habibie menjadi gagap berhadapan dengan tuntutan orang Aceh. Kelas menengah Aceh yang telah terindonesiakan selama Orde Soeharto menawarkan jalan keluar dari tuntutan politik merdeka dengan proposal mentransformasi syariat Islam menjadi hukum syariat.

    Habibie mengadopsinya dalam bentuk pemberlakuan syariat Islam sebagai hukum positif "yang sangat terbatas" di Aceh. Pemberlakuan syariat—seperti yang termaktub dalam UU No. 44/ 1999--adalah menjadi bagian dari trilogi keacehan, bukan hal yang berdiri sendiri. Lalu, Presiden Megawati mengeluarkan Keppres RI No. 11/2003 tentang Pembentukan Mahkamah Syariah. Jadi proyek reislamisasi Aceh dalam konteks politik Indonesia adalah strukturalisasi Islam di Aceh.

    Kontradiksi justru terjadi di dalam diri orang Aceh. Kaum kelas menengah, yang mengalami Indonesianisasi yang kencang, mengajukan pemberlakuan syariat sebagai hukum positif. Perspektif kelas menengah tentang syariat menjadi sangat strukturalis. Hal ini tercermin pada target grup penerapan hukum syariat yang diskriminatif, baik dalam kelas sosial (yakni hanya kelas bawah) maupun dalam hal kelompok sosial-politik—yakni tidak diberlakukan terhadap kaum birokrat, penguasa, dan kaum serdadu.

    Sedangkan massa yang dialienasi dari keindonesiaan masih berpegang pada adagium: "relasi antara adat dan agama adalah bak zat dan sifatnya." Ternyata massa lapis bawah berperspektif kulturalis. Massa kelas bawah di Aceh cenderung pada penerapan hukum adat merupakan perwujudan dari roh syariat. Pandangan ini sangat mendominasi dalam kehidupan sehari-hari orang Aceh.

    Memang ada kontradiksi antara penerapan syariat di Mekah dan di Serambi. Di Mekah, syariat sebagai hukum baru diterapkan dalam geopolitik Dar as-Salam (wilayah damai). Nabi SAW dan para sahabat yang bertanggung jawab mengelolanya. Di Aceh, hukum syariat "terbatas" justru diberlakukan dalam geopolitik Serambi sebagai Dar al-Harb (wilayah perang). Ulama yang merupakan ahli waris kenabian justru tak berwewenang. Umaranya juga (diduga) korup. Celakanya, Nabi Saw pun tak pernah menggunakan hukum syariah sebagai instrumen resolusi konflik vertikal.

    Jadi reislamisasi kali ini—dengan mentransformasi Serambi menjadi Mekah—melalui penerapan hukum syariah, justru kontradiktif dengan sejarah kenabian dan realitas sosial keacehan itu sendiri.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus