Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bengkel Teater Dari Mini Kata sampai Sobrat

27 Juni 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bakdi Soemanto
  • Fakultas Ilmu Budaya UGM

    TIDAK begitu pasti hingga sekarang, kapan tanggal dan bulan Bengkel Teater didirikan. Pada akhir 1967, tatkala Rendra baru datang dari Amerika, latihan yang diselenggarakan di Kampung Mancasan boleh dikatakan sebagai awal kegiatan Bengkel Teater. Pada awal berdirinya, latihan hanya diikuti oleh empat orang. Kemudian peminat berdatangan. Lahirnya grup ini bisa dikatakan sebagai tanggapan terhadap situasi teater di Indonesia yang lesu.

    Seperti namanya, Bengkel, latihan itu beda sekali dengan sebelum Rendra ke Amerika. Keluwesan tubuh, kesigapan mental merespons keadaan, kejernihan bernalar, ketajaman indra menangkap sasmita, kepekaan mengikuti irama, spontanitas, menjadi perhatian. Ada latihan mendengarkan suara sepi. Dengan kata lain, calon-calon aktor dilatih mengeksplorasi kemungkinan dan masuk ke dalam wilayah nonverbal.

    Tak kalah penting mengatasi lembeknya ekspresi. Untuk mewujudkan keutuhan kesadaran, ada latihan menciptakan "lakon" secara spontan, pendek, yang kemudian menjadi sajian pengucapan bahasa tubuh, yang oleh Goenawan Mohamad disebut Teater Mini Kata. Inilah produk Bengkel Teater pertama yang paling otentik.

    Lakon ini menimbulkan diskusi gayeng, walaupun seperti teater murni, tapi kontekstual juga, misalnya yang berjudul Bip-bop. Tampaknya kesenian yang kontekstual itu merupakan roh karya Rendra, khususnya sesudah ia kembali dari Amerika. Ini juga menjadi jiwa kegiatan di Bengkel Teater. Jelasnya, bagaimana Bengkel selalu manjing ing sajroning kahanan, selalu berada dalam konteks.

    Dengan modal latihan dan semangat seperti ini Bengkel berhasil mementaskan Menunggu Godot, lakon yang lebih menekankan suasana dan kondisi manusia. Lakon absurd dengan latar budaya Eropa pada situasi Perang Dunia II bisa hadir pas secara kontekstual dengan keadaan di Indonesia, yang terus-menerus menantikan keadaan lebih baik tetapi tak kunjung datang. Pentas ini memukau penonton walaupun sulit dicerna. Target pentas tercapai. Seperti kata Rendra, bagaimana yang disajikan di panggung sampai kepada penonton.

    Bengkel Teater, seperti gaya hidup Rendra, senantiasa menjaga dinamikanya. Gerak langkah Bengkel adalah tangan dan jiwa panjang Rendra, di mana pun dan kapan pun berada. Sementara itu, anggota Bengkel silih berganti. Tatkala yang "senior" mencoba merambah wilayah dan mengembangkan "ilmu" dari Bengkel, yang muda-muda masuk. Suasana di Bengkel tentu saja tidak sama. Sebab, tampaknya, begitu Rendra memiliki kesibukan di luar teater di Bengkel, intensitas latihan mengendur. Sebab, seperti dikatakannya sendiri, sebagai pimpinan grup, seorang harus mampu menyediakan naskah, dukungan biaya, memimpin latihan, sutradara, manajer. Karena itu, lakon-lakon yang dipilihnya untuk dipentaskan juga sangat tergantung pada Rendra—posisinya sentral.

    Yang terjadi di Bengkel Teater selama ini, bagaimana menjaga pengetahuan, pengalaman, keterampilan yang hadir bersama Rendra terus hidup, walau anggotanya silih berganti. Karena itu, menatap sejarah Bengkel Teater adalah menyaksikan yang diistilahkan Claire Holt dengan continues and change alias kelangsungan dan perubahan. Pada hemat saya, bentuk puisi Rendra berubah terus-menerus tapi intensitasnya sama. Juga dalam berteater. Juga dalam memimpin Bengkel. Rendra adalah wujud konsistensi dan dinamika berkesenian yang kuat. Seperti dikatakan dalam sajaknya: menolak menjadi koma.

    Pada 1960-an, Rendra mementaskan Suara-suara Mati terjemahan Soenarto Timur atas lakon berjudul Dode Klanken karya Manuel van Logem. Rendra mengubah nama tokoh dan menambah dan mengurangi dialog di sana-sini. Hasilnya, lakon itu hadir dengan sangat mencekam. Ia pun menggubah Les Chaises, Kursi-kursi, karangan Eugene Ionesco menjadi Kereta Kencana. Lakon absurd, yang bersuasana murung, kosong, sepi, menjadi puitis, indah dan meriah. Lakon asli yang menyuguhkan ruang kosong hanya penuh kursi, di tangan Rendra seakan-akan penuh tamu. Pentas ini diulanginya lagi di Graha Bhakti Budaya, TIM, yang membuat Umar Kayam terkesima. Pada pentas Godot, terasa suasana sedikit kocak dibandingkan pentas di Paris dan Amerika yang lebih bleak alias muram. Bagaimana bisa? Bagi Rendra, naskah hanyalah bahan mentah.

    Bagaimana dengan Sobrat, sebuah lakon gelap yang akan disajikan dengan suasana charming? Apakah dengan pemain-pemain baru, di samping Adi Kurdi dan Edi Haryono yang senior, Sobrat akan menampakkan kualitas Bengkel dengan taksu-nya yang menyentuh dan memukau? Sangat tergantung dari intensitas persiapannya sekarang.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus