Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rekening Gendut Abdi Negara
Sebagian pegawai negeri muda berusia 28-38 tahun dilaporkan memiliki uang dalam rekening yang jauh melampaui penghasilannya sebagai abdi negara. "Ada dana di luar kewajaran," kata Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Agus Santoso, Rabu pekan lalu.
Data PPATK menunjukkan beberapa pegawai negeri punya rekening hingga miliaran rupiah, ada juga pemasukan hingga Rp 25 juta per bulan. Namun PPATK enggan mengungkap pemilik rekening. "Sudah diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi," kata Agus. Penghasilan tak sesuai dengan profil ini diduga hasil korupsi.
Pegiat antikorupsi mendesak aparat hukum menelusuri rekening tersebut. Diduga korupsi itu diketahui dan diperintahkan atasan mereka. "Karena korupsi terkait dengan kekuasaan dan jabatan," kata Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Teten Masduki. Hingga kini, KPK belum menjerat para pemilik rekening gendut karena masih mempelajari data tersebut.
Yang Muda dan Berlimpah Harta
Timbunan kekayaan yang tak wajar dari para abdi dan pejabat negara bukanlah fenomena baru di negeri ini. Berikut ini beberapa yang sempat mencuat.
Gayus Tambunan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak; dengan gaji Rp 8 juta per bulan. Gayus punya rekening Rp 28 miliar dan duit di safe deposit box Rp 84 miliar.
Saat terungkap, umurnya 33 tahun.
Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Partai Demokrat dan anggota DPR; total kekayaannya Rp 112 miliar.
Kasusnya dibongkar ketika usianya 33 tahun.
Mereka yang tak muda lagi juga tercatat punya kekayaan tak lazim. Di antaranya:
Bahasyim Assifie, pejabat eselon II Direktorat Jenderal Pajak. Menurut jaksa penuntut umum, kekayaannya mencapai Rp 932 miliar.
Sejumlah perwira tinggi Polri, seperti Budi Gunawan, Mathius Salempang, Sylvanus Wenas, Badrodin Haiti, dan Susno Duadji, juga sempat diberitakan memiliki rekening dengan angka tak wajar. Tapi Markas Besar Polri membantahnya.
PPATK juga pernah melaporkan transaksi yang patut dicurigai dari beberapa kepala daerah di provinsi dan kabupaten.
KPK Cekal Wa Ode
Direktorat Jenderal Imigrasi mencegah anggota legislatif, Wa Ode Nurhayati, bepergian ke luar negeri atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. "Untuk memudahkan pemeriksaan," kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P., Kamis pekan lalu. Wa Ode pernah dipanggil untuk diperiksa KPK, tapi mangkir.
Kesaksian Wa Ode dibutuhkan untuk kasus dugaan korupsi di Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat. Ia dianggap mengetahui perumusan anggaran proyek infrastruktur Aceh. Pencekalannya berlaku sejak Rabu, 7 Desember, bersama tiga orang lainnya, yakni sekretarisnya, Seva Yulanda; Fadh A. Rafiq; dan Haris Surrahman.
Pencekalan ini dipersoalkan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Teguh Juwarno. "Kenapa dia dicekal?" kata Teguh. Indonesia Corruption Watch juga mempertanyakan, dari sekian banyak nama yang terkait dengan kasus korupsi di Badan Anggaran DPR, kenapa hanya Wa Ode yang dilarang ke luar negeri.
Dua Pelajar Dibunuh
Kurang dari sepekan, dua pelajar di Jakarta tewas dibunuh. Siswa kelas X St Joseph Institution Singapura, Christopher Melky Tanujaya, ditusuk di bagian leher, dada, dan punggung pada Senin, 5 Desember malam, di halte busway Pluit, Jakarta Utara. Christopher adalah peraih medali perak matematika pada Olimpiade Sains Nasional 2009 dan juara Olimpiade Matematika Singapura 2011.
Empat hari berselang, polisi menangkap pelaku Abdul Jalil, 22 tahun. Pelaku merampas telepon seluler Christopher, tapi korban melawan. "Pelaku kemudian menusuk leher korban," kata Kepala Kepolisian Resor Jakarta Barat, Komisaris Besar Andap Budhi. Pelaku dikenali dari rekaman video keamanan dan diketahui posisinya dari sinyal telepon seluler.
Pada Selasa sore, Ahmad Yoga Afdholi, mahasiswa semester III Fakultas Teknik Informatika Universitas Al-Azhar Indonesia, tewas dikeroyok teman-temannya di lapangan sepak bola kampus karena dituduh mencuri helm. Polisi menangkap dua tersangka, Diki Ramadan, 22 tahun, dan Eka Zulfikar, 24 tahun, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum.
Maaf Belanda untuk Rawagede
Pemerintah Belanda membayar kompensasi kepada keluarga korban dan meminta maaf atas tragedi pembunuhan Rawagede, Karawang, 62 tahun silam. "Atas nama pemerintah Belanda, saya minta maaf," kata Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Tjeerd De Zwaan, di depan Monumen Perjuangan Rawagede, Jumat pekan lalu.
Pada 14 September lalu, Mahkamah Belanda memenangkan penggugat yang terdiri atas tujuh janda, satu putri, dan seorang korban tragedi Rawagede 9 Desember 1947. Ketika itu tentara Belanda mengeksekusi kerumunan 431 warga. Gugatan diajukan melalui Komite Utang Kehormatan Belanda dan Lembaga Advokasi Bohler.
Pengacara keluarga korban, Liesbeth Zegveld, mengatakan tiap korban akan menerima ganti rugi 20 ribu euro (sekitar Rp 240 juta). Para keluarga korban mengaku sudah memaafkan Belanda. "Saya sudah memaafkan," kata Wanti, 87 tahun, salah seorang korban. "Saya mau bangun rumah dan naik haji."
Aziz Syamsuddin Hardik Denny Indrayana
Rapat kerja Komisi Hukum DPR dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang membahas pengetatan remisi buat terpidana korupsi, 7 November lalu, berlangsung panas. Wakil Ketua Komisi Hukum Aziz Syamsuddin menghardik Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana ketika sedang berbisik dengan Menteri Amir Syamsuddin. "Denny, Anda jangan bisik-bisik. Jangan pakai gaya LSM Anda. Di sini ada aturan," kata Aziz, tegas.
Denny kemudian menggeser duduknya menjauhi Amir dan tersenyum. Aziz, yang sedang bertensi tinggi, malah kembali membentak. "Jangan cengengesan. Maaf, Anda tidak ganteng. Saya bisa minta Anda keluar dari forum ini," kata politikus Partai Golkar itu. Kata-kata ini membuat suasana rapat riuh.
Anggota Komisi Hukum, Ruhut Sitompul, menyela dan balas membentak Aziz. "Interupsi, Bos. Kau jangan begitu. Aku pun bisa marah," kata Ruhut. "Dua orang ini sahabat aku. Kita sedang ditonton rakyat," kata politikus Partai Demokrat tersebut. Rapat akhirnya diskors dan dilanjutkan pada malam harinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo