Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MULANYA adalah kata kunci ini: satu abad. Pada 2001 sedang berlangsung hiruk-pikuk rencana peringatan besar-besaran 100 tahun Bung Karno. ”Keluarga di Jakarta, keluarga di Blitar… semua merencanakan peringatan hari lahir Bung Karno yang ke-100,” kata Arif Zulkifli, Redaktur Eksekutif Majalah Berita Mingguan Tempo, yang saat itu salah seorang redaktur.
Kebetulan tak hanya Sukarno yang mendekati peringatan seabad kelahiran. Tapi juga Mohammad Hatta. ”Kita bayangkan untuk menulis beberapa tokoh,” kata Farid Gaban, yang saat itu Redaktur Pelaksana Kompartemen Nasional. Inspirasi juga datang dari foto sampul edisi khusus pertama yang diproduksi Tempo, edisi milenium, Hidup 1000 Tahun Lagi. Di foto itu tiga pendiri negara—Sukarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir—duduk bersama.
Para petinggi mendukung ide itu. ”Karena para tokoh nasional tersebut semakin jauh dengan generasi sekarang,” kata Toriq Hadad, Kepala Pemberitaan Korporat, yang saat itu menjabat redaktur eksekutif. Yang ingin dilakukan adalah memberikan gambaran yang lebih adil. Sebab, sejarah selalu ditulis oleh mereka yang menang.
Edisi tokoh bangsa pun bergulir. Rapat pertama edisi khusus Sukarno berlangsung pada satu Selasa petang, sembilan tahun silam. Farid memimpin rapat di lantai tiga kantor Jalan Proklamasi 72. Dia mencoret-coret papan putih, membuat daftar. Di meja besar, mata-mata berpusat kepadanya.
Masukan dari Goenawan Mohamad dan Toriq Hadad didiskusikan. Yang khusus hendak digali: kisah-kisah yang belum terbuka, apa saja cerita-cerita sampingannya. Semua orang langsung bekerja. Buku dikumpulkan, dibaca bergantian. Wawancara para sumber dilakukan silih berganti. Perlu waktu sekitar tiga bulan buat menyelesaikan.
Kerja yang tak sia-sia. Beberapa hal baru diperoleh. Misalnya, untuk edisi Sukarno, muncul tokoh Heldy Djafar, yang mengaku istri Sukarno. Ia menunjukkan surat cinta terakhir Bung Besar di saat-saat terakhirnya. Ketika edisi ini terbit pada awal Juni 2001, dengan judul cover Bung Karno Berbisik Kembali, respons yang didapat sangat bagus.
Edisi Bung Hatta menyusul dikerjakan. Berbekal memoar Bung Hatta, pembabakan atau penentuan bagian-bagian cerita dibuat: periode Belanda, periode pembuangan, dan seterusnya. Akhirnya, Hatta: Jejak-jejak yang Melampaui Zaman terbit saat peringatan kemerdekaan Indonesia, pertengahan Agustus 2002.
Edisi Hatta membuka tradisi edisi khusus setiap peringatan hari kemerdekaan. Pertanyaan tentang siapa lagi tokoh yang akan ditulis panjang selalu muncul. Waktu itu ada perbincangan bahwa banyak tokoh nasional terlupakan, dari kalangan kanan ataupun kiri. Ada Daud Beureueh, Kartosuwiryo, D.N. Aidit, Musso, dan lain-lain.
Antusiasme pembaca ternyata juga tinggi. Yang membuat orang senang membaca adalah unsur reportase dan investigasinya. Misalnya, untuk edisi Sukarno, ada reporter yang napak tilas ke Blitar. Untuk Hatta, napak tilas di Belanda, Bangka, Banda Neira, dan Boven Digul. Demikian juga untuk Tan Malaka, reporter ditugasi ke Belanda.
Tak ada yang sempurna, memang. Kritik tetap datang, misalnya tentang kekhawatiran timbul glorifikasi tokoh. Terkadang hardikan juga diterima.
Tapi semua kritik dan hardikan tak menghentikan penggarapan edisi tokoh. Dan perhatian terhadap edisi tokoh malah bertambah. Dua-tiga tahun lalu, Pax Benedanto, Manajer Eksekutif Kepustakaan Populer Gramedia, berminat membukukannya. ”Ini mulai lengkap, bukan iseng-iseng,” kata Pax. Menurut dia, tulisan tidak njelimet untuk pembaca awam, dan banyak gambar. ”Kalau disentuh sedikit, sudah pas menjadi buku.”
Proyek pertama, empat naskah dibukukan. Naskah-naskah itu adalah ”Sukarno, Paradoks Revolusi Indonesia”, ”Hatta, Jejak yang Melampaui Zaman”, ”Sjahrir, Peran Besar Bung Kecil”, dan ”Tan Malaka, Bapak Republik yang Dilupakan”.
Bukan perkara mudah membukukan serangkaian tulisan majalah. Misalnya, naskah Sukarno—edisi khusus tokoh pertama—yang terlalu pendek. Tim buku ini terpaksa menggunakan naskah tambahan dari rubrik Layar tentang Sukarno, yang keluar bertepatan dengan rencana keluarnya buku Lambert Giebels mengenai Sukarno pada periode 1901-1950. Tak aneh, buku Sukarno paling tipis. Begitu juga dengan Hatta.
Namun, untuk edisi-edisi berikutnya sudah lebih gampang, karena sudah terbiasa. ”Praktis tak terlalu banyak editing,” kata Arif. Meluncurlah 4 Serangkai Pendiri Republik. Menyusul paket berikutnya. Naskah ”Aidit, Dua Wajah Dipa Nusantara”, ”Nyoto, Peniup Saksofon di Tengah Prahara”, ”Sjam, Lelaki dengan Lima Alias”, dan ”Musso, Si Merah di Simpang Republik” disatukan dalam Orang Kiri Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo