Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
+ Kamu dari mana?
- Tempo Interaktif.
+ Ini apanya majalah Tempo?
- Masih saudaranya, Pak.
+ Ada izinnya enggak?
TAK mengantongi surat izin usaha penerbitan pers atau SIUPP, Tempo Interaktif dicap ilegal, terutama oleh pemerintah dan militer. Ketika itu, pada 1996, SIUPP adalah harga mati bila ingin menerbitkan media. Untunglah, aturan SIUPP tak menjangkau Internet.
Ali Nur Yasin, yang bergabung dengan Tempo Interaktif sejak 1996, punya cerita. Menurut Redaktur Ekonomi dan Bisnis Koran Tempo ini, pada 1996 hingga awal 1998, hanya segelintir orang pemerintahan yang bersedia jadi narasumber. Mereka, antara lain, Kuntoro Mangkusubroto, yang saat itu menjabat Direktur Jenderal Pertambangan, dan Menteri Negara Kependudukan Haryono Suyono. "Mereka yang umumnya melek Internet," katanya.
Yang lucu, seorang petinggi kepolisian sempat menyuruh anak buahnya melacak Tempo Interaktif terkait dengan permohonan wawancara yang diajukan. Ada juga seorang petinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang baru bersedia diwawancarai setelah Soeharto jatuh pada 1998. Sebab, orang tahu Tempo Interaktif memang bukan sekadar produk berita dunia maya.
Nah, orang yang paling berjasa adalah mendiang Yusril Djalinus-salah seorang pendiri Tempo dan mantan Direktur PT Tempo Inti Media. Menurut Goenawan Mohamad, mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, saat semua takut, Yusril mengajarkan tidak tunduk. "Menunjukkan Tempo tidak mati meski dibredel," katanya suatu kali.
Semula, Yusril berniat memasyarakatkan koleksi Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT)-yang tersisa dari pembredelan pada 1994. PDAT memang sudah menerbitkan, antara lain, buku panduan masuk perguruan tinggi dan berbagai artikel riset di majalah Tempo. Saat itu PDAT juga tengah merencanakan penerbitan bukuApa & Siapatokoh Indonesia.
Koleksi PDAT itu: ribuan buku, koleksi artikel majalah Tempo dari 1971 hingga 1994, dan sekitar tiga juta foto, tak lagi tersimpan di gedung Tempo di Kuningan yang jembar. Setelah dibredel, PT Grafiti Pers, yang menaungi Tempo, membeli sebuah rumah toko di Jalan Proklamasi 72 pada awal 1995 untuk menyelamatkan isi perpustakaan tersebut-sebelum kemudian membeli tiga ruko yang berjejer di sampingnya dan menjebol dinding penyekatnya.
Maka, pada akhir 1995, di kantor baru Tempo yang sempit itu berkumpullah empat orang. Selain Yusril, yang saat itu Direktur PT Grafiti, ada Redaktur Pelaksana Majalah Tempo Bambang Bujono, desainer senior S. Prinka, dan Saiful B. Ridwan, lulusan University of Nottingham, Inggris, yang menguasai Internet. Ketika itu Internet masih langka, tapi cukup membetot perhatian mereka. Maka diputuskan mengunggah koleksi perpustakaan Tempo di Internet.
Soalnya kemudian adalah menjaga kebaruan data perpustakaan yang berhenti pada 1994. Semua putar otak. Jawabnya, "Koleksi perpustakaan yang diunggah ada beritanya," kata Toriq Hadad, Kepala Pemberitaan Korporat PT Tempo, mengingat-ingat percakapan ketika itu. "Ini seperti menerbitkan Tempo kembali," seru Yusril saat itu.
Toriq, yang selepas Tempo dibredel aktif di Institut Studi Arus Informasi, diminta Yusril mengepalai Tempo Interaktif. Toriq setuju, tapi persoalan lain muncul: tak ada awak redaksi. Semua personel Tempo telah tersebar. Tapi di PDAT saat itu ada dua "bekas" wartawan: Hadriani Pudjiarti dari tabloid Detik, yang juga korban pembredelan, dan Suwardi, mantan wartawan majalah ekonomiProspek. Jadilah mereka berdua reporter pertama Tempo Interaktif. Bambang Bujono sudah lebih dulu bergabung.
Nama TempoInteraktif dipilih untuk menunjukkan Tempo ada di Internet. "Enak dibaca dan perlu" tetap dipasang dengan modifikasi "enak diklik dan perlu"-hasilceletukanS. Prinka dalam sebuah rapat. Server pertama Tempo Interaktif sudah dititipkan di Idola, penyedia jasa Internet di Jakarta.
Lalu berita apa yang harus digarap? Menurut Toriq, kebetulan di sekitar awal Maret 1996 itu isu mobil nasional ramai dibicarakan. Tempo Interaktif pun menurunkan artikel dengan topik tersebut. Pada 6 Maret 1996, Tempo Interaktif tercatat menerbitkan hasil liputan perdananya yang berjudul "Mengapa Timor, Mengapa Tommy?"
Setelah tulisan diunggah, tak diduga sambutan pembaca meriah. Redaksi kebanjiran surat elektronik dari pembaca. Artikel pertama tersebut dianggap menggambarkan proyek mobil nasional yang kontroversial itu dengan gamblang. Melihat respons pembaca, redaksi lantas memutuskan menurunkan artikel setiap pekan.
Berapa banyak pembaca Tempo Interaktif ketika itu? Setahun setelah berdiri, saban hari tercatat sekitar 1.500 orang membuka situs ini atau rata-rata 40-50 ribu per bulan. Ketika itu belum banyak orang yang mengakses Internet. Namun masih ada tambahan pembaca, yaitu para mahasiswa yang mengunduh artikel di situs ini dan mencetaknya. Konon, setiap pekan beredar sekitar 1.000 eksemplar "Tempo Interaktif cetak" itu di Surabaya, Malang, dan beberapa kota lain. Satu eksemplar dijual Rp 1.000. Tak hanya di Jawa Timur, di kota lain, seperti Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta, ada juga yang mengedarkan edisi cetak ini.
Tempo Interaktif pun populer di kampus. Menjelang akhir 1996, lima aktivis pers kampus direkrut sebagai reporter. Mereka adalah Ali Nur Yasin, Iwan Setiawan, Edi Budyarso, Mustafa Ismail, dan Nong Darol Mahmada. Kecuali Mustafa yang kuliah di Aceh, sisanya berasal dari kampus di Jakarta. Setelah Nong keluar beberapa bulan kemudian, Tempo Interaktif merekrut pegiat pers kampus dari Yogyakarta, Wenseslaus Manggut. Purwani Diyah Prabandari, mantan wartawan Bernas, juga bergabung.
Ditambah Hadriani (Suwardi pindah ke harian Neraca), merekalah tulang punggung Tempo Interaktif. Pasukan ini gigih mengejar berita. Dua hari setelah kerusuhan Tasikmalaya di pengujung 1996, Ali dan Nong terjun ke sana. Hasilnya sebuah liputan lengkap. Mereka mewawancarai semua narasumber penting, mulai kiai sampai kepala kepolisian resor, dari santri sampai komandan komando distrik militer. Hasil liputan mereka diterbitkan dalam bentuk buku oleh Institut Studi Arus Informasi.
Kala lain, Prabandari dikirim ke Dili, meliput teror "ninja". Pertengahan 1998 itu Dili bagai kota mati di waktu malam. Warga kota banyak yang mengungsi akibat memuncaknya perseteruan kelompok proreferendum dan prointegrasi. Berangkat seorang diri dari Jakarta, Prabandari mewawancarai para pastor, Gubernur Abilio Jose Soares, Komandan Komando Resor Militer Kolonel Tono Suratman, Kepala Kepolisian Daerah Kolonel Timbul Silaen, sampai Mauhunu, pentolan Falintil.
Liputan-liputan tersebut diputuskan bukan oleh Toriq seorang, tapi lewat rapat perencanaan yang juga dihadiri Yusril. "Kami menerapkan model majalah Tempo," ujar Toriq. Bahkan juga ada kelas evaluasi penulisan yang berlangsung selepas rapat perencanaan pada Senin pekan berikutnya. Yusril, sang evaluator, menggelar evaluasi dengan tajam tapi tetap kocak. Saat-saat evaluasi dengan Yusril inilah yang mengesankan, karena selalu ada ikatan kekerabatan yang kental.
Yusril hanya sesekali menyunting tulisan. Toriq dan Wahyu Muryadi-yang selepas bredel bergabung ke Forum Keadilan-jadi editor "sapu jagat". Berdua menyunting semua jenis laporan, dari isu politik sampai selebritas. Veven Sp. Wardhana, penulis, sesekali mampir ke Proklamasi 72 untuk membantu pengeditan.
Beda benar dengan majalah Tempo, versi online ini hanya bermodalkan semangat. Tak aneh jika amunisi modal pun kembang-kempis. Hadriani ingat, suatu siang Yusril mengumpulkan semua reporter di Proklamasi 72. Di dalam ruangan sudah ada Goenawan Mohamad yang duduk tertunduk. Fikri Jufri mondar-mandir di ruangan dengan wajah tegang. Toriq duduk mengempaskan punggungnya ke sandaran kursi. "Kita sudah tak punya apa-apa lagi, kecuali semangat," kata Yusril.
Itulah waktu Tempo Interaktif hampir mati, tapi tak jadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo