Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Dan Valerie Plame Bersaksi

Film yang mengangkat kisah nyata seorang agen CIA yang penyamarannya diungkap di media.

7 Maret 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fair Game.
Valerie Plame Wilson

NAMA ini tiba-tiba melejit dan beredar selama beberapa pekan di berbagai media internasional. Di hadapan kawan-kawannya, pasangan Valerie Plame dan Joe Wilson tampak sama seperti pasangan kelas menengah Amerika biasa, yang mengisi hari-harinya dengan bekerja, mengurus putri kembar mereka, sesekali mengundang kawan-kawannya makan malam dan bergosip politik menertawai kebodohan para pemimpin di Gedung Putih.

Ini periode pasca-9/11. Presiden AS George Bush terlihat seperti koboi yang gatal ingin menembak siapa saja yang dianggap mengancam tanah Amerika. Intel AS diguncang-guncang agar menemukan uranium atau apa pun yang bisa menjadi bukti bahwa Irak bisa diserbu. Salah satu pion CIA yang diberi tugas mengutak-atik ada atau tidaknya senjata kimia itu adalah… sang ”ibu rumah tangga”, Valerie Plame Wilson.

Sutradara Doug Liman sejak awal sudah berterus terang mengungkap dualisme kehidupan pasangan Wilson. Sang istri adalah agen CIA yang terlibat dalam operasi rahasia. Sementara suaminya, Joe Wilson, seorang mantan diplomat yang diberi tugas oleh CIA ke Niger untuk mencari tahu ihwal seluruh kisah perjalanan ”senjata kimia” yang konon berputar-putar di daerah itu. Joe Wilson melaporkan semua kecurigaan pemerintah Bush sama sekali tak berdasar. Tetapi kantor Wakil Presiden Dick Cheney mengirim Chief of Staff Scooter Libby (David Andrews) untuk meyakinkan para ilmuwan dan para agen CIA bahwa mereka melupakan pipa-pipa berisi bahan senjata kimia itu. Selanjutnya, melalui potongan berita, kita melihat pemerintah Bush tetap laju dengan keputusannya untuk menyerang Irak.

Liman sengaja tak mempertaruhkan tekanan pada ”kejutan” dalam plot. Kisah ini bukan sesuatu yang baru. Mereka yang membaca berita sudah tahu bahwa Valerie Plame adalah agen CIA yang dikhianati oleh pemerintahnya sendiri. Tapi yang kita saksikan adalah bagaimana kisah nyata itu diangkat ke layar lebar dan di titik manakah penulis skenario harus mendramatisasi agar tetap terasa film ini sebuah thriller yang sama asyiknya dengan film-film intelijen lainnya yang fiktif.

Naomi Watts dan Sean Penn tampil bagus. Naomi berperan sebagai sosok Valerie Plame yang lebih realistis dan pandai mengontrol emosi, sementara Penn sebagai Joe Wilson adalah lelaki idealis yang berkobar-kobar melawan mesin gigantik bernama pemerintah AS. Ketika Joe Wilson menulis sebuah kolom di New York Times yang mengungkap bahwa pemerintah AS telah merekayasa alasan untuk justifikasi menyerang Irak (seraya membeberkan bahwa ia sudah melakukan riset lapangan). Apa yang disebut sebagai bahan senjata kimia yang didengung-dengungkan pemerintah itu sama sekali tak ada. Balas dendam dari Scooter Libby? Selubung Valerie Plame Wilson sebagai agen CIA dipereteli. Ini bukan hanya berakibat pada sosoknya di mata lingkungan dan kawan-kawannya; tapi yang lebih berbahaya adalah kontak dan narasumber Valerie di Irak dan berbagai negara Afrika ada dalam bahaya.

Sutradara Liman tidak hanya berkutat pada problem pasangan suami-istri yang harus menghadapi deraan masyarakat, wartawan, dan (apalagi) pemerintah setiap detik dalam hidup mereka. Plot menukik ke dalam problem pasangan itu. Valerie memilih tiarap; Joe memilih bersuara ke berbagai media. Perbedaan pendekatan untuk menyelesaikan masalah dan tekanan dari segala arah menyebabkan mereka akhirnya berpisah. Kita kemudian sadar, risiko (beberapa) profesi hampir selalu membahayakan keutuhan rumah tangga. Meski Watts dan Penn—dalam kolaborasinya yang ketiga—hanya memperlihatkan sekilas keintiman, kita bisa merasakan setruman cinta pasangan itu yang berhasil menembus layar.

Ketika akhirnya Valerie ”bangun” dari tiarap dan bersatu padu dengan suaminya melawan (baca: memberi kesaksian tentang fakta yang diperoleh dan dialaminya), Liman memutuskan menyelipkan footage dokumenter sosok Valerie yang nyata. Bahwa Scooter Libby kemudian dikorbankan pemerintah, karena seluruh dunia menyorot kebohongan pemerintah AS, itu bukan kejutan. Tapi itu menjadi akhir film yang penting bagi penonton yang ingin pulang ke rumah dengan hati ”lega” (tanda kutip di sini untuk mengingat bahwa banyak korban yang berjatuhan karena kebohongan itu yang tak diperhitungkan).

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus