Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASJID itu berdiri di atas bukit kecil yang berbatasan langsung dengan jalan raya. Tanpa ornamen, tanpa kubah. Hanya terlihat tumpukan batu abu-abu dan hitam membentuk kubus besar. Ketiga penjurunya terbuka, dengan akses masuk dari timur dan utara.
Tumpukan batu hitam itu berlubang-lubang sehingga mengalirkan udara dan cahaya alami ke dalam bangunan. Ukurannya lebih lebar lima sentimeter dibanding batu abu-abu sehingga tampak menjorok ke luar bangunan. Saat magrib, cahaya dari dalam masjid akan keluar dari lubang dan membentuk dua kalimat syahadat.
Di lahan seluas 8.000 meter persegi, lanskap taman yang asri mengelilingi bangunan yang terinspirasi oleh bentuk Ka’bah. Di sisi selatan masjid terdapat sekolah Islam bertaraf internasional dengan nama sama, Al-Irsyad, yang artinya tempat pendidikan. Di sebelah tenggara terdapat menara dari tumpukan batu, selaras dengan desain masjid.
Area perkerasan jalan di antara taman dan bangunan mewakili konsep tawaf yang ingin diciptakan arsiteknya, Ridwan Kamil. Tawaf merupakan ritual mengelilingi Ka’bah tujuh kali ketika beribadah haji atau umrah.
Memasuki masjid, pengunjung seperti berjalan ke dalam kotak besar yang berlubang-lubang. Campuran warna putih dan hitam mendominasi interior masjid, tanpa ornamen pada dinding ataupun karpet. Struktur bangunan bentang lebar tanpa tiang-tiang (kolom) membuat pandangan terasa luas, lebar, tanpa halangan.
Pusat bangunan, mihrab, membentuk kerangka (frame) terbuka dan mengerucut ke arah Pegunungan Tatar Parahyangan, Jawa Barat. Di area ini terdapat mimbar yang seolah-olah berdiri di atas air kolam ikan dan di belakangnya tampak bola metal besar bertulisan kaligrafi ”Allah”.
Rumah lampu berbentuk balok menggantung di langit-langit berwarna putih. Balok yang berjumlah 99 buah ini pada bagian yang menghadap ke lantai ditutup dengan ukiran kayu kaligrafi asmaul husna. Ketika lampu dinyalakan, orang yang bersembahyang akan seperti diselimuti ke-99 nama suci Allah.
Desain masjid ini masuk sebagai nomine Building of the Year 2010 versi situs ArchDaily.com untuk kategori rumah ibadah. ArchDaily adalah situs publikasi arsitektur terpopuler dan berada di peringkat teratas versi Alexa Global Internet Traffic.
Situs yang dikelola praktisi arsitektur dan media ini mulai beroperasi sejak 2008. Kesuksesannya berasal dari seleksi yang ketat dalam memilih karya yang layak dimuat. Sekitar 15 ribu karya arsitektur mencoba masuk ke ArchDaily setiap tahun. Masjid Al-Irsyad tampil di antara 2.000 karya yang berhasil masuk.
Sekelompok kurator kemudian menyeleksi sekitar 2.000 karya tersebut untuk masuk dalam 14 kategori Building of the Year 2010. Setiap kategori terdiri atas lima karya arsitektur. Setelah memilih 70 desain arsitektur terbaik, keputusan akhir diserahkan kepada pilihan pembacanya. Pengelola situs mengeluarkan hasil voting pada 15 Februari dan kepopuleran Masjid Al-Irsyad dikalahkan Gereja Tampa Covenant, Florida, Amerika Serikat. ”Tidak jadi masalah tidak menang,” kata Ridwan. ”Masuk nominasi saja sebuah prestasi buat saya.”
Pengunjung masjid sebagian besar adalah murid sekolah Al-Irsyad. Kapasitas gedung seluas 1.500 meter persegi itu bisa mencapai 1.500 orang. Biasanya hanya murid sekolah menengah pertama dan atas yang bisa mengikuti salat. Namun, seusai sekolah, banyak pula murid sekolah dasar yang memasuki masjid untuk mengikuti salat asar atau belajar mengaji.
Avi, murid kelas lima SD Al-Irsyad, mengaku menyukai masjid ini karena terasa dingin ketika berada di dalam. Lokasinya dekat dengan sekolah sehingga ia bisa melakukan salat asar bersama teman-teman. Namun ada satu hal yang tidak ia sukai, yaitu atap masjid yang tanpa kubah. ”Aneh bentuknya,” katanya.
Meniadakan bentuk kubah pada masjid bukan perkara mudah. Di suatu masa, Sutan Takdir Alisjahbana pernah berdebat soal rancangan masjid di Universitas Nasional, Jakarta. Para donatur mempersoalkan bentuk atap yang seperti kuncup bunga yang mekar. Takdir berargumen atap itu bermakna umat Islam harus hidup seperti bunga yang mengembang, penuh gairah, dan wangi semerbak. Lagi pula, menurut dia, tidak ada aturan membangun masjid harus dengan kubah. Justru bentuk seperti itu terpengaruh Kristen Roma yang masuk lewat Turki. Takdir pun berhasil mempertahankan argumen itu.
Ridwan juga sempat menghadapi kendala serupa. Ia harus meyakinkan pihak pengembang Kota Baru Parahyangan, PT Belaputera Intiland, bahwa desain masjid tidak perlu berkubah. ”Ini perjuangan terberatnya,” ujarnya. Kesulitan tersebut ia alami sebagian besar karena pembahasan tentang arsitektur masjid modern jarang dilakukan di Indonesia. Padahal bentuk masjid tanpa kubah bukan hal baru di Indonesia. Sebagai contoh, Masjid Demak dengan atap tumpuk dan Masjid Salman yang berbentuk telapak tangan sedang berdoa.
Dengan membawa misi memperkenalkan desain arsitektur masjid modern, Ridwan memulai proses kreatifnya dengan melihat potensi lokasi yang ditawarkan pengembang. Yang utama dalam desain masjid, menurut dia, bukan kubah, melainkan jemaah harus bisa berbaris rapi dan menghadap ke kiblat.
Bagian barat tapak bangunan yang menghadap ke kiblat memiliki pemandangan alam terbagus. Karena itu, si arsitek enggan menutupnya dengan dinding masif. Dari sini timbullah ide menciptakan masjid yang menyatu dengan alam. Area mihrab dibiarkan terbuka supaya orang yang bersembahyang dapat merasakan kebesaran Sang Pencipta. Bangunan mengambil bentuk dasar kubus seperti Ka’bah. Tidak ada ornamen dan tidak memakai banyak warna agar tidak menjadi interupsi pemandangan alam sekitar.
Angin dari luar dibiarkan masuk ke dalam bangunan dari seluruh arah. Kolam berisi puluhan ikan mas memantulkan cahaya sinar matahari. Terkadang orang di dalam masjid bisa mendengar kecipak air dari entakan tubuh ikan. ”Saya membiarkan alam yang berpuisi,” ujar Ridwan. Supaya terkesan lebih alami, batu-batu kali berwarna putih ditebar mengelilingi bagian dalam bangunan.
Menurut dia, konsep masjid sederhana seperti inilah yang bisa membuat orang khusyuk beribadah. Interpretasi masjid harus memakai kubah dengan kemewahan dan detail, seperti Masjid Kubah Emas, Depok, menurut dia, malah mengganggu konsentrasi orang bersembahyang. Justru kekayaan alam dan kesederhanaan dapat membuat bangunan terlihat mewah dan megah.
Ketua Dewan Kemakmuran Masjid Al-Irsyad Adang Suryana mengatakan ada 30 arsitek yang mengikuti sayembara desain masjid ini. Hanya rancangan Ridwan yang berhasil menghadirkan konsep islami. ”Setiap elemen bangunan sarat makna,” katanya. Ia terutama menyukai desain superkaligrafi yang mengelilingi bangunan tersebut.
Bukaan bangunan yang terkadang membuat tempias bila hujan, menurut Adang, tidak menjadi masalah. Lebar dinding batu yang mencapai 25 sentimeter ditambah dengan batu-batu kali putih yang mengelilingi area salat bisa menghalangi air hujan masuk ke area salat. Justru bukaan ini membuat bangunan tetap sejuk meskipun menampung 1.500 orang.
Sayangnya, pengelola masjid memakai pembatas semipermanen untuk area salat laki-laki dan perempuan. Hal ini membuat para perempuan tidak bisa menikmati visualisasi mengarah ke pegunungan. Sebaliknya, mereka hanya bisa melihat tirai-tirai pembatas berwarna putih.
Ridwan sebenarnya tidak sepaham soal pemakaian tirai ini. ”Masing-masing golongan konsepnya beda,” katanya. Padahal ia telah mencoba mengatasi hal ini dengan memakai karpet bergaris-garis hitam dan abu-abu supaya gampang membatasi area laki-laki dan perempuan.
Sorta Tobing
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo