Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, muncul ide mengembalikan sistem pilkada lewat DPRD.
Pemerintahan Jokowi juga menghidupkan ide pilkada tak langsung.
Pilkada langsung muncul karena ada keresahan terhadap kualitas pilkada lewat DPRD pada masa Orde Baru.
BERTEMU dengan Susilo Bambang Yudhoyono di rumahnya di Cikeas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada 2011, Marzuki Alie mendapat teguran. Marzuki mengusulkan pemilihan kepala daerah atau pilkada langsung dikembalikan ke tangan dewan perwakilan rakyat daerah. “Beliau menegur saya, katanya ide pilkada lewat DPRD itu jangan datang dari Demokrat,” ujar Marzuki menceritakan pertemuannya dengan Yudhoyono kepada Tempo, Kamis, 19 Desember 2024.
Marzuki Alie saat itu menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dan Yudhoyono masih menjadi presiden. Menurut dia, Yudhoyono tak mau partainya dianggap antidemokrasi karena mendukung pilkada lewat DPRD. Saat itu pilkada langsung baru berusia 6 tahun. Sejak Juni 2005, atau periode pertama pemerintahan Yudhoyono, kepala daerah tak lagi dipilih oleh DPRD.
Mencoba meyakinkan Yudhoyono, Marzuki menyebutkan bahwa biaya pilkada langsung sangat mahal. Ia mengklaim pilkada tetap demokratis meski kepala daerah dipilih oleh DPRD. “Pilkada lewat DPRD tak melanggar konstitusi,” kata Marzuki, yang dipecat dari Demokrat pada Februari 2011 karena diduga terlibat dalam upaya pengambilalihan partai itu.
Kepada Marzuki, Yudhoyono menyatakan tak mau membuat demokrasi mundur seperti era Orde Baru. Pada masa itu, pemerintah pusat punya otoritas kuat memilih kepala daerah. Yudhoyono hanya mau mendiskusikan isu itu bila usulannya muncul dari partai politik lain.
Anggota Majelis Kehormatan Partai Demokrat, Sjarifuddin Hasan, mengklaim Yudhoyono menolak pilkada lewat DPRD karena kondisi demokrasi saat itu sangat baik. Masyarakat pun bisa mencoblos langsung calon kepala daerah pilihannya. “Pak SBY tak mau kondisi demokrasi itu diganggu,” tutur Sjarifuddin saat dihubungi pada Kamis, 19 Desember 2024.
Setahun setelah pertemuan itu, gagasan mengembalikan pilkada lewat DPRD bergulir di Senayan. Mekanisme itu tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dengan dalih biaya politik tinggi. Selain mekanisme pemilihan langsung atau lewat DPRD, ada pembahasan soal lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pilkada hingga sumber dana pilkada.
Pembahasan berjalan lambat dan diwarnai perdebatan. “Pembahasannya alot, khususnya mekanisme pilkada,” kata anggota DPR periode 2009-2014 dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ganjar Pranowo, kepada Tempo, Jumat, 20 Desember 2024.
Seusai pemilihan presiden 2014, DPR terbelah menjadi dua faksi. Koalisi Merah Putih—gabungan partai pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa—memilih pilkada lewat DPRD. Sedangkan Koalisi Indonesia Hebat yang mengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla menghendaki pilkada langsung.
Demokrat berada pada posisi terjepit. Mereka berada dalam barisan Koalisi Merah Putih, tapi Yudhoyono sebagai Ketua Majelis Tinggi Demokrat menolak pilkada lewat DPRD. Sjarifuddin Hasan mengatakan Ketua Fraksi Demokrat Nurhayati Ali Assegaf melobi Koalisi Merah Putih, tapi upaya itu gagal. Demokrat mengusulkan pilkada langsung dengan sepuluh perbaikan.
Rapat paripurna pengambilan keputusan digelar pada Kamis, 25 September 2014, kurang dari sebulan sebelum Yudhoyono lengser pada 20 Oktober 2014. Sidang berjalan alot dan berlangsung hingga dinihari. Keputusan pun diambil lewat voting. Hasilnya, 226 dari 550 anggota DPR memilih pilkada lewat DPRD. Hanya 135 yang memilih pilkada langsung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Dewan mengajukan protes saat rapat paripurna RUU Pilkada di DPR, Senayan, Jakarta, 25 September 2014. Dok. Tempo/Dian Triyuli Handoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fraksi Demokrat saat itu memilih walkout dari rapat. “Opsi Demokrat tak dipertimbangkan, jadi akhirnya walkout,” ucap Sjarifuddin. Aturan pilkada lewat DPRD ini dituangkan dalam dua regulasi, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Yudhoyono saat itu sedang melawat ke Amerika Serikat. Menurut Sjarifuddin, Yudhoyono merasa kecewa terhadap keputusan DPR. Begitu tiba di Indonesia, ia langsung menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang membatalkan keputusan DPR.
“Kedua perpu tersebut saya tanda tangani sebagai bentuk nyata perjuangan saya bersama-sama dengan rakyat Indonesia untuk tetap mempertahankan pemilihan kepala daerah secara langsung,” ujar Yudhoyono, Kamis, 2 Oktober 2014.
Upaya mengembalikan kewenangan DPRD memilih kepala daerah tidak berakhir pada 2014. Awal periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo pada 2019, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebutkan lembaganya telah membuat kajian akademik untuk merumuskan sejumlah opsi sistem pilkada sebagai evaluasi pilkada langsung.
Salah satu usulan yang dibahas adalah pilkada asimetris. Dengan sistem itu, pilkada bisa berjalan dengan cara berbeda-beda dan disesuaikan dengan kondisi di daerah. “Kalau wali kota di Jakarta bisa ditunjuk langsung, kenapa sistem ini enggak dipakai di tempat lain?” ucap Tito, Senin, 18 November 2019. Hingga akhir pemerintahan Jokowi, gagasan itu tak terwujud.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Tempo/Imam Sukamto
Baru di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto usulan itu hidup lagi. Prabowo secara terbuka menyebutkan pilkada lewat DPRD bisa menjadi solusi tingginya biaya pilkada. “Harus kita perbaiki sistem ini dan tak usah malu mengakui bahwa sistem ini terlalu mahal,” kata Prabowo saat berpidato dalam acara ulang tahun Partai Golkar, Kamis, 12 Desember 2024.
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity atau Netgrit, Hadar Nafis Gumay, mengingatkan, sistem pilkada langsung muncul karena ada keresahan terhadap kualitas kepala daerah yang dipilih DPRD selama masa Orde Baru. Ia menyebutkan ada desakan masyarakat agar kedaulatan dikembalikan ke tangan mereka.
“Kepala daerah yang dihasilkan oleh DPRD hanya menjadi sapi perah partai. Masyarakat hampir tak mendapat manfaat apa-apa,” ujar mantan anggota Komisi Pemilihan Umum itu kepada Tempo, Jumat, 20 Desember 2024.
Tuntutan mengubah sistem pilkada lewat DPRD menjadi pilkada langsung berjalan pada saat amendemen Undang-Undang Dasar 1945 pada 1999 hingga 2004. Sistem pilkada langsung sempat diusulkan masuk amendemen UUD 1945. Namun, belakangan, gagasan ini tertutup oleh pemilihan presiden secara langsung yang dianggap lebih penting.
Ketika DPR memutuskan pemilihan presiden digelar secara langsung pada 2003, desakan pikada langsung pun menguat. “Argumennya, kalau presiden bisa dipilih langsung, kenapa pilkada enggak?” kata anggota DPR periode 1999-2004 dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Lukman Hakim Saifuddin, kepada Tempo, Jumat, 20 Desember 2024.
Desakan pilkada langsung mengencang bersamaan dengan keinginan menguatkan desentralisasi dan otonomi daerah setelah Orde Baru tumbang. Menurut Lukman, jalan tengah diambil dengan merumuskan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yang berbunyi kepala daerah tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota dipilih secara demokratis.
Setahun kemudian, DPR menyepakati sistem pilkada langsung. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengakhiri sistem pilkada lewat DPRD. “Kalau sekarang kedaulatan masyarakat untuk bisa memilih secara langsung dicabut, sama saja mengkhianati demokrasi,” tutur Hadar. ●
Francisca Christy Rosana berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Maju-Mundur Coblos Langsung"